BAB 5

132 1 0
                                    

Sudah tiga bulan semenjak kejadian Lila menampar Arin. Hingga detik ini keduanya tak pernah sekalipun bertegur sapa. Bukan hanya kepada Arin saja Lila bersikap demikian, bahkan kepada papa dan mama sikap Lila juga nyaris tak ada bedanya. Tapi kabar buruknya, kedua orang tua Lila bahkan tak sempat untuk memperhatikan itu. Mereka terlalu sibuk, nyaris tak ada beda bagi kedua orang tua Lila tentang kondisi anak-anaknya, sedang bertengkar atau tidak, sedang marahan atau tidak, bagi papa dan mama Lila tabiat kedua anaknya ya memang seperti itu. Kesibukan pekerjaan, adalah pembenar bagi mama dan papa Lila.

Tentang kabar Bastian, Lila benar-benar berusaha untuk tak mau peduli. Ya, meski sebagian besar hati masih terasa berat jika tak mendengar kabar tentang Bastian. Tapi paling tidak, ia sudah mulai belajar terbiasa tanpa kehadiran Bastian, baik dalam pesan ponsel maupun bentuk alat komunikasi lainnya. Bahkan ia sengaja memblokir apapun akun media sosial Bastian supaya tidak terhubung dengan akun media sosial miliknya.

Semenjak memantapkan diri untuk meninggalkan Bastian, Lila sudah bertekad dalam hati untuk mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Bastian, lebih terkenal dibanding dengan Bastian. Jika Bastian adalah bintang di kampusnya yang elit, maka lelaki pengganti untuk asmara Lila yang sedang kosong haruslah yang jauh lebih bintang dari Bastian. Lelaki setelah Bastian paling tidak harus lebih terkenal.

Bagi perempuan seperti Lila dan lingkungannya, seorang gadis yang tak memiliki pacar, sama halnya dengan jatuhnya derajat sosial. Semakin terkenal, semakin kaya dan semakin berprestasi pacar seorang perempuan, maka semakin naik pula status sosial perempuan itu. Lila tak mau lingkungan tempatnya bergaul beranggapan betapa sangking tak lakunnya Lila sampai-sampai belum juga mendapatkan pengganti Bastian.

Di sisi lain Lila juga tak boleh gegabah dalam mendapatkan kekasih, kekasih pengganti dari Bastian haruslah lebih baik dalam segala hal. Atau minimal samalah standar kualitasnya dengan Bastian. Namun untuk mendapatkan yang lebih populer dibanding Bastian tentulah bukan perkara mudah. Tidak-tidak, jangankan yang lebih baik dari Bastian, yang sama dengan Bastian di kampus elitnya itu belum tentu juga masih ada stoknya. Lila merasa perlu meluaskan jangkauannya. Ruang lingkupnya jangan hanya terbatas di sekitaran kampus saja.

Ia ingin balas dendam dengan cara yang elegan. Kata salah satu motivator yang pernah ia dengar di televisi, sukses adalah balas dendam yang paling elegan. Dan sukses baginya saat ini adalah mendapatkan kekasih yang lebih baik dari Bastian.

Maka jadilah Lila mulai membuat standar lelaki seperti apa yang bisa menjadi pacarnya. Ia mulai membuat catatan standar

1. Pacar aku yang selanjutnya haruslah bertinggi badan minimal 175 cm dengan berat badan yang ideal dan sedap dipandang.

2. Tampan berwajah oriental atau khas berwajah Timur Tengah juga boleh, yang jelas kulit pacar aku selanjutnya haruslah berkulit cerah bersih.

Sampai pada nomor dua, Lila berhenti sejenak memandangi catatannya. Dengan standar fisik yang seperti itu paling tidak Lila bisa merasa bangga dan percaya diri ketika menghadiri undangan nikah, ulang tahun dan berbagai macam jenis undangan lain kawan atau kerabatnya. Lila melanjutkan catatan.

3. Domisili pulau Jawa, kalau bisa Surabaya sendiri.

Lila diam sejenak. Pikirannya mencari alasan kuat kenapa ia harus membuat standar tentang domisili. Dan alasan kuatnya adalah agar Lila bisa sesering mungkin kencan bersama dengan sang pacar.

4. Calon pacarku harus sudah memiliki citra positif di lingkungan masyarakat. Lelaki baik-baik, lelaki yang alim dan soleh.

5. Terkenal

RELA  LILAWhere stories live. Discover now