Jealousy

8.5K 130 0
                                    


"I'm Yours."

Aku hampir lupa kalau kalimat singkat itu sudah menjadi celetukan sehari-hari kami setiap kami mulai terkontaminasi kesibukan saat sedang berdua.

"Ngelamun aja. Sudah sampe nih. Aku nggak usah mampir yah. Udah kesiangan." Braga menepuk pahaku.

"Padahal Mami mau ketemu lakik yang nganterin aku nih. Payah kamu."

"Haha. Besok aja. Kan kita mau jalan-jalan. Kamu ikutan kan? Aku mau kenalin ke teman-teman aku." Braga mengedipkan sebelah matanya.

Mengenalkan aku ke teman-temannya? Hahaha. Sebagai apa? Teman curhat? Teman jalan? Teman bobo cantik? Eh.

Oke, untuk yang terakhir itu tolong deh jangan berpikiran negatif dulu. Bobo cantik itu Cuma bobo di depan TV sambil ngobrol. Ya, itu saja kok. Percaya dong ah.

"Oke." Aku mengecup pipinya sekilas sebelum turun dari mobil. "Salam untuk Papa dan Mama kamu." Tambahku lagi sebelum mobil Braga beranjak dari hadapanku.

---

Sesuai bayanganku, hanya Mama yang menyambutku di rumah. Papa seperti biasa, sedang tidak ada di rumah. Kerja. Biarpun sudah tua, dia masih giat sekali bekerja. Padahal umurnya sudah menjelang umur-umur pensiun dalam dua atau tiga tahun lagi. Tapi, Papa bahkan sudah menyiapkan usaha untuk menghabiskan sisa masa tuanya setelah pensiun nanti. Hanya kebun organik sih. Dan Papa menjualnya ke beberapa kafe yang gila-gilaan menjual makanan organik. Hasilnya? Lumayan banget. Setidaknya sudah ada empat kafe yang menjadi pelanggan tetap Papa.

"Jadi pulang sama Braga? Mana dia?" Mama celingukan mencari-cari Braga di balik punggungku. Maklumlah, beliau baru mengenal Braga melalui telepon-teleponku selama ini. Sesekali juga kami melakukan conference call bertiga, kalau kebetulan Braga sedang tidak sibuk.

"Dia cuma nganter aku, Ma. Besok baru datang lagi. Mau ajak aku malam mingguan."

"Jadi, sudah serius kau sama dia? Sudah pacaran kalian?" Ya, Mama selalu bergairah setiap mendengar anak perempuan satu-satunya ini berbicara mengenai laki-laki. Apalagi promosiku mengenai Braga sepertinya langsung menyentuh hatinya yang ingin segera memiliki menantu.

"Mama apaan sih? Aku duduk juga belum udah ditanya macam-macam."

"Yasudah. Kau makan dululah itu soto. Mama masak itu tadi, siapa tahu kalian mau sarapan di rumah."

"Kami berangkat kesiangan, Ma. Jadi tadi juga udah sarapan di rest area."

---

"Lo di Bandung dan nggak ngabarin gue? Si Denis juga kangen sama lo. Besok malam lo ikut lah." Tiara, salah satu sahabat Braga yang juga menjadi teman bergosipku langsung menerorku dengan telepon begitu Braga mengumumkan keberadaannya pada dunia Path dengan check-in di lokasi rumahnya dengan embel-embel 'with'-nya aku. Tiara dan Denis - sahabat Braga juga - tinggal di Bandung dan akhir-akhir ini selalu memaksa kami berdua berkunjung ke Bandung.

"Besok malam kemana? Ngapain?" Duh, aku kan sepertinya akan menemani Braga ke tempat teman-temannya.

"Lho? Braga belum kasih tau lo kalau besok malam dia mau reunian sama teman-temannya di Bandung. Dia mau ngajak lo katanya."

Oh.

"Oh. Ikut kok gue. Tapi belum bilang Braga. Dari tadi Whatsapp gue belum dibales-bales sama dia."

"Bagus! Sampai ketemu besok. Gue pengen ngegosipin cewenya si Dennis sama lo. Jadi, lo harus lihat wujudnya dulu."

Aku tertawa saja.

"See you, Darl!"

---

Tidak ada - atau belum ada - yang mengetahui alasan aku berada di Vanilla Ktichen & Wine dan duduk di deretan meja bertuliskan "Reserved" di salah satu pojokan lantai dua kafe tersebut. Selain Tiara, Dennis, dan pastinya Braga. Teman-teman Braga masih menatapku penasaran dari semenjak aku dan Braga bergandengan tangan menghampiri deretan meja-meja tersebut.

Aku datang sendiri tadi ke kafe ini dan bertemu Braga di kafe seberang. Aku nyasar. Lalu selanjutnya aku langsung menumpang mobil Braga.

"Ah, kalian datang berdua. I miss you, Kakak!" Dennis langsung berseru melihatku dan melupakan perempuan subur di sebelahnya yang kesal melihat Dennis memelukku erat.

"Jangan peluk-peluk. Nanti ada yang marah." Braga menegur Dennis. Pipiku langsung bersemu merah mendengar pernyataan cemburu Braga.

"Cewe lo udah mau meledak tuh," lanjut Braga lagi sambil berbisik di telinga kami berdua.

Selanjutnya tanganku dilepaskan Braga setelah dia memaksaku duduk di sebelahnya. Tempat duduk yang sebelumnya diteliti terlebih dahulu, mengukur-ukur arah angin berhembus. Seriously.

"Biar asap rokok nggak kena kamu nanti," lanjutnya.

Tiarapun langsung duduk di sebelah kiriku. Meremas tanganku sambil memberi kode tentang keberadaan perempuan subur di sebelah Dennis. "Cewenya Dennis yang dari tadi pengen telan lo pas pelukan sama Dennis," bisiknya di telingaku.

"So, siapa nih yang lo bawa, Ga? Nggak dikenalin?"

Aku langsung deg-degan. Braga akan memperkenalkanku sebagai apa ya?

---

Lady in BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang