Residen Bedah

5.3K 300 32
                                    

WARNING!!!

Typo bertebaran, banyak pakai bahasa medis, banyak lawakan garing.

Ga suka? silahkan pencet tombol 'Back/Kembali'.

"RESIDEN BEDAH!!!"

"Sa-saya dokter.." jawabku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku lari dari depan ruang gawat darurat ke bangsal pasien untuk menghadap supervisorku. Baru mau pergi nyari teman seperjuangan, ha-ahh.

"Kamu ga liat ya ini pasien apendisitis kesakitan? Mana sisi kemanusiaanmu jadi dokter? Sudah di anamnesis belum? Sudah diminta pemeriksaan lanjutan belum?" cecar dokter Angga, salah satu supervisorku di bedah sambil menunjuk pasien yang sedang memegangi perutnya. Termasuk dokter yang paling tegas kalau sudah berhubungan dengan pasien, dan dokter termuda juga di divisi bedah digestif.

Perawakannya ideal untuk seorang pria, warna kulit untuk ukuran pria tergolong cerah, penampilan rapi. Mendapatkan gelar Sp. B-KBD, MARS di umurnya yang ke-27 tahun (sekarang usianya 29 tahun), dan sekarang ikut pendidikan lagi untuk gelar Doktor. Kesayangan pasien dan seniornya di divisi bedah digestif, tapi mimpi buruk untuk koass dan residen seperti aku.

Kata pamanku yang seorang professor di RS ini, pacar-able, suami-able, bahkan mantu-able. Tapi aku dan teman-teman seperjuanganku lebih sering mengatakan 'penjagal neraka' karna dia tegas (baca: galak).

Aku melirik sedikit kearah pasien dengan kepala yang tertunduk, "Sudah dok, sebelumnya sudah saya anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda ependisitis dan saya lakukan pemeriksaan vital sign. Saya sudah beri rujukan untuk melakukan CT-scan untuk konfirmasi ada perforasi atau tidak. Saya juga sudah menghubungi dokter Andi untuk konfirmasi mengenai pasien dan perkiraan waktu operasi dok. Saya juga pasang IV line dok." Kataku memberi tahu apa saja yang sudah kulakukan pada pasien bangsal ini.

Jantungku berdegub ngeri membayangkan apa lagi kata-kata yang akan tumpah dari mulut itu. Ahh mungkin bibirnya akan terlihat seksi kalau saja kata-kata yang keluar tidak menyakitkan hati orang yang diajaknya berbicara. Sekarang bibirnya hanya terlihat seperti karung cabai.

"Diresepkan analgetik ga?"

"Iya dok saya resepkan Aspirin tadi."

"terus habis kamu resepkan aspirin, pasiennya ga kamu observasi sebelum jadwal operasinya keluar, gitu?" duh dokter, punya gudang pertanyaan sarkasme ya? Lemah jantung ini saya kalo tiap hari berhadapan sama dokter terus.

"Ma-maaf dok, tadi saya keluar sebentar cari residen lain untuk gantiin jaga dok karna saya mau makan siang dulu." Dokter Angga menaikkan satu alisnya.

"Oh kamu belum makan, yaudah sana istirahat! Lain kali kalo mau pergi nyari teman buat tukar jaga titip pesan dulu sama perawat disini, biar mereka tau apa yang harus dilakuin ke pasiennya. Jangan lupan panggil tuh temen-temen kamu yang lain." Duhh dok dari tadi kek gini, kan saya seneng ya.

"Baik dok, terima kasih. Maaf kelalaian saya yang tadi dok, permisi." Aku pun berbalik arah ingin segera pergi dari hadapan dokter Angga. Dari balik punggung aku mendengar dokter angga hanya menggumankan 'Hmm' sebagai jawaban kalimatku tadi.

Akhirnya aku bisa ke kantin juga. Tadi pagi aku hanya sarapan roti dan susu coklat karena temanku mengatakan ada pasien 3 darurat dan aku harus segera ke rumah sakit.

Aku mengambil HP dan melihat pemberitahuan dari pelangganku. Selain jadi dokter aku juga memiliki bisnis, bukan bisnis besar sih, hanya bisnis online shop biasa. Ini karna aku belum bisa praktik akibat langsung melanjutkan ke jenjang spesialis sekaligus master. Penghasilannya juga lumayan jadi tidak ada ruginya sama sekali ikut bisnis ini. Ku-scroll lagi sosial mediaku ada pemberitahuan dari grup teman-teman seperjuanganku. Kubuka, dan kemudian kubaca satu-persatu chat mereka

Risa: Iris, dimana lo?

Risa: katanya mau makan, ini udah gue pesenin Fuyung hai.

Risa: kalo dingin gaenak loo..

Fabian: kalo lo ga kesini juga, gue yang makan ya iris.

Irischa: enak aja lo! Gue otw nih

Irischa: tadi habis kena damprat sama dokter Angga

Bagus: wets tumben manggilnya dokter angga

Bagus: ada apa gerangan? Wkwkwk

Risa: ciahh ada yang mulai tumbuh bunga2 cinta nehh

Irischa: taik emang lo pada

Irischa: eh kalian kalo udah selesai makan buru gih ke bangsal

Irischa: udah ditunggu sama penjagal neraka noh..

Febian: gue sama Nanda otw deh kesono karang..

Febian: doakan kami ya teman2, agar kami bisa berkumpul

dengan kalian lagi dalam keadaan sehat dan tidak kurang satu apapun

Nanda: ahh lebay lo Bian! Buru ah!

Aku menutup obrolan itu dan tertawa. Ha-ah, andaikan tidak ada mereka, mungkin aku tidak akan sanggup jadi residen bedah tanpa mengunjungi psikiater.

------------------------------------------------Catatan Residen Bedah-----------------------------------------

Di Kantin

"IRIS SINI!!" Risa melambaikan tangan dari meja pojok kantin. Aku menghampirinya dan mendudukkan diriku di sebelahnya.

"eh gimana? Kok lo bisa kena damprat penjagal neraka?" Tanya Risa kepo.

"tadi gue, habis resepin aspirin buat pasien apendiks, terus gue tinggal bentar mau nyari kalian buat gantiin jaga. Gue lupa nitip sama perawat di sono, ehh ternyata aspirinnya ga mempan sama pasiennya, nah pas banget dokter Angga lagi visite tuh ke bangsal itu yaudah kena deh gue." Kataku sambil mulai makan.

"Lagian dokter Angga tuh beda ya, kalo dokter lain yang tau lo keponakan professor disini mah biasanya ga bakal sekejam itu sama lo." Kata bagus menimpali. Ya, aku Irischa seorang residen bedah tahun ke-2 merupakan keponakan salah satu professor di rumah sakit besar ini. Tapi tidak banyak dokter disini yang tau tentang itu dan aku bersyukur, karena aku tidak suka mendapat perlakuan berbeda akibat nama pamanku. Aku masih lajang dan belum memiliki keinginan pacaran di usiaku yang ke-25 tahun ini, kenapa? Ayolah, aku sudah cukup sibuk dengan kehidupanku sebagai residen bedah dan seorang pebisnis. Pacaran bisa menunggu sampai aku mendapatkan gelar spesialis dan master.

Benarkan??

"Ya bagus kan? Adil gitu, gaada yang perlu di spesialin juga dari statusku yang cuma keponakan pamanku." Kataku sambil nyengir. Ya tapi bener juga sih yang dibilang mereka, kalo dokter-dokter senior yang tau aku keponakan salah satu profesor disini, perlakuannya pasti beda dibanding yang lain. 

Hal itu yang buat aku kurang nyaman dan ga enak sama teman-temanku yang lain, jadi dengan adanya Dokter Angga ini aku masih bisa meraskan kehidupan sebagai residen yang sebenarnya. Ya meskipun aku tidak berharap dia akan sekejam ini juga sih. Mungkin kalau dia memiliki kepribadian seperti Dokter Dika akan lebih menyenangkan untukku.

------------------------------------------Catatan Residen Bedah-----------------------------------------------

Catatan:

1. Appendicitis (apendiks): radang pada usus buntu

2. Anamnesis: wawancara medis

3. Vital sign: pemeriksaan yang meliputi suhu, nadi, laju nafas, nyeri, dan tekanan darah

4. Analgetik: pengilang rasa nyeri

Salam kenal Aku Rani dan ini ceritaa pertamaku, mungkin bakal update sesuai kesibukanku juga.

Semoga alurnya bisa diterima oleh banyak pihak yaa, kalau ada yang bingung dengan istilah-istilah yang rani pake di cerita ini komen aja yaa.

Ohh ya karna aku masih baru di dunia tulis-menulis (biasanya Cuma nulis essai ilmiah aja) jadi kalau ada tata cara penulisan yang salah tolong dikoreksi denga bahasa yang SOPAN ya.

ternyata nulis itu susah euy, beneran. jadi makin menghargai penulis-penulis senior lainnya..

Jangan lupa Vote & komen yaaa :3

Mereka Memanggilmu 'Dokter'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang