Arktik, Senja, dan Thomas

9 0 0
                                    

Aku tidak percaya, kedua kakiku berhasil menginjak lautan yang tertutup bongkahan es itu. Udara yang bersuhu jauh di bawah titik beku air, membuatku menggigil,  meskipun seluruh tubuh di bungkus jaket tebal. Berkali-kali, kugosokkan kedua tangan yang tertutup sarung tangan.

“Kau tidak akan melihat pinguin di sini, Jean!” Thomas berkata padaku, dengan senyumnya yang memperlihatkan barisan gigi putih yang rapi. Dia berdiri di sebelahku, menatap bongkahan es berwarna putih yang terhampar di depan kami.

Beberapa anjing laut terlihat berbaring, lalu menggeliat. Berbeda dengan beruang kutub yang kami lihat sebelumnya. Hewan berbulu putih itu tidak terlihat berkoloni seperti anjing laut.

“Inilah suasana midnight sun yang pernah aku janjikan padamu, Jean.” Thomas kembali berkata padaku. Aku memandang langit musim panas,  seharusnya sudah jam Dua belas malam, tetapi matahari tetap bersinar.

“Terima kasih, Thomas. Kamu telah membawaku ke puncak bumi,” ucapku lagi pada Thomas.
                       **
Aku berdiri di tepi pantai berpasir putih ini. Memandang semburat merah yang mulai bergerak menyentuh cakrawala. Cahaya kuning keemasan di tengah sembuat merah itu, memantul di permukaan air laut yang mulai berwarna hitam. Sebentar lagi malam menyapa. Aku biarkan angin darat yang mulai berhembus menerpa wajah.

Sementara itu, beberapa nelayan mulai sibuk melakukan persiapan penangkapan ikan di kapal kayu mereka. Aku selalu suka laut dimanapun itu. Terutama ketika warna orange menghias langit di atasnya.

Ingatanku melayang pada Tromso dan Thomas. Kota Pulau di sebelah utara Norwegia yang di kelilingi pemandangan laut yang memukau, dengan suhu di bawah titik beku.

Tromso adalah kota indah yang mempertemukan aku dan Thomas.

Seketika, air mataku menetes. Dadaku seolah memanas dan gemuruh kebencian kembali hadir di hatiku. Pulang ke negaraku, tetap saja tidak dapat meredam semua perasaan yang berkecamuk di hati.

Aku membuang pandangan dari laut di hadapanku. Membungkuk, mencari sesuatu yang dapat aku lemparkan ke laut untuk membuang semua perasaan yang menyesakkan itu.

Aku memilih lari dari Thomas, cintanya dan juga semua orang-orang yang mengenal kami di sana. Hatiku pedih, namun bibirku kelu untuk mengatakan semua kebenaran yang terkuak di hadapanku. Mulutku terkunci, aku memilih untuk diam. Karena sebuah keberanian tidak dapat aku hadirkan di hati.

Aku pergi, membawa luka yang menyesak dan cinta yang retak.

                         **

Kumpulan Flash Fiction K_MailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang