Hai, ini cerita baru yang semoga akan fast update setelah Raisa-Putra tamat. Setelah lama main di genre genfic dan chicklit, aku akan mencoba romance. Mohon dukungannya, ya. Lope-lope yu ol, Gaes...
**
Jadi seperti ini akhirnya. Ujung dari perjalanan yang sejak awal memang sudah diragukan akan berhasil, tetapi dipaksakan untuk dilalui. Masa depan memang tidak bisa diramal, jadi percuma membuat pengandaian dan menyesal sekarang. Melakukan hal itu tidak akan mengembalikan waktu yang hilang.
Aku mengedarkan pandangan di sekeliling ruangan, mencoba merekam keadaan tempat ini. Bukan karena aku tidak ingin meninggalkannya, tetapi lebih untuk meyakinkan bahwa aku memang pernah menghabiskan banyak hari di sini. Ada tawa, senyum, kesedihan, juga air mata yang pernah menghias sudut-sudut ruang di rumah ini.
Ini mungkin terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini, jadi aku butuh waktu merangkum semua rasa yang pernah terukir di sini. Sebelum kemudian melupakannya dan melanjutkan hidup. Persis seperti yang semua orang lakukan saat melepas masa lalu.
Saat berbalik hendak menuju pintu, foto berukuran besar yang terpajang gagah di tembok menabrak pandanganku. Itu pajangan menarik, hal pertama yang akan menjadi fokus seseorang yang masuk ke ruang tamu ini. Pasangan dalam gambar itu tampak serasi. Mereka tersenyum lebar pada kamera, terlihat bahagia.
Benarkah? Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi tidak berhasil menemukan apa pun di dalam hati. Mungkin aku juga sudah kehilangan rasa. Menyedihkan. Apa yang kulalui untuk mendapatkan gelar "pengalaman" benar-benar tidak bisa diukur dengan materi.
Aku mendesah saat mendengar suara mesin mobil di luar rumah. Kupikir aku sudah memilih waktu yang tepat untuk datang ke tempat ini di hari kerja, ternyata aku salah. Sekarang aku terpaksa harus berhadapan dengan laki-laki itu lagi.
Aku dapat mendengar suara pintu yang dikuakkan dan dia akhirnya berdiri di sisiku.
"Senyum kita nggak terlihat terpaksa, ya?" Suaranya membuatku menoleh. Dia ikut mengawasi foto yang sejak tadi kupandang.
"Aku suka kebaya itu," kataku asal saja. Namun itu memang benar. Itu kebaya tercantik yang pernah aku lihat, dan aku kelihatan menakjubkan saat memakainya. Ternyata mengenakan pakaian yang luar biasa indah di hari pernikahan bukan jaminan untuk mendapatkan akhir dongeng yang bahagia, karena dunia nyata tak seindah cerita Disney.
"Kamu nggak bilang kalau mau datang. Kalau tahu, aku bisa jemput."
Aku tidak akan memilih waktu seperti ini kalau mau bertemu dengannya. "Aku hanya datang mengambil sisa barangku." Aku menunjuk sebuah koper besar di dekat sofa.
"Kamu nggak perlu keluar dari rumah ini," katanya lagi. "Biar aku yang pergi."
Aku menggeleng dan melepaskan pandangan dari foto di dinding. "Ini rumahmu. Aku yang dulu datang ke sini, jadi sebaiknya aku yang keluar. Lagi pula, apartemenku sudah kosong, kok. Masa kontrakannya sudah selesai."
"Tetap saja...."
"Aku nggak bisa memulai hidupku tanpa meninggalkan masa lalu," potongku cepat. Kami sudah pernah membicarakan hal itu sebelumnya. Aku tidak ingin mengulang lagi. "Rumah ini masa lalu."
Dia terdiam, masih terpaku pada foto di hadapannya. Entah apa yang dipikirkannya. Namun apa pun yang ada dalam benaknya, itu bukan urusanku lagi.
"Aku pergi sekarang," aku memecah kebisuan yang terasa canggung. "Fotonya nanti dilepas saja."
"Aku minta maaf," katanya tiba-tiba. "Aku sudah membuatmu nggak bahagia. Aku benar-benar menyesal, Rhe."
Aku memaksakan senyum. "Bukan sepenuhnya salahmu. Sejak awal kita sama-sama tahu kalau ini kemungkinan gagalnya besar, tetapi kita tetap memaksakan diri. Aku juga minta maaf kita berakhir seperti ini." Suara klakson menyadarkanku. "Taksinya sudah datang, aku harus pergi sekarang."
"Aku bisa mengantarmu."
"Nggak perlu. Taksinya sudah ada," ulangku. Aku tidak ingin memperpanjang pertemuan ini.
Dia mengiringi langkahku sampai ke teras, membawa koperku yang berat. "Nanti kita bicara lagi."
Tidak ada yang harus kami bicarakan lagi. Percakapan panjang yang membawa kami ke simpang jalan ini sudah selesai.
Aku sudah berdiri di sisi taksi. "Prosesnya akan cepat selesai. Kita akan bertemu di pengadilan." Aku menutup pintu taksi setelah masuk. "Aku pergi sekarang."
Dia tidak menjawab.
Saat taksiku sudah melaju, aku menoleh. Aku melihatnya masih berdiri di dekat pagar, tetap di sana sampai tubuhnya mengecil dan akhirnya menghilang ditelan jarak.
Memang sudah berakhir. Aku merasa mataku basah. Mungkin tidak ada salahnya menangis. Aku meninggalkan sesuatu yang penting di sana. Sesuatu yang tidak bisa kukemas dan kumasukkan ke koperku tadi. Hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Simpang Jalan (TERBIT)
ChickLitAda mimpi-mimpi indah yang akhirnya lepas ketika terjaga. Seperti asa yang terpenggal oleh nyata yang suapkan kecewa. Dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hati, kecuali... pergi. Pilihan sederhana yang nyatanya tak pernah mudah.