Selamat membaca, semoga suka...
**
Dalam hidup, ada hari di mana semesta terasa memunggungi. Saat itu, apa pun yang dilakukan terasa salah. Semua emosi yang mencuat adalah emosi negatif. Dalam bahasa kalimat singkat, bisa disebut sebagai hari tersial di dunia.
Bagaimana tidak sial, Jakarta yang luas dengan jutaan orang yang berpijak di atas tanahnya, bisa mengerut dalam waktu semalam. Orang yang paling tidak ingin kutemui lagi dalam hidup, Ray, tiba-tiba muncul di hadapanku. Pemilihan tempatnya luar biasa. Di rumah Dody! Coba bayangkan itu!
Pertemuan kedua, atau tepatnya yang terakhir, yang sudah aku dan Dody sepakati ternyata mengambil tempat di rumahnya. Di acara ulang tahun pernikahan orangtuanya. Sejujurnya aku merasa itu bukan ide bagus karena bisa membuat ibunya membangun harapan palsu, tetapi aku tidak bisa menolak.
Menolak berarti memperpanjang komunikasi antara aku dan Dody untuk merancang pertemuan selanjutnya. Aku tidak mau itu. Jadi aku mengiyakan ajakannya. Ini yang terakhir. Aku hanya perlu hadir sesuai janjiku, karena yang akan membuat alasan untuk memutuskan komunikasi kami kepada orangtua Dody adalah laki-laki itu sendiri.
"Rhe!" Ray memegang lenganku ketika kami berpapasan di dekat meja hidangan. Dia tampak terkejut melihatku.
Aku baru saja memisahkan diri dari Dody setelah berkenalan dan berbasa-basi dengan orangtuanya. Dia ditahan ngobrol seseorang, dan aku lantas pamit mengambil minuman.
Aku buru-buru menepis tangan Ray. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" Berpapasan di mal atau salah satu restoran terasa lebih masuk akal daripada di tempat pribadi seperti ini.
"Ini rumah kerabat Celine." Ray menyebut nama tunangannya. "Kamu?"
Astaga, jadi tunangan Ray masih keluarga Dody? Itu menambah daftar alasan untuk menolak ide Mama dan Tante Aira tentang perjodohan ini. Aku tidak mau lagi bersinggungan dengan Ray di kemudian hari. Kemungkinan terjadinya sangat besar kalau aku masuk dalam keluarga Dody.
"Ini rumah temanku." Aku mengambil jawaban paling aman. "Dia mengajakku ke sini."
Alis Ray bertemu di tengah. "Dody? Kamu kenal dia? Di mana?"
Hebat, jadi dia juga kenal Dody. Ray bukan hanya datang untuk menemani tunangannya, tetapi dia ternyata sudah berbaur di dalam keluarga besar Celine.
"Bukan urusanmu kan, Ray?" Aku memberi senyum dan berbalik. "Permisi, aku mau ambil minum dulu."
Ray kembali menahan lenganku. "Kamu nggak pernah kenal Dody sebelumnya, Rhe. Aku tahu pasti itu. Jangan bilang kamu jalan dengan dia sekarang."
Nada Ray tidak enak didengar, seolah dia masih punya hak untuk tidak menyetujui apa yang aku lakukan. Aku memutuskan menggunakan kesempatan itu mengerjainya.
"Kalau iya, memangnya kenapa? Nggak ada hubungannya denganmu, kan?"
"Rhe... Rhe, dengar, aku tahu kamu pasti patah hati dan sedih karena hubungan kita nggak berjalan seperti yang kamu inginkan, karena aku juga merasa seperti itu. Tapi kamu nggak bisa memilih jalan dengan laki-laki lain secara acak untuk mengobati luka hatimu."
Ya Tuhan, kepercayaan diri Ray luar biasa. Selain kemarahan, aku tidak punya sisa rasa lagi kepadanya. Ibarat ilalang, rasa itu sudah tercabut sampai ke akar-akarnya. Tidak memungkinkan untuk tumbuh tunas baru.
"Ray," kataku pelan sambil melepas cekalannya di lenganku, "Terima kasih untuk perhatianmu. Itu beneran menyentuh. Aku terharu, sampai air mataku mau keluar. Sungguh. Tapi apa pun yang aku lakukan dengan hidupku, sudah nggak ada urusannya dengan kamu lagi. Kamu nggak perlu khawatir dengan laki-laki yang kupilih secara acak untuk jalan, karena kalaupun hubunganku gagal, aku nggak pinjam dadamu untuk menangis. Percayalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Simpang Jalan (TERBIT)
ChickLitAda mimpi-mimpi indah yang akhirnya lepas ketika terjaga. Seperti asa yang terpenggal oleh nyata yang suapkan kecewa. Dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hati, kecuali... pergi. Pilihan sederhana yang nyatanya tak pernah mudah.