Terluka

15 2 2
                                    

Aku tatap buntalan hitam bulat itu di hadapanku. Plastik besar itu terlihat menggembung padat. Hanya itu yang bisa aku gunakan untuk membungkus beberapa barang milikku.

Setelah memasukkan tiga setel baju, satu buah kerudung dan mukena lusuh, serta sebuah mushaf Al-qur'an, aku duduk terdiam di atas bale bambu ini. Aku mencoba meyakinkan hati kembali, apakah aku memang akan meninggalkan abah dan Emak, nenek tiriku.

Semua bisa aku lakukan, bangun paling awal ketika dingin masih merayap, menanak nasi di tungku, mencuci sebakul pakaian di sungai. Bahkan memanen palawija dan pergi ke sawah, hingga menuai padi. Aku berusaha tidak membiarkan sebuah keluhanpun keluar dari bibir ini. Karena hanya mereka keluargaku yang ada. Hanya mereka, amanat Ibu.

Aku mengeluarkan sesuatu dari laci lemari kayu kecilku. Sebuah cincin perak bermata satu peninggalan Ibu. Satu-satunya barang berharga dari wanita yang paling kucintai itu. Cincin itu memiliki mata berwarna hitam di tengahnya. Mata cincin itu sepertinya terbuat dari sebuah batu, sangat cantik dan kontras dengan warna lingkarannya yang putih.

Aku cium cincin itu, seolah mencium tangan hangat Ibu. Seketika berkelindan di benakku, senyum berlesung pipit milik Ibu saat memelukku.

Maafkan aku, Bu. Wati bisa melakukan apa saja yang Abah dan Emak perintahkan. Namun, Wati tidak tahan jika harus menerima fitnah seperti ini. Wati harus kemana, Bu? Apakah Wati harus pergi? Atau bertahan? Berikan Wati jawaban, Bu.

Air mataku mengaliri pipi, jatuh memburai. Bersama perasaan putus asa yang menggelayut di hati. Ingatanku melayang pada percakapan sebelum ajal menjemput Ibu.

"Wati, jangan membenci Bapak, karena satu kesalahannya lari dengan wanita warung itu. Masih banyak kebaikan Bapak yang lain yang harus kamu ingat."

"Bareto, Bapak mah nyaah ka Ibu. Ngan Hanjakal, teu tahan gogoda,"* ujar Ibu lemah.

Tangannya mengusap air mataku yang mengalir deras. Aku menggelengkan kepala, merapatkan pelukan ke tubuh lemah Ibu.

"Jangan pergi, Bu! Wati tidak mau sendiri." Aku terisak sambil menciumi kening Ibu yang masih kudekap.

"Kamu tidak sendiri, Nak. Ibu selalu ada sini," tutur Ibu lagi seraya menunjukan telunjuknya ke dadaku,

"tinggallah bersama Abah dan Emak. Mereka juga keluargamu. Jangan sedikitpun kamu mengeluh karena hidup bersama mereka."

Wajah pias Ibu semakin terlihat pucat. Tiba-tiba, napasnya tersengal lalu kalimat tahlil dia lafalkan, bersamaan dengan nafas terakhirnya. Aku menjerit, membuat semua mata di puskesmas itu memandangku. Beberapa dokter dan perawat juga pasien lain tergopoh menghampiri ranjang tempat Ibu terbaring. Tidak ada detak nadi lagi di tubuh wanita yang sangat kucintai itu. Tiba-tiba, perasaanku seperti tertindih bongkahan batu yang besar. Duniaku runtuh, hariku kelabu.

Suara petir membuyarkan lamunanku. Sontak aku tersadar. Aku kenakan cincin Ibu dan menyeka sisa air mata. Aku biarkan mata ini beberapa detik terpejam seraya menarik napas panjang. Lalu kukepalkan tangan. Aku merasakan sebuah kekuatan hadir.

Kekuatan yang mungkin dialirkan oleh cincin Ibu di jariku. Kekuatan yang menyusup, meyakinkan untuk tetap bertahan. Dan, tidak lari! Bukankah lari hanyalah membuat sebuah bukti jika aku bersalah. Bukan aku yang menjual beras dan telor-telor bebek hasil panen itu. Aku tidak akan lari!

Aku menghapus semua ingatan sedih tentang Ibu. Aku bangkit dari bale bambu, menghampiri buntalan hitam padat yang tergeletak di atas lantai semen itu. Aku keluarkan kembali semua isinya. karena aku akan tetap tinggal di sini. Aku tidak akan mengakui kesalahan yang tidak kulakukan!
**

*Dulu Bapak sayang pada Ibu. Hanya saja, dia tidak tahan godaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Flash Fiction K_MailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang