Jangan lupa vote dan coment sebelum membaca ya. Budayakan menjadi readers yg bertanggung jawab 😉
Happy Reading!!!
***“Clara sering-sering main ke sini ya?” Tante Mira –ibunya Dev- mengusap lembut punggung tanganku. Itu sudah yang kesekian kalinya beliau meminta hal yang sama.
Tadi setelah pulang kerja, akhirnya Dev membawaku mengjenguk ibunya. Walau sepertinya sudah sedikit terlambat karna sekarang wanita paruh baya itu sudah terlihat baik-baik saja, kecuali karna obat yang masih harus diminumnya setelah makan malam tadi.
“Iya, tante. Nanti kalau ada waktu luang Clara datang lagi.” Jawabku sambil balas menggenggam tangannya.
Wajah sendu itu kemudian tersenyum kian lebar. “Harus pokoknya. Ibu sering kesepian. Apalagi sekarang Nisa sudah punya bayi, jadi makin jarang datang ke sini. Ya ibu maklum juga, pasti sangat repot sekarang. Tapi…” Tante Mira berdehem sekali, cukup kencang. Lalu matanya melirik sinis ke arah Devon yang sejak tadi masih fokus menekuri laptopnya di teras samping yang pintunya dibiarkan terbuka. Yang sudah pasti laki-laki kaku itu bisa mendengar semua obrolan kami.
“Ada itu anak laki-laki ibu satu lagi. Cuma kadang kayak suka lupa kalo masih punya ibu.”
Aku melirik Dev yang masih menunduk menantap laptop, tapi dia tidak lagi menarikan jemarinya di atas keyboard.
“Masa ya Cla, ibu harus sakit dulu baru dia mau menginap disini. Kalau nggak gitu mana mau datang. Sampai ibu guling-guling dihalaman juga nggak ada yang perduli. Kadang ibu mikir, apa sebainya ibu sakit terus saja biar ada yang menemani?!” Tante Mira berseru kesal. Intonasi suaranya bahkan sudah naik satu oktaf.
“Aduh tante jangan ngomong gitu.” Aku mengusap pelan lengan Tante Mira. “Clara bisa panik lagi kalau tiba-tiba tante sakit. Pokoknya tante harus sehat terus, nanti siapa yang mau ajarain Clara bikin gudeg kalau tante sakit.”
“Ibu kebablasan. Padahal kemarin dokter bilang nggak boleh stress, nggak boleh marah-marah dulu.” Tante Mira kemudian menarik nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri.
Aku melirik lagi pada Dev, layar laptop di depannya sudah mati. Tapi aku malah melihat dia mengerutkan kening, seperti sedang berpikir keras.
Dasar pria aneh, ketika laptopnya mati justru otaknya baru sibuk bekerja.
“Oh iya, Maminya Clara apa kabar?”
“Baik tante. Tadi Mami titip salam buat tante waktu tau Clara mau ke sini.”“Syukurlah. Nanti sampaikan salam balik dari ibu ya. Kapan-kita jalan ya bertiga?”
Tante Mira menepuk-nepuk sandaran sofa dibelakangku. Aku ikut menyandarkan punggung seperti yang dilakukannya, lalu setelah itu obrolan kami berjalan lebih santai.
Pukul Sembilan malam, aku pamit pulang dari rumah Tante Mira. Rencananya aku akan naik taxi online saja, tapi justru dilarang keras oleh Tante Mira. Katanya tidak aman perempuan pulang dengan orang asing malam-malam.Maka jadilah sekarang aku pulang diantar Dev yang sedang menyetir dengan wajah serius kesayangannya di sampingku.
“Nanti kamu balik ke rumah ibu lagi?”
“Nggak. Besok aku ada rapat pagi. Pulang kerja saja baru ke rumah ibu lagi.”
Jarak dari rumah Tante Mira ke kantor Dev memang lumayan jauh, karna itu juga dia memilih untuk tinggal di apartement yang lebih dekat dengan kantornya.
“Nanti ibu nggambek lagi loh.” Godaku pada Dev.
Dev mendengus pelan. “Senang ya ngomongin aku seolah orangnya nggak dengar.”
“Kami tau kok kamu pasti dengar semuanya.”
“Itulah resikonya menyatukan dua wanita cerewet.”
Aku tertawa mendengar ucapan Dev. Wajahnya masih datar seperti jalan aspal yang kami lalui, tapi dari suaranya jelas sekali dia sedkit dongkol terhadap pembicaraanku dan ibunya tadi.
“Duh sudah malam begini, masih aja macet.” Aku melihat jalanan yang padat dari kaca mobil. Sayup-sayup suara klakson bersahutan. Hebatnya pengendara jaman sekarang, sudah tau jalanan macet malah ditambah lagi dengan suara klakson yang menambah bising. Seolah hal itu bisa membuat kendaraan mereka melaju lebih dulu.
“Kalau sudah ngantuk, tidur saja dulu. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai.”
“Nggak kok. Cuma bosan aja kena macet pas selarut ini.” Aku menurunkan sedikit kursi mobil, lalu mengatur posisi tubuh untuk lebih nyaman.
Tiba-tiba saja dalam lamunanku justru teringat pada pertemuanku dengan Tante Mira. Sejak awal aku mengenalnya, wanita yang lebih tua dua tahun dari mami itu memang sudah ramah. Jika biasanya para ibu akan lebih tertarik pada adikku yang kalem dan manis, maka Tante Mira justru bersikap netral pada kami berdua. Bahkan bisa dibilang beliau justru lebih akrab denganku.
Aku bahkan seperti menemukan sosok mami dalam diri Tante Mira yang menyayangiku dengan tulus. Ya mungkin karena itu juga aku jadi cinta mati pada anaknya, karna sudah terlanjur terlalu nyaman dalam keluarga mereka.
“Dev, sesekali aku boleh ajak ibu kamu jalan-jalan? Nggak jauh kok, paling cuma makan atau ke salon.”
“Boleh. Kalau ada waktu, aku bisa antar kalian.”
“Yakin mau ikut kalau kita ke salon, lama loh itu. Kamu bisa mati bosan.” Ejekku. Sengaja untuk melihat reaksi Dev.
Diluar dugaan, dia justru mengangguk mantap. “Yakin. Aku jarang menemani ibu akhir-akhir ini, anggap saja itu gantinya.”
“Bisa sampai delapan jam loh kalau perempuan sudah ke salon.”
Oke itu lebay. Hal paling ribet yang pernah aku lakukan disalon hanya sebatas potong rambut dan creambath saja. Itu pun tidak rutin setiap bulan.
Tapi aku masih ingin melihat tanggapan Dev. Dia diam beberapa saat. Setelah itu menoleh sebentar padaku sebelum sedikit menjalankan mobil.
“Aku bisa lihat-lihat alat otomotif dulu sambil menunggu.”
Oke, dia punya tekat yang kuat. Tinggal dibuktikan saja nanti.
Aku kembali menyandarkan kepala menghadap jendela mobil. Sesekali cahaya lampu jalan jatuh menimpa wajahku saat mobil kami bergerak pelan.
“Tadi ibu kamu kelihatan senang banget, Dev.”
“Iya, selalu begitu kalau ada kamu.”
“Kok bisa?”“Ya bisa. Calon menantu.”
“Oh.”
Calon menantu.
Eh???
***
YOU ARE READING
The Chance
RomanceMencintai tanpa dicintai itu sakit. Tapi ada hal-hal yang membuat seseorang bertahan untuk terus mencintai walau tau akan terus tersakiti. Ada mimpi yang tidak bisa dijelaskan yang membuat seseorang memilih untuk terus mencintai walau tau tidak mu...