II

8 0 0
                                    


Hangat disini, angin sejuk berkali-kali membelai rambut dan pipiku. Aku membuka mata, cahaya terang langsung menerpa penglihatanku. Langit sangat biru, dengan gumpalan-gumpalan awan putihnya. Apakah ini surga? Apakah aku benar-benar mati?

Aku terduduk. Kulihat sebelahku ada batang pohon semalam. Kulihat sekeliling, ternyata aku masih di tempat sialan ini. Aku masih hidup –dan aku tidak tahu harus bersyukur atau marah. Marah? Marah pada siapa? Bahkan aku tidak tahu siapa yang akan mengambil nyawaku. Memang ada Tuhan? Selama ini yang aku lakukan hanya sujud di depan patung kepala negara. Dengan begini bukan berarti tuhanku kepala negara itu kan? Karena aku tidak rela kalau Tuhanku adalah dia.

Aku dengar ada yang membuka pintu rumah dan berlari ke arahku. Itu Mama. Ia langsung memelukku dan mengelus-elus rambutku.

"Kau tidak apa-apa, Morf?" ia menatap wajahku lekat-lekat. Melihat apakah aku baik-baik saja. Ekspresinya sangat cemas.

"Ya. Bagaimana Mama bisa keluar?"

"Papa sedang tidur. Mama diam-diam keluar. Mari masuk, Nak. Di luar sini dingin." Ia membantuku berdiri dan memelukku sepanjang jalan.

Mama mengantarku ke dalam kamar dan menyuruhku beristirahat. Ia terus memastikan bahwa aku tidak apa-apa. Setiap kali aku dan Papa berkelahi dan aku harus tidur di luar, Mama selalu khawatir tentang keadaanku. Kadang aku bingung bagaimana bisa orang sebaik dan setulus Mama bisa mencintai pemabuk seperti Papa.

***

Seharusnya hari ini aku sekolah, namun Mama berpesan agar aku menjaga rumah dari pencuri-pencuri di luar. Papa tidak ada di rumah, Mama pergi ke bukit untuk menelepon bibi –dia pindah ke Athena dan karena ponsel kami diawasi pemerintah, kami tidak bisa menghubungi warga negara yang pindah. Maka dari itu kami membeli ponsel dari negara lain dan memakai operator mereka, alhasil kami harus naik ke bukit untuk mendapat sinyal— dan kakak sekolah –hari ini kakak ada ulangan akhir semester.

Semenjak kelaparan mewabahi negeri ini, banyak pencuri-pencuri berkeliaran di jalanan. Mereka akan mencuri sesuatu yang berharga dari rumahmu dan menjualnya ke luar negeri. Motifnya, agar dapat uang untuk memberi makan keluarganya. Jadi, disinilah aku, berdiam diri menjaga rumah.

Aku bosan, daritadi yang aku lakukan hanya membaca buku dan belajar. Jadi aku pergi ke jendela dan duduk. Aku memerhatikan jalanan dengan bosan. Tidak ada orang lewat, hanya ada pohon dan rumput yang bergerak. Sampai aku lihat Ben, tetangga sebelah dan teman dekatku, berjalan dengan lemas. Tubuhnya dikerubungi lalat. Ia berusaha mengusir lalat-lalat itu namun gerakan tangannya sangat lemah. Sekali lalat-lalat itu terbang, aku bisa melihat betapa bola matanya seperti ingin keluar saking kurusnya. Setelah itu lalat-lalatnya akan kembali mengerubungi tubuhnya.

Aku merasa kasihan padanya. Dia adalah teman kecilku. Aku tidak mau ia mati kelaparan. Aku bergegas keluar dan menghampirinya. Namun aku pun terlalu lemah untuk berlari. Aku menyeret kakiku yang lemah keluar. Telat, sebelum aku sampai di dekatnya, ia sudah jatuh terkapar di pinggir jalan. Tetap saja aku menghampirinya dan mengusir lalat-lalat itu pergi. Aku duduk di sebelahnya dan memangkunya. Tubuhnya cukup berat untukku karena kami berdua kurus kering. Aku bisa melihat cekungan matanya, pipinya, tulang hasta dan pengumpilnya, serta tulang betis dan tulang keringnya. Aku cek hidungnya tidak mengeluarkan nafas. Maka aku dengar jantungnya... tidak berdetak.

Aku merasa sangat sedih dan frustasi. Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau di lingkungan rumahku saja sudah ada satu yang meninggal bagaimana dengan lingkungan rumah orang lain? Ada berapa rukun tetangga di negeri ini semuanya? Kalau begitu sudah berapa orang yang meninggal? Aku sangat ingin menangis namun tenagaku tidak ada bahkan untuk mengeluarkan air mata. Aku hanya bisa memperhatikan temanku.

Aku melepaskan Ben dan membawanya ke tengah lapangan berumput terdekat. Lalat-lalat itu kembali mengerubunginya. Beberapa menghampiriku dan hampir saja mereka mengerubungiku. Namun aku masih cukup punya tenaga untuk mengusir lalat-lalat itu. Aku pun pergi dari lapangan itu karena tidak kuat untuk melihat Ben perlahan-lahan mati digerogoti lalat.

Aku teringat rumah yang ditinggal. Aku buru-buru menghampiri rumahku dan mencoba untuk berlari, namun tidak ada tenaga yang keluar. Maka aku menyeret-nyeret kakiku secepat mungkin. Rumahku mulai terlihat. Dari seberang aku lihat rumahku baik-baik saja—pintunya tertutup rapat, namun tetap saja aku khawatir karena pencuri-pencuri itu cukup pintar untuk tidak meninggalkan kesan bahwa rumah itu habis dicuri.

Aku menyebrangi jalan dan mendorong pintu. Kulihat ruang utamaku berantakan—semua perabotan tergeser dan tidak ditempatkan pada posisinya, buku-buku bertebaran. Aku menuju dapur dan keadaan yang sama pun terpampang. Akhirnya aku tahu apa yang pencuri ini cari. Dia mencari minuman keras milik Papa, dan kelihatannya ia berhasil. Dua botol minuman keras milik Papa tidak ada.

Aku tidak tahu harus beralasan apa nanti. Yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa aku harus tidur diluar lagi malam ini. Terdengar ketukan dari pintu. Aku menoleh ke arah sana dan semakin takut jika itu adalah Papa. Ternyata itu adalah kakak.

Raut mukanya melihatkan keterkejutan yang sangat jelas. Kakak sendiri pun bingung harus bagaimana setelah aku beritahu bahwa pencuri itu mencuri minuman Papa. Kami berdua sama-sama cemas dan tidak tahu harus apa. Namun tidak lama kemudian aku menyarankan kalau lebih baik kami rapihkan rumah terlebih dahulu agar orang tua kami tidak tahu bahwa rumah ini habis dicuri. Kami berdua pun bekerja sama merapihkan perabotan.

Saat kami sedang bekerja, pintu itu berketuk lagi. Aku dan kakak saling lihat-lihatan dan sama-sama cemas. Kami berdua takut kalau itu Papa. Dan ternyata muncul Mama dari balik pintu.

Raut wajah Mama ikut cemas setelah tahu kalau rumah ini habis dicuri. Memang pencuri itu tidak mencuri uang kami, karena memang kami sudah tidak punya uang. Namun kami bertiga cemas akan kemarahan Papa yang akan meledak. Karena pencuri itu baru saja mencuri separuh jiwa Papa; minuman alkohol.

***

Pada pukul lima sore Papa pulang tanpa mengetuk. Dia masuk dengan langkah terkatung-katung karena mabuk berat. Rumah kami sudah rapi, namun aku rasa Papa juga tidak tahu karena matanya tertutup sejak masuk.

Bersyukur malam ini kami tidak harus mendengar kemarahan Papa dan aku tidak harus tidur di luar. Karena Papa langsung pingsan semenjak ia tiga kali melangkah masuk ke dalam rumah.


***

Maafkeun yang lama meng-update cerita ini... ya kembali lagi, ini emang iseng iseng doang sih hehe tapi kalian sangat dianjurkan vote dan ngasih tau temen-temennya yak wkwk

MorpheusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang