Entah bagaimana kelanjutan hari-hariku setelah malam lamaran keluarga Jeje dua bulan lalu. Yang pasti hari ini, detik ini aku sedang gelisah duduk di depan cermin kamarku yang sudah dihias sedemikian rupa untuk berlangsungnya acara hari ini. Jadi ingat hari pernikahan Zia, suasana terlihat sama, hanya saja kali ini aku yang menjadi tokoh utamanya.
Ya, ini hari pernikahanku dan Jeje. Entah mengapa dua bulan belakangan berlalu begitu cepatnya hingga hari yang tak kuharapan kini sudah di depan mata. Bahkan aku tak ingat bagaimana sibuknya keluargaku dan keluarga Jeje mempersiapkan semua detail pernikahan ini. Yang aku ingat hanya aku sering terbengong-bengong melihat antusias mereka. Entah itu Ayah-Bunda, Papa-Mama, Cicit dan sahabat-sahabat sarapku, tak terkecuali Jeje yang super duper cerewet mengingatkanku tentang banyak hal.
Jujur selama dua bulan ini aku dan Jeje jarang, bahkan mungkin tak pernah bicara berdua saja dengan serius, interaksi kami sangat kurang belakangan ini. Pasti akan ada orang ketiga entah itu Anna, Zia, atau bahkan Cicit yang akhir-akhir ini semakin akrab dengan calon kakak iparnya, hah.
"Zi... gimana nih? Kok rasanya gue makin ragu yah?" kataku masih mencengkram kain batik yang kukenakan sebagai bawahan kebaya.
Zia dan Anna yang duduk mendampingiku di dalam kamar mengelus punggunggu lembut -entah karena aku mati rasa hingga tak bisa merasakan sentuhan mereka secara nyata.
"Bukannya lo udah pasrah kemarennya, Ta? Lagi pula lo juga udah bilang kan sama kita kalo sampe ijab qobul itu terucap pada akhirnya itu berarti Jeje memang jodoh lo. Lo sendiri yang bilang bahwa sekarang semuanya lo serahin sama Allah?" Zia mengingatkanku kembali pada kata-kata yang kuucapkan dua bulan lalu, sesaat setelah lamaran keluarga Jeje diterima keluargaku.
Aku menahan napas mengingat kata-kata yang lebih terdengar masa bodo dibanding pasrah saat itu. Akibatnya begini, aku tak yakin dengan kata-kataku sendiri.
"Iya, Ta. Kan lo juga yang bilang kalo Jeje memang bukan jodoh lo--entah bagaimanapun caranya Allah pasti gagalin acara hari ini, bahkan meski dilima detik terakhir. Lo percaya kan sama tadir Allah?" tambah Anna.
Aku menatap kedua sahabatku bergantian, kembali meremas kain yang kukenakan frustrasi. Apa benar ini takdirmu ya Allah? Membuatku bersama seorang Jefan Nadhitama selama sisa hidupku? Menyempurnakan separuh agamaku bersamanya?
Sekali lagi aku menghela napas panjang, menghirupnya kembali untuk memberi udara pada paru-paruku yang sesak bukan main.
Sedang kacau pikiranku mengingat hari-hari yang kujalani sebelum hari ini, suara Ayah yang mengucapkan Ijab membahana dipengeras suara di susul suara yang sudah tak asing di telingaku selama hampir 10 tahun ini. Suara yang tak pernah kusangka akan menyebut namaku dan Ayah dalam janji sucinya. Suara yang entah bagaimana caranya membuatku menitikan air mata. Tapi aku yakin ini bukan air mata sedih atau kecewa, meski ku tak tahu air mata bisa disebut apa. Jeje yang dengan lantang mengucapkan Qobul dalam satu tarikan nafas membuat hatiku menghangat seketika.
"Loh loh... kok nangis, Ta?" seru Anna panik melihat air mataku yang jatuh dari sudut mata.
Zia buru-buru mengambil tissu dan menghapus air mataku hati-hati agar riasan di wajahku tak berantakan karenanya.
"Sayang... lo jangan bikin kita merasa bersalah gini dong. Jujur sebenernya gue seneng dan dukung banget tentang pernikahan ini. Tapi kalo lo nangis kayak gini gue jadi merasa bersalah, apa bener pilihan gue sama Anna merestui Jeje jadi suami lo udah bikin lo sakit hati sampe nangis gini?" kata Zia yang segera diangguki Anna.
Aku segera menggeleng kuat-kuat. Bukan! Ini memang bukan karena aku sedih atau apa. Aku ingin bilang bahwa aku terharu, tapi entah bagaimana cara mengungkapkannya. Entah mengapa air mataku mengalir begitu saja saat suara orang-orang yang hadir di luar sana meneriakan "Sahhhh" secara bersamaan dan menjadikanku istri sah dari seorang Jefan Nadhitama dimata hukum dan agama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Driving Me Crazy [END]
Romansa[Cerita ketiga yang Saki buat di Wattpad, tahun 2014, masih sangat belajar waktu itu. Maka dari itu maaf kalau alay dan gaje. Manusia hidup nggak langsung dewasa, kan?] ??? Meta itu sudah kenal Jeje sejak anak itu masih ingusan. Meta itu kenal Jeje...