Stay Be The Sun

34 4 3
                                    

Aku benci kakak. Aku sangat membenci kakakku. Mengingat wajahnya saja, amarah langsung terpercik di hatiku. Mataku langsung terasa perih. Karena amarah yang kerap kali membuatku menangis. Aku melihat ke bawah, genangan darah mengalir dari kakiku. Karena bingkai yang aku lemparkan, hancur berkeping-keping. Menyisakan sisa kepingan kaca yang berbahaya,yang dengan mudahnya aku injak agar segera hancur menjadi debu.

                                                                                                                                      ***

Hari ini mendung. Aku berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang sekolah. Seratus meter lagi. Dan aku harus kembali menghadapi bayang-bayang kakak yang seolah-olah terus mengikutiku. Dimanapun, kapanpun. Aku merasa, bayangan itu selalu ada. Menghantuiku. Aku menatap langit. Gelap. Kelabu. Seperti suasana hatiku saat ini. Namun hal itu sedikit menghiburku. Bukankah tandanya alam bersimpati padaku dengan menyesuaikan cuaca hari ini?

Tetesan air jatuh menimpa kepalaku. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Aku menghitung jumlah butiran air di telapak tanganku. Kemudian menengadah melihat langit. Begitu kelabu, hampir hitam. Tetesan air mulai membasahi wajahku. Di sekitarku, sudah banyak orang yang berlari guna menghindari hujan. Namun, aku diam. Memilih untuk berjalan lambat-lambat. Berharap tetesan air mataku dapat membaur dengan tetesan hujan.

Tepat saat bel berbunyi, aku sampai di dalam sekolah. Suasana begitu ramai. Hujan, selalu membuat banyak orang tepat waktu. Namun, kakak begitu menyukai hujan. Kakak menyukai aroma udara setelah hujan. Karena itu, aku benci. Aku benci hujan. Aku membenci apapun yang disukai kakak.

Aku melihat keadaan. Semua orang tampak basah, tapi tidak ada yang sepenuhnya basah seperti aku. Aku melihat pantulan diriku di pintu kaca sekolah. Menyedihkan. Seorang anak perempuan kurus dengan muka pucat pasi. Pakaiannya basah kuyup pula. Mulai dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki. Tiba-tiba, rasa sakit menghantam kepalaku. Perlahan, pandanganku mulai mengabur. Titik-titik hitam menari-nari di pandanganku.

                                                                                                                                   ***

Segalanya tampak putih. Dimana ini? Aku segera bangun, tapi lagi-lagi rasa sakit seolah-olah mencengkram kepalaku, hingga aku terjatuh lagi. Aku meneliti keadaan. Bau obat, begitu kental di penciumanku. Perutku terasa teraduk-aduk. Bau ini, selalu mengingatkanku akan kakak. Amarah segera terbit di kepalaku. Tanpa menghiraukan rasa sakit, aku berlari keluar ruangan, dan jatuh tersungkur di lorong. Aku hanya samar-samar merasakan ada seseorang yang memapahku. Membantuku untuk duduk tegak.

Ternyata Ibu Widya. Dokter di UKS sekolah. Ibu Widya tidak menyuruhku untuk kembali ke dalam UKS. Beliau sepertinya menyadari aku yang alergi akan aroma rumah sakit. Beliau tidak berkata apa-apa. Hanya mengantarku menuju kamar mandi, dan membantuku mengganti seragamku yang sudah basah kuyup.

Aku beristirahat di ruang BK. Sepertinya Bu Widya sengaja meminta kepada guru BK agar ruangan itu kosong. Karena ruangan yang biasanya ramai itu, kini terasa lengang. Aku duduk berhadapan dengan Bu Widya. Aku bisa merasakan tatapannya yang tertuju padaku. Seperti berupaya mempelajari jiwaku. Sengaja aku berpura-pura sibuk memperhatikan langit di luar yang masih setia menumpahkan tangisnya.

Bu Widya tiba-tiba beranjak pergi menuju lemari yang memuat belasan foto. Beliau mengambil satu, dan meletakkannya di hadapanku. Aku hanya bisa terpaku. Menatap foto itu, amarah kembali terbit dalam dadaku. Bayang-bayang merah seolah mengaburkan penglihatanku. Tidak salah lagi, itu foto kakak. Sedang tertawa bahagia, mengenakan jas dokter milik Ibu Widya. Bertingkah seolah-olah dialah dokternya. Sementara di latar foto, tampaklah aku yang sedang berpura-pura berbaring di tempat tidur.

Stay Be The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang