7.

25 1 0
                                    


***

"Satu polesan lagi. Iyap, selesai" ujar bibinya Thalia.

Iya, siang ini mereka telah siap untuk berangkat ke rumah Resi -ibu dari Zian- untuk bersilaturahmi. Tentunya sekalian untuk memperdekat hubungan dua keluarga tersebut.

Seiring dengan bergulirnya waktu, jantung Thalia seakan semakin berpacu dan hendak loncat dari tempatnya. Ia gugup karena akan bertemu dengan Zian. Bukannya aku sudah sering bertemu Zian bahkan berbicara dengannya, namun kenapa kali ini aku merasa gugup? Ya allah, desisnya.

Semakin lama duduk menunggu kedua orangtuanya menjemput dirinya dari kamar, semakin tak bisa diamlah Thalia di kamarnya. Kakiknya terus menyeret dirinya kesana-kemari menjelajahi kamarnya yang cukup luas. Handphonenya ia letakkan di nakas. Berharap tak ada yang menghubunginya saat ini atau dia akan merasa gelisah.

"Ya!" seru bibinya sambil masuk dari balkon kamarnya. Rina -bibinya Thalia- baru saja mengambil foto dari balkon.

"Apa Kak?" balas Thalia yang baru menghentikan gerakan setrikanya itu.

"Gak pusing memangnya?", Rina menarik kursi dan langsung duduk di depan meja riasnya Thalia.

"Pusinglah Kak. Duh pake maraton lagi ini hati, astaghfirullah" omelnya.

Rina hanya menanggapinya dengan senyuman kecil. Ia tak menyangka bahwa keponakannya itu sebentar lagi akan menyusulnya, menikah. Perasaan baru kemaren kamu lahir Ya, batin Rina.

Selang beberapa menit kemudian, pintu kamarnya diketuk. Thalia pun melangkahkan kakinya dan segera membuka pintu.

"Kak Iya!", belum sempat dirinya menanyakan pada adiknya itu 'ada apa kemari?' dirinya malah dipeluk oleh kedua adiknya itu.

"Eh Ira, Ica?"

Adiknya masih bergeming dalam pelukannya. Thalia mencoba mensejajarkan tubuhnya dengan mereka. Perlahan ia mengusap punggung Sheera dan Tharissa lalu mengajak mereka duduk di atas karpet lembut yang tergelar di kamarnya.

"Idih nangis, meluk-meluk lagi. Aneh"

Bukannya menjawab mereka malah memasang wajah cemberut. "Apaan sih kak? Bukannya nanya kenapa nangis malah digituin, hih", kira-kira begitulah ujar mereka dalam hati.

"Kita sedih", Ira membuka suara. Diiringi anggukan kecil dari Ica. "Tadi kita denger kalo bentar lagi Kakak mau nikah. Nanti kalo udah nikah pindah dan kita gak ada temen berantem dong",

Ucapan dari Ira sukses membuat Thalia melongo sempurna dan Rina pun ikut mematung mendengar penuturan dari kedua anak kecil itu. "Kok kamu bilang gitu Ra?" tanya Thalia.

"Ya gitu" ujar Ica. Dia menggantikan Ira untuk menjawab pertanyaan Thalia.

"Sudahlah. Gak usah dibahas sekarang. Ira, Ica, kalian tenang aja dan gak usah risau apalagi dipikirin. Mending main sana sama Om Fariz, minta beliin es krim aja", rayu Rina. Ia tak ingin mereka terlibat dalam percakapan yang tak seharusnya mereka tahu. Jadi ia mengarahkan mereka untuk membujuk Fariz -suaminya- untuk membelikan mereka es krim.

Tentu saja mata mereka langsung membulat. Wajah sumringah mereka langsung terbit dan berlalu begitu saja saat diiming-iming es krim oleh bibinya itu. Mereka sangat menyukai es krim apalagi ditraktir.

Rina mengantar mereka pada Fariz sementara Thalia masih diam di kamarnya. "Sebentar lagi katanya? Bagaimana dengan kuliahku Ma, Pa?".

"Ya.." panggilan itu membuatnya menoleh. Mamanya sudah berjalan mendekatinya. Thalia langsung beranjak dari tempatnya.

"Ayo, sudah terlalu siang ini" ujar Tia -mamanya- sambil melingkarkan tangannya di lengan kiri Thalia.

"Ah, iya Ma" ia pun mengangguk dan langsung mengambil barangnya yang telah ia siapkan sejak tadi.

Kamu Sang Takdir Yang Ku Nanti {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang