Tujuh

41K 6.8K 964
                                    

Makasih udah betah di sini, ya. Lope-lope yu ol, Gaeesss...

**

Butuh waktu beberapa hari sampai akhirnya aku selesai mengatur kembali apartemenku dengan bantuan Becca.

Rasanya aneh pulang ke tempat tinggalku sebelum menikah dengan Dody. Ini terasa seperti tempat yang asing. Seolah aku dulu tidak tinggal di sini selama bertahun-tahun. Aku tahu kenapa. Karena hatiku tertinggal di rumah Dody. Hanya tubuhku yang berhasil kuselamatkan dan bawa ke sini.

"Just like old times, kan?" Becca mengulurkan kaleng soda dingin padaku. "Kita kembali ke apartemen jelek kamu ini lagi. Kalau sudah terima harta gono-gini, kamu harus beli apartemen yang lebih bagus."

Aku menatapnya kesal. "Nggak akan ada harta gono-gini. Aku nggak mau uang Dody."

"Aku ngerti kalau kamu sekarang lagi sentimental, Rhe. Tapi sedih nggak boleh bikin kamu bodoh. Kamu nggak tahu kalau Dody dapat uang luar biasa banyak dari hasil bikin aplikasi atau situs web yang dirancangnya untuk klien mereka?"

Aku tidak mengerti job description Dody, tetapi tahu kalau penghasilannya cukup besar. Terlihat dari jumlah rekening yang kupegang karena dia memberikannya padaku. Buku yang sudah kukembalikan bersama kartu-kartu yang dia serahkan di awal pernikahan kami. Lebih tepatnya kutinggal begitu saja karena Dody menolak menerimanya kembali. "Aku nggak mau uangnya, Bec."

"Enak banget hidup si Dody. Dapat perawan cuma modal mahar doang. Ayolah, Rhe. Jangan terlalu murah gitu." Becca dan mulutnya. "Kita bisa senang-senang dengan uang yang akan diberikannya padamu. Aku yakin dia nggak akan keberatan kasih apa pun yang kamu minta. Harga diri nggak bisa dipakai untuk belanja, Honey. Sadarlah!"

"Aku punya uang sendiri untuk belanja, Bec."

Becca menggoyang-goyangkan kaleng sodanya. "Ya aku tahu. Kamu lebih suka beli tas KW di senen pakai duit sendiri daripada beli Channel asli di MoI pakai uang Dody. Kamu kan memang sebodoh itu."

"Sialan!" Aku tahu Becca hanya bergurau. Dia mengatakan itu untuk membuatku tertawa.

Kami makan mi instan rebus sebelum baring berdempetan di tempat tidurku yang tidak terlalu besar. Benar-benar seperti masa lalu, saat belum ada Dody dalam hidupku.

"Kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan, Rhe?" Suara Becca terdengar saat aku mengira dia sudah tertidur. Biasanya dia selalu tertidur hanya beberapa detik setelah aku memadamkan lampu. "Masih belum terlambat kalau kamu berubah pikiran."

Aku tahu Becca membicarakan keputusan yang kuambil untuk bercerai dengan Dody.

"Kamu tahu aku nggak mungkin membatalkan apa yang sudah kuputuskan, Bec. Aku yang minta pisah dari Dody."

"Kamu bisa melakukannya kalau mau menekan sedikit saja egomu."

"Aku sudah mengikis habis harga diriku saat membahas masalah Nana dengan Dody, Bec. Keputusan itu sudah final. Aku nggak akan membicarakan apa-apa lagi dengan Dody."

"Orangtua kalian belum tahu, kan? Mereka yang membuka jalan untuk kalian, Rhe. Jadi sebelum memutuskan perpisahan, kalian harus membawa masalah ini pada mereka."

Memberi tahu Mama tidak sesulit mengatakannya kepada Ibu. Aku bisa mengatasi Mama karena dia tidak punya penyakit jantung. Aku rasa Dody sama pengecutnya dengan aku saat menghadapi ibunya.

"Kami akan menemukan waktu yang tepat untuk menghadapi keluarga." Aku sama sekali tidak yakin dengan apa yang aku katakan.

Becca memelukku erat. "Aku minta maaf karena dulu mendukung mamamu untuk menerima Dody. Waktu itu dia kelihatannya baik banget."

Di Simpang Jalan (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang