Tinggal

80 12 10
                                    

OTAK Furlan terus memerintahkan kakinya untuk berlari walau jantung memohon untuk berhenti. Furlan ingin sekali berbalik, memandang untuk terakhir kalinya tubuh sang adik yang terlentang di antara jatuhnya daun kemerahan yang berguguran. Air mata masih mengucur dari matanya. Tenggorokannya terasa sangat sempit dan nafasnya tersengal pedih.
Furlan berhenti dan menumpukan tangannya pada lututnya di sebelah pohon ek besar yang gugur.
"Ah..." Furlan menatap sedih kedua telapak kakinya yang tinggal lapisan daging merah. Rasa perih dan nyeri terngiang-ngiang dan seluruh syaraf tubuhnya dapat merasakannya.

Setelah dirasa sudah mendapat udara untuk sementara, Furlan memaksakan dirinya untuk terus melarikan diri. Dia memegangi masing-masing lengannya, mengeratkan jaketnya. Tiupan angin dingin melewati sela-sela betisnya yang bercelana pendek berbahan tipis. Rahang Furlan mengiggil. Takut juga kedinginan.
Dia tak tahu arah. Dia ingin ke kota, namun tak tahu apa maksudnya pergi ke kota. Hanya gumpalan darah tersisa dari Alida yang membuat pinggang Furlan hangat. Merasakan itu, Furlan tidak bisa menahan isaknya lagi. Baru saja ia menyaksikan adiknya mati di tangannya. Ini terlalu banyak. Terlalu kejam untuk seorang anak berumur 8 tahun yang sekarang hidup sebatang kara, dengan beban menyedihkan di atas pundaknya. Tanpa teman, tanpa orang tua, tanpa saudara.

Furlan akhirnya menyerah. Tubuh nya rebah ke atas tanah, membuat dedaunan jingga dan kuning terhempas. Wajahnya menghadap tanah. Mulutnya ternganga meneteskan air liur tak berasa, dan matanya menampilkan kehilangan kesadaran.
Aku akan mati. Pikir Furlan.
Alida.. seperti nya aku juga akan kesana. Maaf..
Furlan mengarahkan segenap kekuatannya untuk meraih dan menggenggam kalung yang Alida berikan padanya. Setelah itu, Furlan menutup matanya dan membiarkan dirinya larut dalam alam bawah sadar.

------------

Seminggu sudah berlalu. Kelopak mata Furlan sudah tak terasa berat. Furlan membuka matanya pelan karena masih lengket tertimbun debu dari bulu mata. Sinar matahari sayu menerobos gorden berwarna putih pucat yang bergerak-gerak kecil tertiup angin.
Furlan mengangkat punggungnya ke atas, melawan rasa pegal tulang belikat nya. Walau sudah berhari-hari, perut Furlan masih kenyang, menelan banyak kejadian menyayat hati kemarin-kemarin.

"Dimana aku?" tanya Furlan pada dirinya sendiri.
Tidak ada jawaban. Furlan ingin bangun, tetapi kakinya seakan membeku.
Pintu tiba-tiba berderit terbuka. Furlan menahan nafas nya dan muncullah seorang wanita berambut lurus berwarna abu-abu, karena uban.
"Kau sudah bangun? Sudah kuduga. Ini ku bawakan sup hangat.." wanita itu membawa sebuah nampan dengan mangkuk berisi sup jagung juga secangkir teh. Wanita itu membawa makanan lezat itu kepada Furlan. Wanita itu juga dengan sabar menyuapi Furlan, dan Furlan merasa wanita ini bukanlah orang yang jahat, walau seharusnya ia berpikir seperti itu.

"Anak pintar," puji wanita itu, senang melihat Furlan dapat menghabiskan semangkuk sup penuh. Furlan meneguk teh nya dan tersenyum berterimakasih. Furlan masih tak berani bicara.
Raga Furlan menenang dan otot-otot nya mulai melega. Bibirnya mendatar sesaat memikirkan apa yang telah terjadi padanya.

Kemarin.. ada ya..?

"Kau hampir tewas dalam musim dingin. Apa yang kau pikirkan keluar di musim berbahaya ini?" tanya wanita itu prihatin.

"Dimana orang tua mu?"

Furlan menengok ke arah wanita itu. Wanita itu mungkin sudah tua, terlihat dari rambutnya yang berwarna pudar. Tetapi wajahnya masih terlihat cukup muda.

"Oh! Bodohnya aku," wanita ramah itu tersentak, memukul pelan dahinya dengan telapak tangannya.

"Namaku Melanie. Melanie Black. Salam kenal." Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Melanie.

"Furlan,"

Tenggorokan Furlan serasa sangat kering walaupun sudah minum steguj teh, ketika Furlan menjawabnya. Maklum. Seminggu penuh dia tidak memakai nya untuk bicara. Melanie menyadari akan hal itu. Langsung saja ia memberikan Furlan teh lagi.

ENSLAVEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang