HAPPY READING GUYS!!!
***
Mataku tidak bisa lepas untuk terus memeperhatikan punggung tegapnya. Dia berdiri membelakangiku sambil memasang kancing kemejanya satu persatu. Walau tidak dapat melihat wajahnya, aku bisa pastikan kalau sekarang dia sedang memasang wajah kesalnya.
Selesai dengan kemeja dan jam tangannya baru dia berbalik dan melangkah mendekatiku, masih dengan ekspresi tidak bersahabat tentunya. Aku berdiri dari dudukku dan mengalungkan tanganku ke lehernya. "Jangan gitu dong mukanya. Jelek tau."
Dia hanya mendengus dan membuang pandangan dariku. "Dev sayang. Jangan cemberut dong, senyum biar makin ganteng." Dia melepaskan tanganku dari lehernya, lalu dia berjalan menuju rak sepatu. "Aku udah bilang nggak mau. Tapi kamu terus maksa. Jelaslah aku cemberut."
"Kamu kan udah janji, Dev."
"Tapi nggak begini juga Clara."
Aku mendekat pada Devon yang sedang memasang sepatu. "Kalau nggak begini harus bagaimana lagi, Dev. Kita nggak akan pernah maju kalau kamu terus menghindar."
Dia langsung berdiri begitu selesai dengan sepatunya. "Ini yang pertama dan terakhir kalinya, Clara." Devon berjalan lebih dulu menuju pintu apartement nya. Aku mengambil tas ku yang tadi tergeletak di meja kopi ruang tamu apartemen Devon, lalu menyusulnya yang menungguku di depan pintu. "Aku bahkan nggak yakin kamu masih mau menemui dia lagi setelah malam ini."
Dia tidak menjawab apa-apa lagi. Bahkan tidak mengatakan apapun lagi sampai kami tiba di rumah adikku Ree dan suaminya Leo. Hari ini ulang tahun pertama keponakan ku. Aku sudah telat dari waktu yang diminta Ree untuk aku datang. Semoga saja dia dihari lahir anaknya ini dia jadi tidak terlalu marah padaku.
Di halaman belakang rumah Ree aku melihat hampir seluruh keluarga inti sudah berkumpul, tinggal aku saja yang baru bergabung. Mami yang paling dulu menyadari kehadiranku. Dia langsung berdiri dan memelukku, lengkap dengan pertanyaan kenapa datang terambat nya. Lalu anggota keluarga yang lainnya juga ikut berdiri, kecuali Tiana keponakan ku yang tetap asik di atas baby chair nya.
Aku menyapa mereka satu persatu sambil memperkenalkan Devon yang juga menyapa mereka dengan sopan.
"Cla, kenapa telat? Kan udah dikasih tau dari minggu lalu." Omel Ree begitu dia menyapaku.
"Maaf ya. Tadi pas sampai bandaranya masih siang kok. Bujuk dia supaya mau ikutnya yang lama. Masih ingat dia kan?" Aku menarik lengan Devon untuk lebih mendekat pada kami.
"Hai, Ree. Long time no see. How are you? Remember me?" Sapa Devon pada Ree, yang ditingkahi dengan raut agak tidak percaya Ree. "Hai, long time no see, Devon."
"Siapa namanya, Ree?" Tanya Devon begitu dia melihat Tiana yang mencoba untuk memasukkan sendiri makanan ke mulut mungilnya.
"Tiana." Jawab Ree.
"Cantik." Puji Devon, sambil matanya masih menatap lekat pada Tiana. Dia memuji dengan tulus, tapi ada sirat yang tidak bisa aku baca dari sorot matanya.
Lalu setelahnya kami mulai larut dalam acara itu. Mengobrol dari satu hal ke hal lainnya. Suasananya terasa begitu hangat. Terlihat sekali jika semuanya sedang bahagia. Apa lagi Ree dan Leo. Orang bodohpun akan tau betapa bahagianya mereka sekarang. Dan Devon bukanlah orang yang bodoh.
Aku melihat jelas bagaimana cara Leo menatap Ree, seolah-olah dia terus mengatakan betapa dia mencintai adikku itu disetiap sorot matanya. Juga dengan bagaimana nyamannya Ree bersama Leo. Dia terlihat sangat bahagia, terakhir kali aku melihat dia sebahagia itu adalah ketika Papi masih ada bersama kami. Sekarang Leo sudah mampu mengembalikan bahagia itu ke hidupnya. Andai saja dulu aku tidak terlalu bodoh, mungkin dia bisa lebih cepat bahagia.
Devon juga terlihat asik mengobrol bersama Leo dan ayahnya. Walau aku tau beberapa kali matanya masih mencuri pandang pada Ree.
Dia mencintai adikku.
Sudah sejak lama aku tau, bahkan sejak kami masih jadi tetangga dulu. Aku menyukai bagaimana cara dia memandang adikku, caranya tersenyum, dan cara-cara yang dia lakukan untuk bisa dekat dengan Ree.
Dia melakukan semuanya dengan tulus, tanpa ada sedikitpun pandangan nakal setiap kali dia melihat Ree. Setiap sikapnya pada Ree begitu sopan dan sangat mengehargainya sebagai perempuan. Dia mengagumi adikku sebegitu besarnya. Dan aku menyukai setiap hal itu. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari semua laki-laki yang pernah dekat dengan ku.
Ree tidak tau tentang semua itu. Tidak tentang Devon yang menyukainya. Tidak juga dengan aku yang menyukai Devon sejak dulu.
Dia tidak tau apa-apa. Dan aku bahkan dengan teganya membawa dia kedalam masalah yang tidak seharusnya ada dia di sana. Kesalahan terbesarku.
Mengabaikan semua perasaan yang berkecamuk di hatiku. Aku memilih ikut mendekati Tiana dan menggendongnya.
Aku sudah memutuskan untuk melakukannya dengan kemampuanku sendiri. Aku tidak boleh lagi goyah hanya karena Devon tetap memberikan tatapannya yang aku inginkan pada Ree. Yang perlu aku ingat hanyalah aku mencintainya. Aku yakin, kalau bukan karena cintaku dia tidak akan bangkit dari patah hatinya ketika Ree menikah dengan Leo.
Suatu hari nanti dia juga akan melihat aku dengan cara yang aku inginkan.
"Kalian nginap aja ya?" Pinta Ree yang entah sudah keberapa kalinya. "Yang lain juga pada nginap. Biar rame."
"Devon besok harus kerja, Ree. Dan kita nggak bawa persiapan apa-apa kesini. Lain kali deh ya." Bujukku.
"Pakai baju Leo aja. Kan bisa." Dia masih keras kepala.
"Kalian nginap aja lah. Masih banyak kamar kosong. Mau sekamar juga nggak apa-apa." Kasian melihat istrinya terus meminta sejak tadi, Leo pun ikut melakukan hal yang sama.
Aku melirik Devon yang duduk di sebelahku, dia masih asik memperhatikan Tiana. Sesekali dia akan menglurkan tangannya untuk mengajak anak itu bermain, walau Tiana masih malu-malu dan belum akrab dengannya.
"Dev." Panggilku. "Mau nginap di sini?"
Dia tersenyum tipis pada Leo dan Ree. "Lain kali aja ya. Masih ada kerjaan buat meeting besok, Pak Bos."
Aku bahkan hampir lupa jika Devon bekerja di kantor Leo. Melihat bagaimana humble nya Leo terhadap Dev. Ternyata menikah dapat merubah Leo menjadi sangat jauh lebih baik.
Akhirnya pasangan suami istri itu mengalah dan membiarkan kami pulang. Walau harus dihadiahi wajah cemberut Ree ketika dia mengantarku sampai pintu depan.
Devon diam saja selama kami di perjalanan. Bahkan ketika tiba di apartemen nya pun, dia masih tidak mengatakan apapu. Aku membiarkannya saja, tidak tau pasti apa yang sebenarnya dia pikirkan sekarang.
Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian aku ikut naik ke tempat tidur. Dia sudah berbaring sambil memunggungi posisi ku di sana, aku pun melakukan hal yang sama.
"Dia bahagia." Ucapnya. Aku diam saja, tidak tau harus menanggapi apa. "Aku mau coba." Lanjutnya.
"Melupakan dia?"
"Untuk hidup bersama kamu."
Aku membalikkan badan, menemukan dia sudah merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Aku menyentuh pelan rahangnya untuk dia menatapku. "Kenapa?" Tanyaku pelan.
"Dia bahagia. Harapanku sudah terwujud." Dia memberi jeda dalam kalimatnya. "Dia bahagia. Walau nggak pernah tau ada aku yang hanya berani menatap punggungnya dalam diam. Aku terlalu pengecut. Kita bisa mencobanya kan?" Pinta Dev lemah.
Aku bergerak untuk mendekap tubuhnya dan membelai lembut kepalanya yang berada di dadaku. "Bisa."
Memanggnya apa yang tidak bisa aku berikan untuknya?
Tidak ada.
***
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA!!!
YOU ARE READING
The Chance
RomanceMencintai tanpa dicintai itu sakit. Tapi ada hal-hal yang membuat seseorang bertahan untuk terus mencintai walau tau akan terus tersakiti. Ada mimpi yang tidak bisa dijelaskan yang membuat seseorang memilih untuk terus mencintai walau tau tidak mu...