Chapter 2 - Asher Reed

924 68 22
                                    

Chapter 2 – Asher Reed

03.24 am – U.N Presidential Room, Capitol District. 

“Sudah berapa kali ayah bilang untuk berhenti bersikap kekanak-kanakan, Alix Reed! Berkeliaran di tengah malam di zona berbahaya, kau bisa terluka atau bahkan terinfeksi! Apa kau mau melihat pria tua ini mati karena ulah kekanak-kanakanmu?”

Kulihat urat nadi di leher serta pelipis ayah menyembul dan kedua iris biru gelapnya terlihat hampir melompat keluar, membuatku mengernyit untuk beberapa saat. Aku menatap malas pada presiden U.N yang terkenal dengan pengendalian emosinya pada bawahan serta para petinggi federasi itu, yang sialnya adalah ayah kandungku.

Sudah sejak aku dijemput paksa oleh para pengawal dan peace keeper sialan itu, ayah tak henti-hentinya berkhotbah panjang tentang betapa nakal-nya kelakuanku. Oh, sekali lagi aku tidak nakal. Karena aku hanya gadis 19 tahun yang kurang perhatian dan ingin membuktikan pada ayahnya kalau dia bukan cuma gadis lemah yang tak bisa melindungi dirinya sendiri, pecinta kebebasan dan tidak suka dikekang apalagi terikat.

Aku, Alix Reed yang melihat dunia dengan sisi berbeda, sisi yang biasanya ditinggalkan dan dipandang sebelah mata serta di cap amoral karena bertentangan dengan norma-norma serta dasar kehidupan sosial. Sialnya semua yang dianggap buruk bagi orang sekarang adalah hal yang paling kusukai.

Termasuk membahayakan diri sendiri dengan menyelinap keluar di tengah malam tanpa perlindungan.

“Sudah selesai, Dad? Karena aku benar-benar ngantuk dan ingin cepat tidur.” Aku menguap lebar dengan tingkat kepura-puraan ala keluarga Reed. Dan memandang pria berambut coklat terang itu dengan mata menyipit malas. Kuangkat kedua kakiku ke atas meja kecil di ruang kerja ayah, dan menekuk tangan di dada, menunggu kalimat-kalimat ayah selanjutnya yang kupastikan akan sama membosankannya dengan menonton tv tanpa suara.

“Semua petinggi sekarang membicarakan anak ayah yang lebih mirip pemberontak dibanding anggota kenegaraan. Dan mereka pasti bosan menemukan berita tentangmu lagi di surat kabar dan siaran berita besok pagi.”

Mata biru gelap ayah yang sangat kubanggakan karena kuwarisi dalam warna mataku, memandangku lelah. Dan walau sekarang ayah duduk di belakang meja kerjanya yang super besar itu dengan tenang. Aku tahu dia pasti sedang berusaha mati-matian untuk tidak berdiri dan meledakkan amarahnya di depan putrinya yang katanya suka memberontak ini.

“Oh itu nggak mungkin terjadi. Karena Dad pasti sudah lebih dulu membayar media agar nggak mencetak beritaku di surat kabar,” aku menjawab santai sambil menggidikkan bahuku.

Kulihat ayah memijat pelipis dengan ibu jari dan telunjuknya sebelum menatapku dengan pandangan lelah bercampur marah dan kecewa. Oh ya ampun, aku sudah melihat tatapan seperti itu beratus-ratus kali. Tapi tidak pernah ada tatapan yang benar-benar menunjukkan kalau dia peduli padaku, pada putrinya yang sering dicap sebagai gadis pemberontak oleh media.

“Lexa pasti sangat kecewa melihat tingkah anak gadisnya sekarang. Anaknya bahkan sudah menjelma menjadi gadis pemberontak yang suka melawan ayahnya sendiri. Ayah kecewa padamu dan kurasa ibumu juga pasti sangat kecewa.”

Kulihat pria awal lima puluhan dan berambut coklat terang itu menenggelamkan wajahnya pada telapak tangannya yang terbuka. Petinggi-petinggi sialan dan bahkan ayah sekalipun boleh men-capku sebagai gadis pemberontak, tapi tidak jika sudah menyangkut masalah Mom. Mom nggak akan pernah kecewa padaku. Karena aku tahu seberapa sayang dan kagumnya dia padaku. Dan kalau harus ada yang disalahkan maka itu adalah ayah, dan bukannya aku. Pria tua itu yang harusnya disalahkan!

Cukup, aku sudah tidak tahan. Selama ini aku selalu menurut begitu ayah menyuruhku untuk diam di kamar dan mengikuti segala taktik politik yang sudah dirancangnya untuk masa depanku, walau aku terus memberontak. Kali ini tidak lagi, tidak akan kubiarkan pria tua itu mengatur kehidupanku lagi.

EradicationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang