INDRI

9 1 7
                                    

“Dri, kok lo mau sih disuruh-suruh sama si Kiki terus, ” tukas Raisa sambil mengenakan sepatunya di teras mesjid sekolah siang itu.

Rok seragam berwarna abu-abunya terlihat sedikit basah. Mungkin terkena air wudhu saat shalat zuhur tadi.

Indri hanya tersenyum pada Raisa. Dia menggamit lengan gadis bermata sipit itu, berjalan menuju gerbang sekolah. Hari ini, Kiki  sahabatnya mengikuti ekskul karate, jadi mereka tidak melewati jam pulang bersama seperti biasa.

“Gue gak ngerasa disuruh-suruh kok, Sa. Gue hanya berusaha membantu sahabat gue sejak SD itu. Kalo lo butuh bantuan juga akan gue lakuin  sebisa gue,” tutur Indri.

“Ya elah, emang susah ngomong sama manusia separo malaikat kayak lo, Dri. Harusnya lo bisa bedain mana butuh bantuan dengan mana memanfaatkan.” Raisa menyanggah pernyataan Indri, dengan bibir merengut kesal. Akhirnya, mereka berpisah di depan gerbang. Raisa dijemput supirnya, sedangkan Indri menunggu angkot.

***
“Dri, gue liat PR kimia dong.” Kiki berkata pada Indri di sebelahnya. Pagi itu, dia memang sengaja janjian dengan Indri datang lebih pagi. Tidak ada satupun tugas mata pelajaran Kimia yang Kiki kerjakan di rumah. Sebenarnya, dia bukan tidak bisa. Namun, penyakit malas dalam dirinya masih saja dipelihara oleh Kiki.

“Gue ajarin caranya, ya, Ki,” tukas Indri. Senyum ikhlas dan kesabaran selalu menghias wajah gadis berhijab dan berkulit sawo matang itu.

“Gila, Dri, setengah jam lagi masuk. Gue liat aja langsung punya lo. Tadi malem kepala gue sakit, boro-boro bisa ngerjain PR Kimia.” Kiki memelas memohon pada Indri. Akhirnya Indri menyodorkan buku PR Kimianya ke hadapan Kiki. Sementara itu, Raisa memperhatikan kedua gadis itu dari luar jendela. Raisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kemudian, Raisa menerobos masuk ke kelas. Jantungnya berdegup kencang menahan emosi. Raisa menghampiri meja Indri dan Kiki. Tiba-tiba dia menggebrak meja itu.

“Ki, cukup! Gue rasa lo harus berenti manfaatin Indri. Jangan mentang-mentang Indri diem, sabar, mau nurutin semua kemauan lo, terus lo ngelunjak!” Raisa memicingkan matanya. Memandangi Kiki yang sedang memindahkan jawaban PR Indri ke bukunya.

“Astagfirullah, Sa, sabar…” Indri berdiri memegang lengan Raisa lalu mengajak gadis itu duduk di belakang mejanya.  

Kiki lalu bangkit dari duduknya. Dia balik menggebrak meja Raisa.

“Kok jadi lo yang sewot sih, Raisa! Denger ya, gue sama Indri itu sahabat sejak kecil. Kami udah deket jauh sebelom ada lo dalam hidup gue! Enggak perlu rese dan ikut campur deh! Indri aja gak keberatan, kok!” Kiki berseru pada Raisa dengan mata melotot.

Indri yang melihat dua sahabatnya itu bertikai karena dirinya berusaha melerai perdebatan itu.

“Lo sahabat apa orang yang cuma manfaatin sikap Indri? Dengerin gue ya, Ki. Bukan berarti lo sahabat Indri, lo bebas nyuruh-nyuruh dia dan manfaatin kebaikannya. Itu bukan persahabatan! Enggak ada take and give nya hubungan kalian. Indri sangat menyayangi lo, tanpa pamrih! Tanya dalam diri lo, seberapa besar lo menyayangi Indri sebagai sahabat lo!”

Raisa berkata lagi pada Kiki. Kali ini, bulir bening mengalir di pipi Raisa. Begitu juga Indri yang mulai terisak.

“Dimana lo saat Indri ultah, apa lo jenguk dia saat Indri sakit? Seberapa banyak lo tau soal semua yang disukai Indri? Berapa banyak tabungan Indri yang lo pinjem buat nutupin utang SPP yang lo pake shopping sendiri? Jawab, Ki! Kalo lo emang sahabat Indriana Wardani!”

“Apa lo tau, Indri nolak Farhan selain dia emang gak mau pacaran, dia gak mau bikin jarak antara persahabatan kalian! Karena baginya, hubungan lo sama dia lebih berharga!”  Raisa sudah tidak dapat menahan sesak dan keprihatinan dia pada Indri yang membuncah di dada.

“STOP!! Cukup Raisa, tidak usah diteruskan. Kalian adalah sahabat terbaikku. Apapun yang kalian lakukan atau apapun yang terjadi!” Indri berkata sambil memandang ke arah Kiki dan Raisa. Kemudian,Ia menyeka air matanya. Dia berlari keluar kelas meninggalkan mereka berdua yang akhirnya terdiam.

Beberapa siswa yang sudah datang dan melihat kejadian itu, berusaha melerai dan menenangkan Kiki dan Raisa. Indri terus berlari menyusuri lorong sekolah. Hatinya ngilu dan pedih. Baginya, Kiki bukan sekedar sahabat, tetapi belahan jiwa.

Mereka besar bersama di panti asuhan. Hingga takdir membuat Kiki diadopsi. Dan Indri mendapatkan orang tua angkat yang membiayai sekolahnya. Namun, Indri tetap tinggal di panti asuhan sambil bekerja paruh waktu sebagai penjaga counter HP sepulang sekolah.

Kiki meminta pada orang tua barunya tetap disekolahkan pada sekolah yang sama dimana Indri bersekolah. Bagi Indri, itu sudah lebih dari cukup. Kiki mau menemani hari-harinya tumbuh dan berkembang. Hanya Kiki, yang tersisa dari masa lalunya.




Kumpulan Flash Fiction K_MailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang