#47 Bersyukurlah

300 7 4
                                        

Holaaa. Dah lama gue gak update nih. Lama ditinggal, lapak ini dipenuhi oleh sarang laba-laba (kek hati gue) *ciaciacia

Malam ini, gue mau sedikit cerita soal kejadian tadi sore yang jujur, 'menyentil' relung hati gue yang terdalam. Serius.

Sore itu, gue dan sepupu gue yang bernama Lulu lagi explore ke tiap-tiap panti asuhan yang ada di kota gue, guna memenuhi tugas kuliah dia. Abis muter-muter hampir sejam dan kita masih belum nemuin satu panti asuhan, satu pun belum ketemu! Gila gak tuh!

Kita milih untuk istirahat sebentar. Berhubung juga kita belum makan, akhirnya kita makan di salah satu warteg favorit gue (iye, gue doyannya makan di warteg). Abis makan, gue iseng-iseng nanya sama ibu-ibu pemilik warteg tersebut yang merangkap jadi kasir.

Gue: "Bu, saya mau tanya nih. Sekitaran sini kira-kira ada panti asuhan gak bu?"
Ibu warteg: "Ohh ada neng, dari sini deket kok. Tinggal lurus, terus belok kiri. Nanti ada perempatan ambil kanan, terus lurus sampe mentok, abis itu belok ke kanan. Nah nanti disana ada pertigaan, ambil kiri, disitu nanti ada plang namanya panti asuhan harapan," *sambil tangannya meliuk-liuk ke kiri dan kanan* Ceritanya nunjukin jalan gengs.

Gue dan Lulu cuma cengo sambil ngangguk-ngangguk aja udah kayak pajangan anjing yang ada di dashboard mobil deh kita waktu itu hmm.

Singkat cerita, kita udah nyampe di panti asuhan tersebut. Yang pertama muncul di benak gue adalah 'miris'. Sumpah. Gue kira panti asuhan ini bakalan kayak panti asuhan yang suka ada di sinetron-sinetron, dan ternyata taraaa... beda jauh cuy!

Bangunan sempit, kamar dikit dan berada di kawasan kumuh. Yap, kumuh. Karna panti asuhan ini berdampingan dengan tempat pembuangan sampah. Gue ulangi, PEMBUANGAN SAMPAH. Bisa kalian bayangin, seberapa bau dan seberapa gak sehatnya udara yang mereka hirup setiap harinya.

Melihat itu semua di depan mata gue, membuat gue seketika menengadahkan kepala ke atas langit, mencoba menahan bulir airmata yang siap menetes. Dalam hati gue mengucap syukur sebanyak-banyaknya kepada Sang Pencipta, betapa beruntungnya gue dibandingkan mereka.

Panti asuhan ini dibangun oleh sepasang suami istri yang selama 25 tahun pernikahan mereka, belum juga dikaruniai seorang anak. Alm suami ibu panti akhirnya menjadikan rumah mereka menjadi panti asuhan, menampung anak-anak yang kelaparan dipinggir jalan, yang ditinggalkan begitu saja oleh orang-tuanya di wc umum, masjid dan di bawah pohon.

'Betapa mulianya hati ibu panti dan alm suaminya, Ya Allah,' batin gue. Lagi-lagi mata gue dibuat berkaca-kaca mengetahui kenyataan tersebut.

Dan yang paling bikin gue takjub adalah, semua anak-anak di panti ini disekolahkan oleh ibu panti sampai jenjang SMA. Serius.

Setelah puas mewawancarai ibu panti, berkeliling dan bermain bersama anak-anak panti tersebut, gue dan Lulu pamit pulang.

Ketika kami melewati tempat pembuangan sampah, gue melihat seorang anak lelaki sedang memilah-milah barang disitu. Gue samperin, lalu gue tepuk pundaknya.

Gue: "Adek, lagi ngapain disini? Gak bau?" *sambil nutup hidung. Karna sumpah itu bau banget. BANGET* (Noh gue capslock wkwk).
Anak: *noleh sambil senyum* "Lagi nyari barang-barang yang bisa didaur ulang, Teh."
Gue: "Gak bau?"
Anak: "Bau sih, dikit. Mau gimana lagi, saya udah biasa."
Gue: "Minggir dulu yuk, ke warung situ," *sambil nunjuk warung kecil deket situ*
Gue: "Teteh mau ngajak kamu ngobrol. Mau kan?"

Dia ngangguk dan ngikutin gue ke arah warung tersebut. Disana gue pesen es teh manis dan nasi goreng buat dia. Namanya Rudi. Umurnya 14 tahun. Anak panti asuhan harapan juga.

Gue: "Itu dimakan nasi gorengnya. Teteh tau kamu laper dan belum makan."
Rudi: "Buat saya? Makasih, Teh. Tau aja saya lagi laper dan belum makan."
Gue: "Kamu udah lama tinggal di panti?"
Rudi: "4 tahun."
Gue: "Eumm.. tiap hari kamu nyari barang kayak gitu?"
Rudi: "Iya, hampir tiap pulang sekolah."
Gue: "Emang buat apa?"
Rudi: "Saya suka bikin miniatur."
Gue: "Bikin sendiri atau dibantu yang lain?"
Rudi: "Bikin sendiri, Teh."
Gue: "Teteh mau liat boleh?"

Gue dan Rudi duduk di teras depan panti. Lulu pamit pulang duluan. Rudi masuk ke dalam dan kembali dengan kardus ditangannya. Ternyata isinya adalah segala macam miniatur yang telah ia buat. Mulai dari motor ninja, harley, mobil, becak dan becak motor.

Gue: "Ini kamu beneran bikin sendiri?"
Rudi: "Iya, Teh."
Gue: "Kamu bisa bikin ginian tau darimana caranya? Google? tutorial Youtube?"
Rudi: "Saya gapunya hp, Teh. Cuma modal ide sama pernah sesekali lihat aslinya."

Seketika, gue... speechless. Gue gak percaya! Masa sih ada orang yang cuma dikira-kira di otak atau liat langsung sesekali dan mencoba bikin hasilnya sebagus ini. Gue kira, generasi anak-anak jaman sekarang adalah generasi digital atau juga generasi tutorial yang hidupnya serba instant. Ternyata enggak, masih ada sebagian orang yang benar-benar 'hidup'. Gue salut.

Gue: "Terus ini kamu jual?"
Rudi: "Iya. Lumayan buat jajan, biar ibu gausah ngasih uang jajan lagi."
Gue: "Dijual berapa ini?"
Rudi: "Motor 5 ribuan, kalo mobil sama becak 20 ribu."
Gue: "Bikinnya berapa hari ini satunya?"
Rudi: "Tiga hari paling lama."
Gue: "Laku berapa nih perminggu?"
Rudi: "Paling dua biji."
Gue: "Hari ini, teteh borong semua."
Rudi: *sumringah* "Wahh, serius, Teh?"
Gue: "Iya, serius. Teteh suka ngoleksi macam-macam miniatur."

Prettt. Padahal aslinya, gue mana suka ngoleksi miniatur. Wkwk.

Gue: "Eumm, kalo boleh tau, kenapa kamu bisa tinggal di panti ini?"
Rudi: "Orang tua saya bercerai ketika saya berumur 2 tahun. Ibu meninggalkan saya begitu saja, Bapak juga pergi dan saya tinggal bersama kakek dan nenek. Lalu ketika saya berumur 10 tahun, saya dititipkan di panti ini. Karna kakek dan nenek tidak mampu merawat saya dengan keadaan sangat miskin, lagipula umur mereka sudah terlampau tua." *satu tetes airmata turun dari matanya*

Lagi-lagi, gue menengadahkan kepala ke atas langit. Mencoba meredam sesak yang menghimpit dada, menahan air mata yang memberontak untuk meloloskan diri. Namun, air mata gue gak bisa dibendung lagi. Sekuat apa pun gue menahannya.

Gue: "Kamu tau keadaan Bapak?"
Rudi: "Bapak udah almarhum." *ia menunduk sebentar*
Gue: "Kamu tau Rudi? Menjadi yatim berarti Allah ingin langsung menanggungmu." *sambil mengusap kedua bahu Rudi*
Rudi: "Aamiin. Kalo ibu..." *ia menunduk lagi, lalu menghapus kasar air mata yang keluar dari ekor matanya*
Gue: *mengusap-usap pundak Rudi*
Rudi: "Kalo ibu... Saya gak tau keadaannya, saya belum pernah bertemu dengannya lagi."
Gue: "Apa kamu akan mencari ibu kandungmu suatu saat nanti?"
Rudi: *tertawa miris* "Bahkan saya gak tau gimana muka ibu, fotonya saja gak punya."
Gue: "Kamu.. pengen ketemu ibu kandungmu?"
Rudi: "Anak mana yang tidak ingin bertemu dengan ibu kandungnya, Teh? Sekali pun saya telah ditinggalkan olehnya, rasa sayang saya pada ibu tak pernah berkurang sedikit pun."
Gue: *diem*
Rudi: "Rasanya saya ingin memeluk ibu, erat sekali. Saya ingin ibu selalu disamping saya."

Rudi menunduk dan diam-diam menangis. Mencoba menyembunyikan kesedihannya sendiri. Anak sekecil itu.

Pikiran gue berkecamuk. Betapa masih kurangnya gue bersyukur selama ini. Keluarga lengkap, ekonomi berkecukupan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi gue. Air mata gue meluncur begitu saja menganak sungai di pipi gue.

Gue meraih bahu Rudi, lalu memeluknya. Ia balik memeluk gue erat, erat sekali. Bahunya bergetar hebat. Isakannya seperti nyanyian pilu. Ia seolah mengeluarkan kesedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat didalam hatinya.

Because sometimes we don't know how to put our feelings into words.

Sore itu, adalah sore yang gak akan pernah gue lupakan.

Notes:
Nama disamarkan.
Teteh = Kakak perempuan.
Based on a true story!

My RandomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang