Semangkuk Bakso

1.2K 41 3
                                    

Ilalang menghalangi pandang. Semuanya tinggi, menari ke sana kemari. Jalanan lenggang, hujan dua puluh lima menit yang lalu tlah berhenti. Pematang basah, lahan-lahan pertanian nampak berkilau seperti sebutir permata menggelantung di ujung daun.

Sepasang insan tengah berjalan. Seorang bocah, meliuk-liukkan badannya yang gemulai menikmati sejuknya udara senja. Seorang baya di belakangnya terseok-seok mengimbangi bocah kecil yang begitu riang gembira.

"Bapak ... aku mondok, pak? Tak salah bapak hendak pondokkan aku?" teriak bocah itu.
Seakan dia hanyalah berbicara seorang diri, tanpa mengharapkan sedikitpun jawaban seorang bapak yang tua renta.
Bapak itu hanya tersenyum, melihat tingkah bocah SD yang genap masuk kelas lima itu.

"Aku mau masuk pondok, Pak. Asalkan dengan satu syarat!" ujarnya.
Ia berhenti, membalikan tubuhnya,  menantikan langkah bapakknya yang lelet itu agar lekas sampai ke hadapannya.

"Apa yang ananda mau dari bapak?"
tanya bapak begitu lembut. Ia membungkukkan badannya, hingga wajah mereka pun berhadapan.

"Semangkuk bakso, setiap tanggal dua belas," ucapnya pasti.
Mata anak itu begitu bening, menembus mata tua yang kuyu. Ia tersenyum, dengan senyuman yang penuh dengan rasa kasih sayang. Giginya rapat bersembunyi di balik bibir-bibir nan tipis dan mengendur. Tak ada pertanyaan. Mengapa cucunya itu menginkan semangkuk bakso pada setiap tanggal dua belas. Ia hanya mempu mengiyakan, agar kelak,  cucu semata wayangnya menjadi seorang alim, terwujudkan di sisa usianya.

"Bagaimana, kalau sekarang kita makan bakso? Kan ini hari pertama Ananda masuk pondok," tawarnya.
Bocah itu pun terlihat girang. Tawanya menyebabkan gigi ompongnya terlihat begitu menggemaskan.

"Asyiiikk  ... Asyiiik  ... kita makan bakso."

Senja itu menjadi saat yang begitu menyenangkan. Saat hembusan angin mengelus manja tubuh renta di jalan pematang. Warna lembayung, terpoles begitu sempurna dengan sedikit biasan cahaya mentari yang baru terbuka oleh awan pekat yang tebal sisa hujan tadi.

*****
Setelah cukup lama berjalan, sampailah mereka di pesisir kota. Tempat yang senantiasa dirindukan bocah-bocah apabila mereka tengah bermain bola. Jalanan yang lebar, gedung-gedung yang menjulang tinggi dan satu hal yang mereka rindukan, adalah kepulan asap bakso Mang Salman yang mampu membangkitkan selera makan setiap orang. Namun sayang, hanya beberapa orang yang bisa menikmati setiap inci kelezatannya. Karena dari antriannya pun, mampu membuat pembeli menyerah sebelum mimpinya itu tercapai.

"Bang ... dari kemarin mula saya pesankan satu mangkuk! Tak mahulah saya kalau sekarang diterakhirkan," bisik seorang bapak dengan tegas. Sesaat setelah Mang Salman mengangguk, bapak itu berbalik, mengacungkan dua jempolnya pada bocah yang tengah menggoyang-goyangkan kakinya di got depan.

Setelah menunggu, akhirnya semangkuk bakso itu datang di atas nampan pualam yang mungkin sudah puluhan tahun digunakan. Pelayan Mang salman yang berkaos seragam warna hijau itu dengan hati-hati menaruh bakso pusaka tepat di tengah-tengah bocah cilik itu dan bapaknya. Kepulan asap itu masih terlihat meliuk-liuk di atas mangkuk. Secangkir es teh besar ikut mendampingi semangkuk bakso yang kesepian. Inilah saatnya mereka dipersatukan. Dipersatukan dalam sebuah wadah maha karya Sang Tuhan.

Langsung saja bocah itu melahap dengan semangatnya. Bapak tua hanya menyaksikannya. Perpaduan antara ingin dan gengsi. Bapak tua itu merogoh saku kemejanya yang telah pudar. Selembar lima ribu rupiah yang telah bergerigi sampingnya, dua lembar uang dua ribu dan sebuah koin dua warna seribu rupiah -(mungkin di zaman anda membaca, uang itu hampir punah. Uang perpaduan antara uang limaratus berwarna orange bergambar pohon kelapa yang dibalut dengan uang lima ratus berwarna perak)- ia keluarkan dengan penuh menimbang-nimbang.

"Hanya cukup untuk satu porsi," gumamnya.

Melihat bapaknya hanya termenung memandangi uan-uang itu, si bocah tertegun.

"Pak ... Bapak pun makan lah!" pintanya berbinar.
"Tidak ananda, bapak wis begah," jelasnya dengan sedikit logat jawanya.

"Aaaa .... Bapak pun makan! Kalau tidak, aku ra nak ke pondok," ancamnya sembari menyodorkan sesendok bakso tepat di depan mulutnya.

Bapak tua itu perlahan membuka mulut. Dengan pandangan yang masih tidak percaya terhadap apa yang dialaminya, ia menikmati sesendok bakso sejarah yang tidak akan pernah ia lupakan selamanya.

Bocah itu tergelak, melihat bihun-bihun itu menjuntai di mulut bapaknya.
"Bapak tu ... macam mana sih, pak? heheh," ucapnya terkekeh.

Mereka terlalu asyik bercanda, hingga lupa adzan magrib hampir menjemputnya.
Bergegaslah bocah itu menyeruput habis es teh manis, kemudian ia bersendawa begitu keras.
Menyaksikan hal itu, bapaknya memandangi bocah itu dengan lekat.

"Ananda Fajar, jaga etikamu! Tak sekali pun kau boleh lagi melakukannya," ucapnya menasihati.

Bocah itu hanya tertunduk lesu menyesali perbuatannya. Dengan anggukan kecil, diutarakanlah permintaan maafnya yang baru pertama ia utarakan.

___________

Agak ngelantur sih ... tapi ini alur hayalanku. heheh
Maafin :)
Terimakasih telah membaca. Like ya :)

Mimpi Santri SalafiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang