Selamat membaca...
**
Total pertemuanku dengan Dody tidak sampai sepuluh kali saat kami akhirnya menikah. Persiapan pernikahan diatur oleh wedding organizer yang ditunjuk Mama, karena resepsinya memang diadakan di Surabaya. Aku lebih sering bertemu Tante Aira daripada Dody untuk membahas apa saja yang perlu persetujuanku berdasarkan pilihan yang disiapkan WO.
"Dody memang orangnya begitu, Rhe," jelas Tante Aira saat Dody hanya mengucapkan kata "terserah" saat WO kami mengirimkan gambar contoh undangan untuk dicetak melalui surel. "Dia nggak pernah banyak bicara, tapi dia sangat bertanggung jawab. Cinta kalian mungkin belum merimbun sekarang, tetapi Tante yakin kamu nggak akan kesulitan mencintainya."
Seorang ibu akan menemukan jutaan kelebihan anaknya untuk dibanggakan. Aku tidak mengatakan apa-apa, tetapi berdoa semoga harapan Tante Aira tidak menjadi kenyataan. Aku jatuh cinta dengan mudah kepada orang yang tidak mencintaiku? Kedengarannya mengerikan.
Mama meneteskan air mata di malam menjelang ijab kabul diselenggarakan. "Tidak ada yang lebih membahagiakan Mama daripada mengantarmu kepada seseorang yang melengkapimu. Belahan jiwamu." Mama berbicara seolah aku dan Dody menikah karena cinta, bukan karena dia yang menggelar karpet merah untuk mempertemukan kami.
Mengapa aku akhirnya menerima perjodohan itu? Mau jawaban jujur? Aku tidak tahu. Tidak tahu, jawaban macam apa itu? Itu juga yang aku tanyakan kepada diri sendiri. Namun aku memang benar-benar tidak tahu persis alasan mengapa aku akhirnya menyerah pada tangan takdir yang Mama genggamkan kepadaku. Apakah karena aku tidak mau mengecewakan orangtuaku yang berharap supaya aku segera menikah? Mungkin. Atau apa karena aku akhirnya mengakui kebenaran kata-kata Becca tentang kualitas hubungan yang tidak ditentukan oleh kuantitas pertemuan? Bisa jadi. Entahlah.
Yang kutahu, aku memang sedang berada dalam fase paling apatis dalam hidup saat menyetujui pernikahan itu. Fase di mana hormon bersekongkol membujuk hatiku membuat keputusan tanpa melibatkan kepala. Ya, sangat khas perempuan.
Namun keputusan sudah diambil dan tidak ada tempat untuk penyesalan. Aku jelas tidak bisa menarik persetujuankku kembali waktu otakku yang berkelana saat mmengucapkan kata "iya" kembali dengan selamat di dalam rongga kepala.
"Kamu nggak salah memilih." Becca berusaha membuatku yakin. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan Dody. "Aku biasanya nggak pernah salah menilai orang. Kamu masih ingat, kan, saat dulu aku bilang kalau Ray itu nggak sebaik yang kamu pikir? Kualitas calon suamimu ini jauh lebih baik daripada mantan pacar playboy kamu itu."
Aku masih ingat jelas kepanikan dan kebimbangan yang kurasakan menjelang ijab kabul. Aku sempat memandang pintu gerbang rumahku penuh minat, membayangkan kebebasan yang bisa kudapatkan kembali jika berani melewatinya sebelum rombongan keluarga Dody datang. Hal yang tidak mungkin berani kulakukan, tentu saja. Nama baik orangtuaku menjadi taruhannya. Menjadi anak durhaka tidak ada dalam agendaku.
Dan secara ajaib, prosesi ijab kabul dan resepsi yang melelahkan itu berhasil kulalui. Kepanikan berikutnya menerpa ketika kami sudah tertinggal berdua di dalam kamar. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan menikah dengan laki-laki asing yang ditunjukkan oleh Mama, jadi ya, malam pertama yang seharusnya romantis dalam pernikahan normal, terasa canggung bagiku.
"Ini hari yang melelahkan. Kamu tidur saja duluan." Dody mengatakan hal yang membuatku lega. Dia menggunakan kata lelah, tetapi kupikir dia bisa merasakan kepanikanku.
Aku tahu konsekuensi dari persetujuanku menikah dengan Dody. Mau tidak mau, suka tidak suka, bercinta dengannya masuk dalam paket menikah. Jadi hanya masalah waktu kami akan melakukannya. Pernikahanku bukan seperti pernikahan dalam cerita roman, yang melibatkan kontrak, drama, dan banyak hal absurd lain yang tidak masuk akal. Pernikahanku sama seperti semua pernikahan biasa di dunia nyata. Termasuk bagian bercinta untuk berkembang biak.
Ya, aku tahu pemilihan kata itu terdengar kasar, tetapi bukankah itu memang tujuan orang bercinta setelah menikah tanpa cinta? Bercinta untuk bersenang-senang hanya bisa terjadi pada sepasang suami istri yang menghadap penghulu saat hati mereka sudah tertaut erat. Itu bukan seperti kasusku dan Dody.
Malam kedua, Dody duduk di tepi ranjang saat aku sedang menyisir rambut di depan meja rias.
"Aku tahu situasinya akan canggung karena proses pernikahan kita yang seperti ini," mulai Dody. "Just take your time. Kita memang butuh waktu untuk saling mengenal sebelum terbiasa. Aku nggak akan memaksamu melakukan sesuatu yang nggak kamu sukai." Dia terdengar bijak dengan kalimat itu. Dia bahkan menggunakan kata "sesuatu" untuk mengganti kata "bercinta". Seperti kata Becca, dia laki-laki sopan.
"Terima kasih." Aku mengatakannya untuk mengimbangi kesopanannya.
"Kita bisa memulainya dengan berteman. Kalau aku belum menjadi suami ideal seperti yang kamu harapkan, setidaknya aku bisa menjadi teman yang bisa kamu andalkan."
Teman. Aku menatap Dody dalam-dalam. Teman hidup. Teman serumah. Teman tidur (untuk sekarang dalam arti harfiah). Kelihatannya dia memang bisa menjadi teman yang baik.
Kami menghabiskan waktu beberapa hari di Surabaya sebelum kembali ke Jakarta. Tante Aira, mertuaku, meminta kami menginap di rumahnya sebelum kami pulang ke rumah Dody yang memang sudah punya rumah sendiri. Dia sudah pernah mengajakku ke sana, sekali.
Aku mengawasi kamar Dody sementara dia sibuk memindahkan koper kami dari mobil. Aku lumayan sering berada di rumah ini selama proses persiapan pernikahan karena Tante Aira yang meminta, tetapi baru kali ini masuk kamar Dody.
Kamarnya luas. Khas laki-laki. Aku rasa dia tidak terlalu sering melakukan make over, karena banyak benda-benda sudah berumur yang masih terpajang di situ. Poster-poster dan tumpukan buku yang sudah kusam, misalnya.
"Maaf, kamarnya berantakan." Dody seperti tahu aku sedang menginspeksi. "Aku kira kita langsung pulang ke rumah kita."
"Ini rapi kok." Kamar itu memang rapi, terlepas dari banyaknya benda yang ada di dalam. Suamiku ini, kalau dia bukan pencinta sejarah hidupnya sendiri, dia pasti orang yang sulit move on. Terlihat jelas dari isi kamarnya.
Dody tampaknya mengerti apa yang kupikirkan. "Aku sudah agak lama nggak tinggal di sini, jadi malas beres-beres kalau kebetulan pulang."
Aku tidak menanggapi, dan terus berjalan mendekati meja yang berada di dekat jendela. Kumpulan foto berbingkai di situ menarik perhatianku. Bingkainya berbeda motif dan ukuran, tetapi isi di dalamnya sama. Perempuan cantik yang konsisten tersenyum pada kamera. Foto dia sendiri, atau berdua Dody. Hebatnya lagi, foto itu seperti menampilkan transformasi perempuan itu dari sejak gigi depannya ompong, sampai menjelma menjadi perempuan dewasa menakjubkan dengan rambut sepunggung.
"Itu Nana," jelas Dody yang sudah berada di dekatku. "Sahabatku sejak kecil. Aku belum membereskan kamar ini, jadi foto-foto ini juga belum dipindahkan."
Dody menyebutkan nama itu dengan lembut, membuatku menoleh untuk melihatnya. Tatapannya terpaku pada foto-foto itu.
Sahabat yang dicintainya. Gampang sekali ditebak. Mengapa bukan dia yang diajaknya menikah?
"Nggak usah dipindahkan," sambutku datar. "Nggak mengganggu juga, kan?" Aku mengalihkan pandangan saat Dody gantian menoleh padaku. "Jadi Nana sekarang di mana? Kok dia nggak datang ke pernikahan sahabatnya?" Becca bilang kalau keingintahuan kadang-kadang bisa merusak diri sendiri, tetapi sulit untuk dilawan.
"Dia sudah menikah dan tinggal di luar. Waktunya kurang cocok, jadi dia nggak bisa datang."
Kisah klasik. Patah hati karena ditinggal menikah. Tidak heran Dody langsung setuju saat ibunya menunjuk perempuan lain untuk dijadikan pemeran pengganti. Aku.
Aku berbalik menuju koperku yang diletakkan Dody di dekat tempat tidur. "Aku mandi duluan, ya. Nggak enak sama Ibu kalau terlambat turun untuk makan."
Ternyata aku menikah dengan seseorang yang masih memeluk erat masa lalunya. Hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Simpang Jalan (TERBIT)
ChickLitAda mimpi-mimpi indah yang akhirnya lepas ketika terjaga. Seperti asa yang terpenggal oleh nyata yang suapkan kecewa. Dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hati, kecuali... pergi. Pilihan sederhana yang nyatanya tak pernah mudah.