Nunu tidak pernah mendekati perempuan. Lebih tepatnya, Nunu tidak pernah harus mendekati perempuan.
Nunu tampan, pintar, baik hati. Paket sempurna untuk tokoh utama standar di novel-novel romantis. Rata-rata perempuan sudah separuh jatuh cinta padanya ketika dia tersenyum dan sebagian dari mereka jatuh cinta seutuhnya setelah mengenal Nunu. Nunu yang tampan tapi pemalu tidak bisa melakukan apa-apa selain menyukai balik gadis yang menyukainya.
Cinta tidak pernah menjadi sesuatu yang harus dikejar. Dia hanya harus menerima. Menyatakan cinta pada gadis yang jelas-jelas cinta setengah mati padanya dan sudah menyukai Nunu jauh sebelum Nunu menyukainya.
Mudah. Kalau cinta sudah habis selesainya pun mudah. Jika bukan karena kesepakatan bersama maka Nunu yang mengakhiri, meminta maaf sambil tersenyum. Nunu yang baik hati, polos, pemalu. Manis sampai akhir.
Jadi Nunu tidak mengerti kenapa dia sedang duduk di kantin Teknik, mengetuk-ngetukkan jarinya gugup pada pinggir meja sambil menunggu Teddy, dan sama sekali belum terpikir untuk menyerah soal Dania.
Ketemuan besok aja, kata pesan singkat Teddy kemarin, lima jam setelah pesannya terkirim. Di kantin Teknik.
Dan Nunu benar-benar datang ke kantin Teknik, duduk dengan gugup ditemani segelas kopi sachet di antara lautan mahasiswa yang terlihat nyaman di fakultasnya sendiri, berusaha tidak terlihat janggal. Semua hanya demi meladeni Teddy yang seharusnya bisa bercerita lewat pesan singkat.
Mungkin ini rasanya mengejar cinta.
Teddy muncul di antara lautan mahasiswa, melambaikan tangan. Ada Habil, teman Teddy yang juga temannya, di sampingnya. Nunu balas melambaikan tangan. Napasnya kembali teratur. Dia bisa merasakan warna kembali muncul di wajahnya. Teddy menarik bangku tepat di depannya. "Udah lama, Nu?"
Nunu mengangguk gugup. "Lumayan." Habil menoleh ke arah Nunu. "Elo nanyain si Otong?"
"Jangan kenceng-kenceng," desis Nunu panik. "Iya." Orang-orang di meja di sekeliling mereka tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar. Nunu berani bernapas lega.
"Lemesin Nu, buset. Tegang amat kayak mau ujian. Tapi masa lu nggak tahu Otong siapa?"
Teddy tertawa kecil sambil menatap ponselnya. "Lu nggak kenal Nunu apa. Dia kan tinggal di bawah batu."
"Gue nggak tinggal di bawah batu."
Habil mengerutkan dahi. "Kayaknya lo sama Otong sama-sama pernah masuk akun itu deh. Akun buat anak kampus yang ganteng-ganteng, di Instagram."
Ganti Nunu yang mengerutkan dahi. "Instagram gue udah nggak pernah gue buka dari jaman maba."
Teddy mendengus tertawa. "Gue bilang juga apa. Percuma, Nu, lo ganteng tapi hidup lo berhenti di jaman dinosaurus."
Nunu berusaha meluruskan percakapan dengan putus asa. "Bisa nggak kita ngomongin Otong dulu, baru ngomongin keprihatinan kalian soal hidup gue yang kurang terjangkau teknologi?"
"Oke, oke." Teddy meletakkan ponselnya dengan cengiran lebar. "Otong tuh anak sini. Mesin, 2014. Laku banget, rata-rata cewek Teknik pasti pernah naksir Otong. Fakultas lain juga banyak yang kenal dia. Eksis lah."
"Emang baik sih. Cepet akrab. Mungkin gara-gara itu cewek-cewek jadi pada baper."
Hati Nunu mencelos. Supel, ramah. Kedengarannya seperti kebalikan total dirinya.
Kedengarannya seperti Dania.
"Terus--" Nunu memulai ragu-ragu, "lo tahu nggak hubungan dia sama Dania apa?"
Habil menganga. "Lo naksir Dania??"
"Sst!"
Nunu rasanya ingin menyatu dengan lantai kantin. Perkara Otong dan Dania ini ternyata lebih repot ketika Habil ikut terlibat dalam diskusi. Beberapa orang di meja sebelah menoleh. Nunu menatap gelas kopinya, berharap entah bagaimana caranya dia bisa menyalahi kaidah ilmiah dan tenggelam dalam larutan kopi.
YOU ARE READING
kalau besok belum jodoh
FanfictionMungkin bukan hari ini. Kalau bukan hari ini, mungkin besok. Kalau tidak besok, lusa.