SUDAH 5 hari Furlan dan Melanie tidak saling bicara. Furlan mengunci dirinya dalam kamarnya, takut dan tidak enak dengan Melanie. Melanie merasa dirinya bodoh setiap kali ia melewati kamar Furlan dan larut dalam perasaan tak enak kala ia berteriak di depan Furlan. Setiap hari ia bertumpu pada dagunya merenung. Furlan masih kecil. Dan tak tahu apa-apa soal kamar itu. Tak seharusnya Melanie memarahi Furlan. Dirinya yang harusnya ia marahi.
Hingga pada suatu siang, Melanie memberanikan dirinya untuk mengetik pintu kamar Furlan."Furlan?" Tanya Melanie dari seberang lembut.
Furlan belum menjawab."Sudahlah," Melanie menyunggingkan senyuman serba salah.
"Maaf kan aku, kemarin ya.. Aku yang benar-benar salah.. Jadi, maaf ya, Furlan."
Furlan masih diam.
"Furlan," Melanie mengetuk lagi. "Buka pintu nya sayang,"
Furlan tetap diam.
"Bukalah!" Sahut Melanie tak sabar. Pintu tiba-tiba dibuka. Kepala Furlan muncul dari dalam dengan air mata mengalir deras dari matanya.
"Oh!" Melanie menjatuhkan dirinya di lutut, dan membuka tangannya hendak memeluk, namun lewat lah perasaan canggung, sementara ia melihat banyak sekali air mata yang mengucur.
"Ma, maaf." Melanie menggaruk pelan pipi kirinya salah tingkah.
"Huuaaa..." Furlan tiba-tiba datang dan membenamkan wajah nya pada dada Melanie. Melanie mengatupkan tangannya dan memeluk punggung Furlan yang mungil. Sekilas ia teringat akan anaknya yang dulu juga seperti ini.
Furlan sangat mirip dengan anakku, batin Melanie.
"Sudah, sudah," Melanie mengusap bahu Furlan lembut.
"Aku juga minta maaf telah berteriak kemarin," tangisan Furlan mulai mereda. Terdengar sesunggukan nafas yang tersengal dari dalam dada Melanie."Kemarilah. Kau pasti lapar," Melanie melepaskan dirinya, kemudian berdiri dan menggandeng tangan kecil Furlan. Furlan masih mengeluarkan cegukan, tetapi perasaan nya menenang. Melanie menuntun Furlan turun melewati anak tangga sampai ke meja makan. Furlan disuruh duduk, sementara Melanie menuangkan air mineral untuk Furlan.
"Minumlah dulu," Melanie menyodorkan gelas berisi air pada Furlan. Furlan menerimanya dan langsung meminumnya.
"Hei, pelan-pelan," kata Melanie ketika Furlan batuk tersedak.
Furlan menyapu bibir nya dari air, lalu menunduk lesu."Maaf mama. Aku tidak sengaja melihat-lihat.. Aku penasaran dengan anak bernama Ted itu," jawab Furlan yang akhirnya buka suara. Melanie tertegun.
"Aku ingin bermain dengan Si Ted itu.. mungkin kami bisa akrab.." kata Furlan lagi.
"Apa maksudmu aku membosankan?" Tanya Melanie menggoda.
Furlan terkesiap.
"Ti,tidak! Bukan itu maksudku..
Tapi.."Melanie dengan sabar menunggu kata demi kata dari Furlan.
"Apa yang terjadi dengan Ted?"
Helaian rambut Melanie yang berterbangan kecil tertiup angin sepoi-sepoi akhirnya berhenti bergerak. Nadi dan denyut jantung Melanie seakan berhenti sesaat. Bibirnya agak terbuka, tak percaya pertanyaan ini pada akhirnya akan ditanyakan. Dia hanya tak menyangka Furlan yang akan bertanya. Dia kira polisi yang akan menanyainya begitu.
Percuma.
Ted tidak ada.
"Tidak. Begini." Melanie berdehem. Tepat sebelum ia akan menjelaskan semua, Furlan sudah memekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENSLAVEMENT
Ciencia Ficción⛔️ HIATUS | Under Construction To punish and to enslave.. Dunia sudah lama menghilang. Kini tinggal sisa-sisanya.. yang memohon mendatangkan bantuan dan pahlawan... WE ZJIN ROYALTY