Sambil nunggu goal vote Raisa-Putra yang entah kapan nyampe, baca yang ini dulu, ya.
**
"Mama tidak memaksa." kalimat Mama berbanding terbalik dengan sorotnya yang memohon. "Mama hanya mau kamu mempertimbangkannya. Kamu tidak bisa mengharapkan Ray lagi, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau dia akan menikah."
"Ini bukan perlombaan, Ma. Bukan karena Ray akan menikah, maka aku juga harus menikah, kan?"
Aku benar-benar tidak ingin membicarakan Ray. Ingatan tentang dia hanya membangkitkan kemarahanku. Dia dengan mudah melepas hubungan kami yang sudah menginjak tahun kedua dengan alasan ibunya ingin dia menikah dengan orang yang sama-sama memiliki darah biru. Orang yang telah disiapkan orangtuanya.
Demi Tuhan, sistem monarki sudah lama ditinggalkan. Zaman di mana orang-orang dilabeli dengan kasta yang diciptakan manusia itu kini jauh di belakang. Sekarang orang seharusnya dinilai dari pencapaiannya secara individu, bukan dari gelar yang diwariskan leluhurnya. Jeff Bezos, pendiri Amazon, sudah merencanakan mendirikan kemah di luar angkasa, tetapi sebagian orang masih tertinggal di masa lalu dan menilai seseorang dari pohon generasinya.
Aku tidak kecewa karena Ray memutuskan hubungan kami, sebab semakin ke sini, aku melihat dia kian jauh dari kriteria yang kuinginkan sebagai pendamping hidup. Aku lebih kecewa kepada diriku sendiri karena pernah dengan mudah jatuh cinta kepada orang yang picik seperti dia. Aku marah karena dia mendahuluiku mengucap kata putus.
"Mama dan Papa sudah lama kenal keluarga Om Trisno," Suara Mama kembali mengelus pendengaranku. "Mama dan Tante Aira bersahabat sejak sekolah, Rhe. Kami berpisah karena setelah menikah dengan Om Trisno, mereka pindah ke Jakarta sini."
Aku kira Mama datang dari Surabaya karena rindu padaku, ternyata dia membawa misi perjodohan. Tidak ada bedanya dengan orangtua Ray. Inilah susahnya menjadi anak tunggal di penghujung usia dua puluh. Orangtuaku berkeras meyakinkan bahwa aku akan melanjutkan garis keturunan. Pohon generasi keluarga kami tidak boleh berhenti di namaku.
"Ma," kataku dengan suara rendah, berusaha meyakinkan. "Aku nggak bisa menikah d engan seseorang yang nggak aku kenal."
"Mama kan tidak bilang kamu harus langsung menikah, Rhe." Mama memamerkan senyum maut. "Kalian kenalan saja dulu. Kalau tidak cocok, tidak mungkin dilanjutkan, kan? Mama dan Tante Aira hanya membuka jalan. Keputusannya tetap pada kalian berdua."
"Dia belum tentu mau ketemu aku, Ma." Aku mencoba cara lain untuk menolak. "Laki-laki nggak mungkin menerima perjodohan yang diatur orangtua."
"Kata siapa? Ray mau nikah dengan pilihan orangtuanya juga, kan?"
Mama keterlaluan membawa-bawa nama Ray untuk memuluskan jalannya mencarikan calon imamku. Aku sudah pernah melihat tunangan Ray. Dan aku tahu keputusannya memilih perempuan itu sedikit banyak dipengaruhi oleh penampilan fisik. Bukan bermaksud hendak merendahkan diri, tetapi dia memang jauh lebih cantik daripada aku. Riasan wajahnya sempurna. Kulitnya seputih dan selicin porselin. Bukan hanya Ray, aku rasa laki-laki manapun yang berniat memilih pasangan berdasarkan penampilan, tidak akan ragu menunjuk perempuan itu sebagai teman hidup.
"Anak Tante Aira bukan Ray, Ma. Otak mereka beda."
"Tante Aira bilang Dody tidak keberatan ketemu kamu, kok." Mama seperti menutup semua pintu keluar. Dia tampak bertekad tidak melepasku. "Ketemu saja dulu, Rhe. Lihat kesan pertamanya seperti apa. Mama sudah bilang ini bukan paksaan, kan?"
"Hanya perlu bertemu sekali?" Aku menegaskan. Kedengarannya tidak terlalu sulit. Aku bisa melakukannya untuk menghentikan usaha Mama mencarikan orang yang akan kujadikan guling setelah menikah.
"Kalau kalian cocok dan ingin melanjutkan seperti keinginan Mama dan Tante Aira, itu akan lebih baik sih."
"Hanya sekali, Ma," putusku.
**
"Ini konyol," omelku kepada Becca yang tekun mengiris waffle. "Aku nggak seharusnya mengikuti keinginan Mama untuk bertemu dengan Datuk Maringgi ini."
Kami sekarang berada di Pancious, tempat aku menyepakati pertemuan dengan Dody, anak Tante Aira. Aku tidak bermaksud tinggal dan ngobrol lama dengannya, jadi aku mengajak Becca, sahabatku, menemani. Kami bisa belanja setelahnya.
"Kalau mamanya sepantaran dengan mamamu, seharusnya umur kalian nggak beda jauh, Rhe. Datuk Maringgi kan sudah aki-aki. Satu lagi bedanya, Datuk Maringgi meminang Siti Nurbaya karena dia suka, bukan karena dipaksa. Dia yang memaksakan diri memiliki perempuan malang itu."
Becca tidak menangkap maksudku dengan jelas. "Laki-laki seperti apa yang mau saja dijodohkan oleh orangtuanya?" Aku terus mengomel. "Kalau dia nggak bisa mencari jodoh sendiri, aku meragukan kapasitasnya sebagai laki-laki. Kemungkinannya hanya dua, dia nggak punya otak, atau jelek banget."
"Dia beneran nggak punya foto profil di WA?" tanya Becca. Dia menghentikan gerakannya menyuap. Kekesalanku tidak mempengaruhi nafsu makannya. Piring waffle-ku sudah pindah ke depannya.
Dody beberapa hari lalu meneleponku. Katanya dia mendapatkan nomorku dari ibunya. Dia kemudian mengatakan aku bisa mengirim pesan ke nomor itu melalui aplikasi WA. Pertemuan ini kami sepakati setelah beberapa kali bertukar pesan pendek. Suaranya lumayan enak didengar melalui ponsel. Tapi suara bisa saja menipu, tidak bisa dijadikan cerminan untuk menilai keadaan fisiknya.
"Dia pakai foto gunung," jawabku. "Itu pertanda, kan?"
"Bahwa dia mencintai alam?"
Aku mencibir pada Becca. Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini. "Bahwa dia merasa wajahnya tidak cukup layak untuk dipajang sebagai foto profil?"
Becca menunjukku dengan garpu di tangannya. "Kamu cantik, tapi memasang foto kucing yang kamu comot sembarangan di internet. Seseorang nggak bisa dinilai dari foto profil yang dipasangnya, Sayang. Lagian, sejak kapan kamu peduli penampilan fisik seseorang?"
Aku mendesah pasrah. "Sejak mamaku berpikir aku akan segera menopause di umur dua puluh delapan, sehingga buru-buru mencari pendonor sperma untuk aku bawa di depan penghulu."
Becca tertawa. "Jangan berlebihan. Mamamu nggak maksa, kan? Kalau ternyata si Dody-Dody ini nggak punya otak, botak, jerawatan, baunya belum kenal sabun, gigi tonggosnya belum tersentuh pasta gigi selama beberapa tahun, kamu hanya perlu bilang "halo" dan kita langsung kabur. Nggak repot. Berhentilah ngomel."
Aku melirik pergelangan tangan. Ini sudah sampai waktu yang kami sepakati untuk bertemu. "Sepertinya dia terlambat. Aku benci orang ngaret." Tepat saat itu, ponselku berdering. Nama Dody muncul di layar.
"Itu dia telepon." Becca menunjuk ponselku yang tergeletak di atas meja. "Dia nggak ngaret. Daftar kekurangan itu bisa dihapus. Ya ampun!" Dia berseru sambil mengawasi pintu masuk yang memang berada di hadapannya. "Jangan bilang kalau orang yang baru masuk itu beneran si Dody. Kalau iya, aku nggak keberatan ganti nama jadi Rheana sekarang. Aku harus ngambil nomor antrean dan menempelmu, Rhe. Aku sama sekali nggak masalah dapat muntahanmu."
"Halo?" Aku mengangkat ponsel dan menoleh ke pintu masuk, mengikuti arah mata Becca. Seseorang yang baru masuk itu juga melihat ke arahku. Mungkin dia mencari seseorang yang sedang menerima telepon di antara pengunjung Pancious yang tidak terlalu ramai.
Dia tidak botak, dekil, ataupun tonggos. Dia terlihat seperti orang yang bersahabat dengan sabun mandi dan pasta gigi.
"Kamu Rheana?" Aku mendengar dia bertanya melalui ponsel, tapi matanya melihat persis ke arahku.
"Ya, aku Rhe."
Jadi dia benar si Dody-Dody itu. Aku tidak lantas bersorak. Pengalamanku dengan Ray mengajarkan bahwa tampang keren tidak menjamin kepribadiannya juga mulus.
Ini hanya satu kali pertemuan. Pertama dan terakhir. Setelah itu, selamat tinggal untuk anak Tante Aira. Tidak sulit. Sangat mudah, malah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Simpang Jalan (TERBIT)
ChickLitAda mimpi-mimpi indah yang akhirnya lepas ketika terjaga. Seperti asa yang terpenggal oleh nyata yang suapkan kecewa. Dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hati, kecuali... pergi. Pilihan sederhana yang nyatanya tak pernah mudah.