Belum lewat seminggu kan? Masih sesuai janji dong.
JANGAN lupa vote dan coment ya. Setiap tanggapan kalian berarti banget buat saya.
Don't be a silent readers!!
Happy reading!
****“Mbak Clara?” Kepala Nada menyembul dari balik pintu. “Ada yang mau ketemu.”
“Siapa?” Tanyaku masih sambil menggambar. Ada pesanan khusus dari seorang artis ibu kota yang namanya sedang naik daun. Permintaannya terbilang ribet dan rumit, banyak desainer yang sudah mengeluhkan hal itu. Belum karna karna sikap artis itu sendiri tidak bisa dikatakan baik. Tapi berhubung aku sedang butuh promosi, maka ku sanggupi saja permintaannya. Satu foto yang dia pajang di sosial media bisa jadi keuntungan besar untukku.
Sebenarnya sejak tadi aku sudah mewanti-wanti Nada untuk tidak mengganggu apapun alasannya. Entah apa yang membuat anak itu sampai nekat bicara walau dengan wajah takut-takut. “Mmm… itu Pak Devon, mbak.”
Gerakan tanganku berhenti seketika. Sudah lewat dua hari sejak kejadian waktu itu. Selama itu pula aku tidak tahu-menahu tentang keberadaan Dev. Aku sudah berhenti menghubunginya sejak kemarin. Juga tidak lagi menanti-nanti kedatangannya seperti orang bodoh.
Lalu sekarang saat sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannku, dia malah datang seenaknya.“Saya lagi sibuk. Tunggu setelah jam pulang kerja aja.” Aku kembali meneruskan pekerjaanku yang sempat terhenti.
“Tapi Mbak itu…”
“Cla?”
Aku langsung mengangkat wajah saat satu suara menghentikan ucapan Nada dan pintu terbuka lebar. Menampilkan Nada yang tampak membungkuk aneh dengan wajah terkejut sekaligus pria tinggi dengan wajah datar di belakangnya.
“Sa-saya permisi dulu,mbak.” Lalu masih sambil menunduk aneh Nada mundur dari cela pintu. Dev masuk setelahnya, tanpa perlu dipersilahkan duduk di kursi depan mejaku.
Aku kembali pura-pura sibuk dengan sketsaku. Sengaja mengabaikan Dev. Katakan saja aku sedang merajuk. Walau aku sendiri ragu, apakah aku memiliki hak untuk itu.
“Maaf.” Mulainya dulu setelah sekian menit yang sunyi.
Aku masih bergeming. Entah karena belum bisa memaafkannya atau karna tau begitu melihatnya seluruh kekesalan dan kecewaku akan luntur begitu saja.
Dev meletakkan kantong kertas coklat di samping sketsaku. Saat aku melirik sedikit dia sengaja mendorongnya semakin dekat.
“Dari ibu,” Ucapnya, berhasil menghentikan aksi pura-pura sibuk ku. Saat aku sudah memperhatikan sepenuhnya, dia kembali bicara. “Ibu sakit. Beberapa hari ini aku menginap disana. Maaf nggak mengabari kamu.”
“Ibu sakit? Sakit apa? Sekarang gimana? Aku mau jenguk. Ayo ki…”
“Clara,” Dev memanggil pelan. Menahan tanganku untuk kembali duduk. “Ibu baik-baik saja. Sekarang sudah bisa beraktifitas kayak biasa. Itu buktinya.” Dev menunjuk dengan ujung dagunya pada kantong kertas yang sesaat aku lupakan keberadaannya.
“Kenapa nggak kabari aku? Kalau kamu kasih tau aku bisa langsung jenguk.” Kesal ku.
“Karna aku tau kamu akan langsung panik begini.” Dia mengulas senyum tipis. “Kamu nggak mau tau itu apa isinya?”
Aku membuka bungkusan itu. Isinya sebuah kotak plastik ukuran sedang yang katalognya banyak aku lihat di rumah Mami. Begitu tutupnya terbuka, langung saja semerbak aroma sedap tercium.
“Wow…” Mataku langsung berbinar. Tanpa repot-repot mencuci tangan aku langsung mencomot isi kotak itu.
“Wah… enak banget! Udah lama nggak makan gudeg buatan ibu.”
YOU ARE READING
The Chance
RomanceMencintai tanpa dicintai itu sakit. Tapi ada hal-hal yang membuat seseorang bertahan untuk terus mencintai walau tau akan terus tersakiti. Ada mimpi yang tidak bisa dijelaskan yang membuat seseorang memilih untuk terus mencintai walau tau tidak mu...