BAB 2

270 2 2
                                    


Hening. Itulah yang terjadi ketika papa menuntut penjelasan dari Lila dan sang adik. Keduanya tak ada yang mau mengawali bercerita, sama-sama diam. Dari pelajaran yang sudah-sudah, bercerita mengenai masalah pribadi Lila kepada kedua orang tua tidak akan pernah menghasilkan suatu hal yang menyenangkan, apalagi yang berhubungan dengan haknya atas sang adik, Lila akan senantiasa diminta untuk mengalah, sejak ia masih kanak-kanak selalu seperti itu. Maka dirasa akan percuma saja bagi Lila untuk menceritakan duduk perkaranya, hasil yang didapat akan tetap sama dan tak akan mengubah apapun, malahan bisa jadi akan bertambah parah. Mata mama, papa dan pembantu keluarga mereka masih bergantian menatap kakak dan adik itu, mengharap segera terlontar jawaban penjelasan dari dua gadis jelita.

Kesal dengan keadaan demikian, Lila memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan papa dan mamanya. Ia meninggalkan papa dan mama tanpa penjelasan apapun, menaiki tangga, menuju kamar tidurnya di lantai dua. Kedua orang tuanya dibuat bengong dan geleng-geleng. Lila benar-benar kesal dan muak dengan segala yang ia derita, ia juga muak dan benci dengan seluruh isi keluarganya. Gadis berhidung indah meski tak terlalu mancung itu merasa tak ada satu orangpun dalam keluarga yang akan mau mengerti kebutuhan dirinya. Hanya karena dia seorang kakak, ia selalu dituntut untuk merelakan apa-apa yang diminta oleh sang adik, meski sesuatu itu jelas-jelas adalah haknya. Dan sampai kapanpun rasanya akan selalu demikian. Termasuk soal pacar yang direbut oleh adiknya, rasanya juga bakalan demikian.

Sementara itu di lantai satu ruang tamu, seluruh keluarga Lila masih berkumpul di sana.

"Arin, sekarang tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi," kata papa Lila dengan nada lebih lembut.

"Aku juga ndak tahu Pa. Tiba-tiba ketika Arin baru masuk rumah, Lila serta merta njambak rambut Arin."

Hening.

"Terus?" kata sang mama tak sabar menunggu kelanjutan cerita dari Arin.

"Ya karena Arin ndak mau jadi bulan-bulanan Lila, terpaksa Arin melawan."

Papa dan mama kedua gadis jelita itu semakin tak habis pikir dengan tingka polah Lila, semakin susah diatur saja anak itu.

Arin berusia lebih muda dua tahun dari Lila. Sama-sama jelita, sama-sama periang sebenarnya, hanya saja karena sangking jengkelnya dengan mama dan papanya, Lila menjadi lebih tertutup dan ketus terhadap sang kedua orang tua. Setelah penampilan tarung dua singa betina jadi-jadian itu, rumah yang didiami keluarga Lila dan Arin kembali hening, tentu saja setelah mendapat penjelasan dari Arin. Papa dan mama Lila kembali ke kamar, pun demikian dengan sang pembantu dan Arin, mereka semua tidur menikmati sisa malam.

Namun tidak dengan Lila, hingga menjelang adzan subuh berkumandang ia masih kesulitan memejamkan mata lantaran rasa sedih tak berkesudahan. Berkali-kali sempat ia bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya bunuh diri ya? Mungkin papa, mama dan adiknya akan semakin senang tanpa kehadiran dirinya di dunia. Ah, entahlah. Yang jelas, hari ini ia tak berencana untuk berangkat ke kampus.

Ia ingin tidur sepuas yang ia mau, bahkan kalau bisa Lila ingin tak perlu bangun lagi, tidur selama-lamanya jika takdir menghendaki. Tiap kali sedih karena sikap keluarga kepada dirinya yang dirasa sering pilih kasih, pikiran bahwa jangan-jangan ia adalahh anak tiri, sering terngiang di kepala. Barulah menjelang matahari tumbuh dari tempat biasanya, Lila berhasil memejamkan mata.

Jam lima pagi papa dan mama Lila berangkat ke kantor. Sudah menjadi hal biasa suami istri itu meninggalkan rumah pagi-pagi sekali karena urusan pekerjaan dan baru kembali ketika hari sudah malam. Sementara itu Arin baru bangun dan menuju kamar mandi dengan wajah bekas bangun tidur. Selepas bersih-bersih diri sang adik berbulu mata lentik menuju meja makan. Hidangan sudah siap tinggal lahap. Vero, sang pembantu rumah tangga benar-benar bisa diandalkan soal masak memasak.

RELA  LILAWhere stories live. Discover now