BAB 4

172 1 2
                                    


Perempuan selalu butuh kepastian dari ucapan orang lain untuk meyakinkan diri bahwa ia adalah perempuan yang cantik. Meski sejatinya ia juga sudah tahu bawa dirinya masuk dalam kategori perempuan cantik, namun selalu saja perempuan membutuhkan pengakuan cantik dari lisan orang lain. Akan senantiasa seperti itu tabiat sebagian besar perempuan, lekat dengan ketidakyakinan diri.

Sama halnya dengan kondisi batin yang dialami Lila. Meski kini ia telah menyesal dengan kejadian beberapa waktu yang lalu, namun di dalam batinnya masih sering terjadi perdebatan hebat tentang apakah dirinya yang terlalu mudah salah faham, atau kedua orang yang ia sayangi itulah yang telah kelewat batas dalam menjalin keakraban. Ya meskipun pada ujung-ujung perdebatan hatinya itu rasa menyalahkan diri sendirilah yang lebih sering menjadi pemenang. Begitulah sebagian besar perempuan, jika ia berdiri pada suatu prinsip, maka tak pernah ia benar-benar utuh memijak prinsip itu. Akan selalu ada sela-sela rapuh yang erat dan lekat kaitannya dengan keragu-raguan. Ia senantiasa membutuhkan pihak lain untuk menguatkan anggapannya itu.

Sudah satu pekan semenjak pertengkaran Lila kepada Arin dan Bastian. Namun hingga detik ini belum ada kata maaf yang terlontar dari mulut Lila kepada adik dan pacarnya. Di kampus, Lila sebisa mungkin untuk tidak bertemu atau sekadar berpapasan dengan Bastian, sementara di rumahnya yang luas ia sebisa mungkin untuk mengurangi intensitas bertemu dengan Arin. Ia tak cukup mampu menahan malu dan rasa bersalah kepada dua orang itu, meski sebagian hatinya juga belum bisa menerima bahwa ialah yang berada pada pihak yang salah.

Dari semua persoalan yang ia hadapi, paling tidak Lila masih bisa bersyukur lantaran masih memiliki teman-teman satu gengnya sebagai tempat penghibur sedih. Seperti biasa, di jam istirahat, meski tidak rutin setiap hari, Lila dan kawan-kawan satu geng, yang notabene juga satu kelas itu menyempatkan diri untuk menghabiskan jam istirahatnya di kantin kampus sembari menikmati berbagai macam makanan yang disediakan kantin.

Sudah satu pekan Lila tidak masuk kuliah, maka wajarlah jika teman-teman satu gengnya begitu heboh menyambut kedatangan Lila kembali. Obrolan mereka lebih banyak membahas tentang Lila dan apa saja yang terjadi pada diri Lila hingga satu pekan tak masuk kuliah.

"Kamu sekarang udah benar-benar putus ya dengan Bastian? Semenjak kita nonton itu gimana perkembangan hubungan kalian?" tidak bisa dipungkiri, obrolan teman-teman segengnya itu pada akhirnya pasti bakalan mengarah pada urusan asmara Lila.

"Hmm .. gimana ya jelasinnya," kata Lila nampak berpikir, "emangnya kenapa Ce? Ada info yang tidak aku tahukah tentang Bastian."

"Enggak sih, aku cuman mau mastiin saja. Soalnya beberapa hari yang lalu aku dapet foto ini," kata teman Lila yang ia panggil Ce.

Ce menunjukkan beberapa foto dalam layar ponselnya yang menampilkan gambar Bastian dengan seorang perempuan. Dalam gambar itu nampak Bastian memeluk seorang perempuan di salah satu taman perumahan elit yang tidak semua orang diperbolehkan memasukinya kecuali warga perumahan itu sendiri. Lila tahu betul di mana taman itu. Taman dalam foto ponsel Ce berada di kawasan rumah Bastian. Dahulu Lila sering diajak main ke taman itu. Taman yang indah namun sepi pengunjung.

Lila juga tahu betul siapa perempuan dalam foto yang sedang dipeluk Bastian. Perempuan itu tidak lain adalah adik perempuan Lila sendiri, Arin. Dan pakain yang dikenakan keduanya dalam gambar sama persis dengan pakain yang dikenakan ketika Lila menampar Arin. Jadi Lila optimis bahwa Ce mendapatkan gambar itu tepat setelah Lila bertengkar dengan Bastian dan Arin.

Melihat tampilan dalam foto Ce, hati Lila menjadi remuk, panas, terbakar kembali. Dua sosok dalam gambar ponsel Ce, nampak begitu hanyut mesra satu sama lain.

Kini Lila bingung harus menjawab apa baiknya kepada teman-teman segengnya itu. Ingin ia menjelaskan bahwa gadis dalam foto itu adalahh adiknya, dan memberi pengertian kepada para sahabatnya bahwa antara Arin dan Bastian tak ada hubungan yang istimewa. Mereka akrab hanya karena Arin adalah adik Lila. Namun sisi lain hati Lila mengatakan, apakah hanya karena Arin adalah adiknya maka antara Bastian dan Arin bebas berpelukan mesra seperti itu. Ataukah jangan-jangan Lila sendiri yang terlalu sensitif. Ia kebingungan dalam menentukan batasan ideal antara lelaki dan perempuan boleh bersinggungan, sejauh mana batasan laki-laki dan perempuan boleh melakukan kontak tubuh.

"Aku sudah putus kok dengan Bastian," akhirnya kalimat itulah yang keluar dari mulut Lila.

"Oh iyakah? Kok bisa putus sih, bagaiamana ceritanya?" salah satu teman yang lain menyahut.

Mau tak mau Lila menceritakan kronologi kejadian putus hubungan dirinya dengan Bastian. Tentu saja dengan merubah sebagian besar kisahnya. Ia tak mengatakan satu kalipun dalam ceritanya bahwa gadis dalam foto itu adalah adik kandungnya sendiri. Entalah, ia merasa kalau menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada teman-teman satu gengnya bukanlah ide yang bagus, terutama tentang Arin yang sejatinya tidak lain adalah adiknya sendiri. Ia tak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, terutama oleh teman-temannya.

Ketika bercerita kepada kawan-kawannya itu sebisa mungkin Lila menampilkan diri sebagai sosok yang tegar dan tak merasa terpukul dengan kejadian itu. Ia menampilkan diri sebagai perempuan yang tak akan pernah kehabisan pilihan lelaki yang lebih baik dari Bastian.

Jam istirahat mereka habis, Lila dan tiga teman segengnya kembali ke kelas. Namun ketika pergantian mata pelajaran selepas istirahat, Lila keluar ruangan. Ia tak bersemangat untuk mengikuti jam kelas selanjutnya, ia beralasan bahwa ada agenda penting keluarga kepada kawan satu geng ketika pamit. Hatinya masih sangsai, mendapati foto dari ponsel Ce tadi membuat ia kehilangan semangat. Efek dari foto itu masih terasa hingga saat ini.

Ia berjalan menuju parkiran mobil. Kebetulan hari ini ia membawa mobil sendiri. Belum sampai ia di tempat mobilnya berada, pada salah satu pohon asam, di bawah dedauanan yang sedang berguguran disapa angin lembut, Lila menghentikan langkah kakinya. Ia duduk di bawah pohon itu, kebetulan di sana juga tersedia tempat duduk permanen dari semen yang dibentuk seperti batang pohon yang telah ditebang. Ia ingin sejenak menenangkan diri. Batin dan akalnya sedang kacau, ia benar-benar butuh ketenangan sesegera mungkin.

Namun belum lama ia duduk di bawah pohon yang rindang itu ponselnya berdering, tanda ada panggilan masuk. Ketika ia lihat ponsel, ternyata panggilan dari salah satu orang di dunia ini yang sedang sangat tidak ingin ia dengar suara dan wajahnya, Bastian. Lila kehilangan kontrol, ponsel yang ia pegang dilemparkannya sembarangan. Ponsel itu telontar ke depan sekitar tiga langkah dari Lila. Berhasil, ponsel itu diam tak bersuara seketika. Namun giliran Lila yang kini menangis tanpa suara di bawah pohon asam, ia terisak seorang diri, terisak yang tanpa suara.

Tidak, Lila ternyata tidak seorang diri di sana. Seorang laki-laki, pemuda dengan topi hitamnya kebetulan lewat di depan Lila tepat ketika sang gadis melempar ponsel. Ponsel Lila juga tepat berhenti di dekat kaki pemuda bertopi hitam. Pemuda itu mengambil ponsel Lila. Lalu meletakkan ponsel di sebelah si pemilik. Sang pemuda bertopi hitam mendapati gadis di hadapannya sedang sembab.

Sebenarnya pemuda bertopi hitam ingin bertanya tentang letak ruang kelas salah satu fakultas di kampus itu ketika melihat Lila, namun karena mendapati gadis yang hendak ia tanyai malah melempar ponsel dengan cara yang tak jelas, ditambah wajah Lila yang sembab seperti itu, ia menjadi ragu untuk bertanya. Malahan pemuda bertopi hitam mengucapkan kalimat yang tak pernah direncanakan oleh otaknya sendiri.

"Mbak, tidak semua orang seberuntung Mbak yang bisa memiliki ponsel sebagus ini," kata pemuda lirih, nyaris seperti menggumam setelah meletakkan ponsel di kursi permanen sebelah Lila.

Lila yang emosinya sedang sulit dikendalikan sontak berdiri. "Hei, apa urusanmu hah? Itu ponsel juga punyaku sendiri, belinya juga ndak pakai uang kamu," kata Lila membentak. Ia benar-benar tak habis pikir bagaimana mungkin orang yang tidak dikenl berani-beraninya berkomentar sok bijak kepada dirinya secara langsung.

"Oh, maaf Mbak. Saya benar-benar ndak sengaja keceplosan mengatakan itu tadi. Saya permisi dulu ya," kata pemuda bertopi hitam salah tingkah, ia mengucapkan kalimat demikian dengan senyum yang dibuat seramah mungkin.

Setelah meninggalkan Lila, pemuda itu merutuki tindakan bodohnya tadi sembari tertawa, menertawakan kekonyolnnya sendiri. Dalam hati ia berharap semoga gadis yang ia temui tadi marah membanting ponselnya itu bukanlah karena masalah asmara. Semoga.

Entah kenapa Lila merasa emosi dalam dadanya semakin mendidih saja. Terutama setelah kehadiran dan kepergian pemuda bertopi hitam beserta nasehatnya. Ia melihat bahu lebar sang pemuda yang cukup jangkung itu terlihat semakin mengecil seiring langkah kakinya yang tergesa-gesa pergi menjauh dari hadapan Lila.

Lila duduk kembali, dilemparkannya lagi ponsel yang telah diletakkan di sebelahnya oleh sang pemuda bertopi hitam tadi.


(Tunggu kelanjutannya di hari Jumat pekan depan)

RELA  LILAWhere stories live. Discover now