5.

29 2 0
                                    

***

Someone call me. Nomor tak dikenal dan kode teleponnya berasal dari luar negeri, entah dari negara mana. Sepertinya ini lumayan penting. Takutnya yang meneleponku itu saudaraku yang di Mesir. Tapi biasanya mereka akan menelepon ke telepon rumah bukan ke nomor handphone. Ini rumit ><"

"Thalia!" seru mamaku dari bawah sana.

"Ya tunggu ma, lia ke bawah dulu", satu persatu anak tangga aku turuni dengan langkah gontai. Aku sedang mager dan mamaku memanggil, pilihan yang sulit.

"Thalia, besok ke rumah tante Resi ya? Ada yang mau dibicarain sama kamu",

"Apa? Aku, aku ma? Gak salah gitu?", sepenting apa diriku bagi tante Resi sampai ia ingin bertemu denganku esok hari?

"Iya, kamu kan besok masuk sore jadi wajib ikut tanpa alesan, paham?" Mama kembali memasak sup ayam dan tak peduli dengan jawabanku. Ayolah ma, aku belum memutuskan jawabanku. Lagian, tumben banget sih tante Resi ..

"Ya kalo gini pasrah aja deh" aku langsung menuju kamar dengan perasaan yang sedikit kesal. Itulah mamaku yang sering memaksaku untuk ikut pergi ke rumah temannya Mama atau saudara-saudaraku. Bukannya tidak suka, namun aku sering ditanya perihal menikah. Oh ayolah, jodohnya aja belum keliatan,-

"Ish, tante Resi kan orang yang paling sering nanya aku kapan nikah depan anaknya si Zian, mana dia suka ketawain aku lagi. Oh iya, Zian apa kabar kuliahnya di Kairo? Ketemu pas lebaran dan dia habis di wisuda. Huft, semoga besok nggak, - eh".

Suara ketukan itu membuat celotehku berhenti. Badanku langsung refleks berbalik ke arah sumber suara. Perlahan pintu terbuka dan seorang perempuan muncul dari balik pintu. Ternyata anak ini.

"Assalamu'alaikum cantik nan shaleha", senyumnya itu lho bikin siapa pun yang melihatnya ngefly.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah Rin. Kirain siapa tiba-tiba ngetuk pintu, knock knock my door deh". Yang diajak bicara hanya terkekeh.

Arin pun langsung duduk di atas karpet lembut berwarna pink salem sambil memangku bantal kecil di pahanya. Wajahnya menandakan kecurigaan, tapi aku merasa tak membuatnya curiga karena ia baru saja masuk ke kamarku.

"Aku mau nanya Ya", aku mengangguk.

"Zian siapa?"

Masya Allah, to the point amat nanya nya mbaa.

Apa yang harus aku katakan? Aku belum pernah menceritakan soal Zian pada siapa pun termasuk sahabat-sahabatku. Ini rahasia besar yang telah 2 tahun aku pendam. Rasa-rasanya ingin ku berlari kabur secepat mungkin daripada ditanya tentang ini.

"Paansi Rin, tiba-tiba nanya yang kayak gitu? Itu mukanya jan serius amat dong, hee", niat hati ingin mencairkan suasa. Namun keadaan justru malah sebaliknya.

"Kalau kamu gak jawab aku, aku mau pulang tanpa dapat jawaban apapun dari kamu".

Yah, ngancem ><

"Pulang lagi aja deh" dia bangkit dan menggendong tasnya tanpa basa-basi. "Et, et, et.. Mau kemana Rin?" tanganku setengah basah oleh keringat dingin. "Pulang lah, habisnya kamu ga jawab" jawabnya sinis.

"Maaf deh. Iya ini aku mau cerita tapi kalem".

Arin mengangguk dan kembali pada tempatnya barusan. Jari-jari kecilnya memangku wajah pertanda menunggu jawaban. Nyerah saya mba ..

"Jadi gini Rin, Zian.. Em, Zian itu.."

***

"Sungguh tidak dapat dipercaya. Thal, kamu.. Ini luar biasa. Akhirnya sahabat aku normall - aww",

Kamu Sang Takdir Yang Ku Nanti {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang