Siang itu, tepat saat mentari berada di puncak cakrawala, setelah adzan dzuhur berkumandang beberapa menit yang lalu. Disebuah kawasan kecil yang dipadati bershaf-shaf gubuk santri dengan pesawahan yang mengelilinginya, para santri berhamburan dari biliknya menuju mushola yang berada tepat di tengah-tengah untuk berjamaah dzuhur dan mengaji, sebagaimana rutinitas biasa.
Barisan jama'ah dzuhur pun sudah sesak dipenuhi santri yang berjajar rapih dalam pinpinan seorang imam, beliaulah Mamak Haji, pengasuh pondok pesantren Riadhul Mubtadi'in. Bacaannya begitu fasih. Dengan janggut yang mulai memutih, gamis abu-abu, sorban putih, peci dan kacamata yang melekat pada dirinya, semakin menambah wibawa seorang ajengan. Fatihah, dan bacaan surat Ar-Rahman yang disenandungkannya mengalun begitu merdu bagai buaian syurga yang memenuhi ruangan mushola. Salam terakhir pun mengantarkan mereka pada awal pengajiannya. Mulut Mamak Haji sudah mulai komat-kamit membaca hadoroh untuk membuka pengajiannya.
"Syukron, intadzirnie!" Teriak Fajar berlarian di belakan Syukron.
"Hayya, syur'ah! Kita telat," tukas Syukron.
"Bruuukkk ..." mereka membuka pintu.
Suara pintu itu memecah keheningan. Mamak Haji dan semua santri memusatkan perhatiannya pada mereka berdua tanpa ekspresi sama sekali. Nafas mereka memburu, wajahnya pucat. Dengan hati yang cukup gentar, mereka berpandangan, saling menyikut dan akhirnya berjalan membungkuk menghadap Mamak. Entah apa yang mereka rundingkan, tapi nampaknya Mamak Haji enggan memaafkannya begitu saja. Mereka beranjak menuju sudut mushola, berdiri mematung dan perlahan mulai mengangkat sebelah kaki dan menyilangkan kedua tangannya ke telinga.
Mereka tidak boleh beranjak sebelum pengajian itu beres.
" Hey, antum berdua telat lagi ya? Wajarlah. Anak sekolahan itu kan super duper sibu. Hehe ..." celetuk Nurmala ba'da majlis beres. Dengan terkekeh-kekeh, Nurmala begitu senang melihat mereka berdua dihukum. Tapi Syukron dan Fajar hanya tersenyum menyikapi perkataan Nurmala
*****
Mentari sudah mulai bosan di tempatnya. Ia beranjak meninggalkan siang, waktus asar, magrib dan isya. Ba'da majlis malam beres jam 22.30 WIB., santri-santri pulang dari mushola, menggelar tikar di tiap gubuknya.
Malam pun begitu dingin bagi para santri yang hanya berbalut sarung dan batok kelapa sebagai tumpuan kepalanya. Waktu saat itu menunjukan pukul 23.25 WIB., waktu yang cukup larut untuk terjaga. Berbeda dengan Fajar dan Syukron. Mereka sibuk mengotak-atik tas dan buku untuk sekolah. Mereka mengerjakan tugas yang padat membenam.
"Hey, Jar. Melamun bae kau? Kenapa to? Ayooo ... kepikiran Nurmala ya? hihi" celetuk Syukron membuyarkan lamunan Fajar.
"Alaaah ... apaan sih lu? Berisik dah," Fajar mengulum senyum.
"Fajar jatuh cinta. Cie ... huhuy" Syukron beranjak meraih sarung tipisnya dan tidur. Fajar menutup bukunya, dan tidur mengiringi Syukron.
Dalam keheningan malam, binatang malam riuh bersahutan. Angin mengintip menyelinap ke sela-sela bilik pondok. Santri menggigil kedinginan. Fajar dan Syukron terbangun, dan berlalu dari buaian mimpi di penjara suci. Tak terkira, airmata meleleh membanjiri malam yang suram. Dua sahabat itu menata rasa dan mengunci hati dalam dekapan ilahi. Saling menguatkan satu sama lain, saling menorehkan senyuman satu sama lain. Malam kelam dan Nurmala, perempuan pembuat onar itu bukanlah apa-apa bagi mereka. Itu hanyalah setitik benalu diantara kepungan benalu yang lainnya. Malam itu mereka hanyut. Benar-benar hanyut dalam nikmat sepertiga melam, bersimpuh di hadapan tuhan.
*****
Selasa pagi itu begitu cerah. Secerah kemilau bening empat mata santri salafi yang memunyai cita-cita tinggi. Dengan rapihnya, busana putih abu itu membalut dua tubuh tegap nan berseri. Mereka siap menaklukan ganasnya musim.
"Khemz ... nampaknya calon sarjana ini mau berangkat nih?" cibir Nurmala menenteng ember dan handuk, kemudian berlalu begitu saja. Nampaknya ia belum mandi.
Mereka berdua tidak menghiraukannya, dan berlalu meninggalkan tempat itu. Berjalan sehaluan, menyusuri pesawahan yang luas membentang. Melewati nyiur yang melambai dan jalan kecil berkerikil sepanjangnya. Jalan setapak itu telah mengantarkan mereka ke majlis ilmu berkelas. Tidak seperti pesantren mereka yang hanya dipandang sebelah mata, yang dianggap kuno dan diabaikan begitu saja.Tapi saat moral remaja bobrok, pesantren yang akan menjadi mangsa empuk. Sasaran melempar kesalahan dan cibiran dari berbagai macam cibiran.
"Hy, Fajar. Bisa gak sih satu hari gak tidur di kelas? haha" Samsul terkekeh.
"Mau jadi sarjana molor, lu?" tambah Saka.
Seketika kelas pun ramai. Semua mencibirnya dengan ganas, seakan tidak mengijinkan sepatah kata pun keluar dari mulut Fajar. Ia hanya membisu, menggembok semua amarah dan nafsu. Memang, selama ini ia selalu tidur di kelas. Bahkan tidak hanya Fajar. Syukron juga begitu.
"Heh, Jar. Lu itu sama aja kaya temen lu tuh. Siapa? Oh iya, Syukron, haha" mereka semakin terkekeh.
Mulut terus mengoceh tak henti. Mereka seperti kumpulan yahudi yang tengah mengepung seorang pencuri dari kalangan islam. Membabi buta.
"Haha ... apaan lu jadi santri? Cuma dapet gelar sarjana molor. Lain kali, bilang sama ibu lu! Di sini bukan buat mencetak sarjana molor, Jar," celetuk Zakiya.
"Bruuukkk," Fajar menghantam meja di depannya dengan gemetar. Wajahnya memerah seperti gunung hendak muntah.
"Heh, uskut antum. Laa tatakallam, walau kolilan! Sebenernya apa sih salah kami? Atau kalian terlalu terkesima sama santri? Kalian boleh menghina ana. Tapi camkan, jangan bawa-bawa ibu ana! Ana harap, ana tak menggunakan tangan ini untuk membungkam mulut kalian."
Ia berlalu, dan semua ikut berlalu. Detik, menit, jam dan hari seperti pedal sepeda yang terus berputar begitu cepat dan pasti. Mereka terus menguatkan tekad, dan memantapkan langkah. Kelulusan mereka sudah di depan mata.
Untuk sekedar melepas kejenuhan, malam itu mereka terdiam di atap mushola menatapi gemintang. Kecantikan kreol yang tidak ada tandingannya.
"Jar, ana mau ngomong sama inta," Syukron memulai.
Kalimat demi kalimat terucap begitu fasih namun tersendat-sendat.
"Aku harus ikut Ibu Bapakku ke Banten," ucapnya.
Mereka membisu. Terseret angin ketidak percayaan. Syukron menyuruh Fajar meneruskan mimpinya. Mimpi untuk menapaki jejak para Sufi, Nabi, dan menapaki jejak Ashabul Kahfi. Harapan itu terus mengalir mengairi syaraf dan nadi. Mereka berangkulan dan mengutarakan janji. Kisah itu kan selalu diingat sampai akhir hayatnya.
" Hey ... Jangan melamun bae tuan dosen!" bisik Nurmala memeluk Fajar dari belakang.
Fajar tersenyum menggenggam tangan istri kesayangannya itu, menatap gemintang dari jendela ruang kerjanya.
(Talaga, 18 Juli 2017)Catatan
*Intadzirnie_Tunggu
*Syur'ah_Cepat
*Inta_Kamu
*Antum_Kalian
*Uskut_Diam
*Laa tatakallam_Jangan berbicara
*Walau kolilan_walaupun sedikit*****
Hy guys ... ini bagian pertamaku. Tentu masih banyak kesalahan, baik itu EYD, KBBI ataupun pemilihan katanya. Mohon masukannya ya... Terims for reading. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Santri Salafi
Historical FictionTerkadang, orang menganggap pendidikan pesantren itu amatlah rendah. Santri-santri, lulus dari pondok hanya sekedar menyandang gelar An'nuas, abu naum, santri budug atau apalah itu. Tapi di sini, pendapat-pendapat itu tidak semuanya benar. Setiap in...