Empat.

3 2 0
                                    

"Mau ikut ke Mango Six, tidak?" tanya Seunghee, aku memasukan buku ke loker lalu mengambil tasku.

"Entahlah, Seunghee. Aku harus ke Myeongdong." jawabku lelah.

"Tapi ini 'kan ulang tahunnya Yoojin, semua anak diundang. Masa kau tak datang?"

"Aku juga berharap bisa ikut, Seunghee." kami berjalan menuju gerbang sekolah, di mana Sunbyul dan Jimin sudah menunggu. "Sungrin mana?" tanyaku pada mereka.

"Harus mengantar sesuatu ke rumah sakit." Sunbyul mengancingkan trench coatnya sampai leher. Angin sedang bertiup kencang sekali hari ini.

Orang tua Sungrin bekerja di rumah sakit lokal di dekat sini. Bukan sebagai dokter, tapi sebagai staff. Ibunya di bagian administratif dan ayahnya seorang apoteker. Tidak hanya itu, pekerjaan sampingan mereka ternyata adalah pemasok peralatan kedokteran ke rumah sakit tersebut. Dan kakak laki-laki Sungrin adalah dokter bedah muda yang belakangan menjadi ketua majelis di konferensi dokter bedah se-Asia Timur. Tidak heran kalau Sungrin juga terobsesi untuk jadi dokter, dia hidup di lingkungan penuh obat kimia dan jas putih steril. Aku hanya tidak mengerti pola pikir mereka.

"Oke kalau begitu. Selamat bersenang-senang, ya!" aku tersenyum singkat pada teman-temanku lalu berlari ke halte bis dan tak lama kemudian bis yang akan mengangkutku pun datang.

Yang tidak kusadari adalah, langit yang tadinya berawan kini mulai terbuka. Meneteskan rintik-rintik gerimis yang semakin lama semakin deras dengan butir-butir air yang makin besar. Semoga saja aku membawa jas hujan, pikirku. Saat kuperiksa tasku, aku tak menemukan jas hujanku. Yang benar saja, aku lupa membawa jas hujan.

Oh, kenapa aku bisa tidak memprediksi hujannya.

Beberapa kali kucoba menelpon Kibum tapi tidak juga ada jawaban.

"Oh, tidak." Gumamku ketika melihat ke luar jendela.

Hujannya makin deras begitu aku sampai di perhentian. Pakaianku pun langsung basah kuyup saat aku turun dari bis.

Tidak mungkin aku sampai di sana dengan keadaan seperti ini.

Tiba-tiba ada satu pesan masuk ke ponselku. Ternyata dari Hanna.

Kau dmn? :(

Tanpa menunggu lagi aku langsung menelpon Hanna. Setelah nada tunggu ketiga, barulah Hanna mengangkat telponnya.

"Minah! Kau di mana? Hujannya deras sekali di sini!" Hanna berteriak dari ujung telponnya.

"Uh, di sini juga hujan. Apa ada yang bisa menjemputku? Aku tidak yakin bisa selamat sampai di sana."

"Aku bisa saja menjemputmu ke sana, Minah. Tapi di sini sibuk sekali, harus ada yang mengatur-Ah!" seseorang merebut ponsel Hanna.

"Tengil!" Kibum? "Aku bilang kan tidak usah datang! Cuacanya buruk begini, dasar tolong!"

"Kau tidak bilang-!"

"Aku kirim e-mail sampai tiga kali!"

"Masa?"

"Sekarang terserah kau saja mau pulang atau diam di sana karena tidak akan ada yang menjemputmu!"

Lalu sambungannya diputus.

Kuperiksa pesan masuk dan menemukan tiga surel dari Kibum. Salah satu di antaranya masuk kotak spam. Bodohnya aku. Hujan sederas ini tidak ada kendaraan yang lewat. Bahkan bis pun tidak ada. Dan Kibum sangat marah padaku. Bagaimana aku harus pulang?

Apa aku jalan kaki saja? Aku akan sampai di rumah tepat sebelum makan malam kalau aku mau berjalan sedikit.

Tapi bagaimana dengan hujannya? Ini tidak terlihat seperti akan berhenti sebentar lagi.

FifteenWhere stories live. Discover now