Tiket Bioskop

1.1K 99 45
                                    

Bagas tidak yakin dia sepenuhnya memahami isi rapat hari itu. Dia terjebak duduk di pojok ruangan dengan Wawan di sebelah kirinya dan orang yang sepertinya calon pacar Dania di sebelah kanannya. Beberapa kali dilihatnya Nunu, berusaha mengukur orang seperti apa dia. Dia tahu Nunu sedang memikirkan hal yang sama.

Nunu ini, pikirnya, tidak seperti orang. Kulitnya putih bersih, nyaris tanpa noda atau bekas luka. Rambutnya rapi, tapi bukan rapi karena usaha. Seolah-olah dia bangun rapi dan selamanya akan begitu. Kalau tersenyum wajahnya seperti tokoh komik.

Bagas tahu dirinya tampan. Tidak ada yang pernah mengatakan sebaliknya sejak dia kecil. Tapi tampan versi Nunu berbeda dengan tampan versinya, dan dia benci itu. Dia benci kemungkinan bahwa Dania lebih suka tampan versi Nunu daripada versinya, dan lebih suka melihat Nunu daripada melihatnya.

Iri adalah perasaan yang jelek dan Bagas tidak pernah ingin iri, tapi kadang-kadang tidak ada yang bisa dilakukan--selain iri. 

Di sebelah Bagas, sambil berpura-pura mendengarkan presentasi tentang laporan aliran dana, Nunu memainkan jam tangannya sambil merutuk dalam hati. Takut setengah mati kalau laki-laki di sebelahnya yang ramah dan pintar bicara cukup ramah dan pintar bicara untuk menjadi lebih spesial bagi Dania.

Seusai presentasi, Bagas bangkit lebih dulu, siap pergi sejauh-jauhnya dari Nunu. Tapi Nunu berhasil menyusulnya, tepat sebelum Bagas mencapai pintu.

"Lo ada waktu, nggak?" tanya Nunu. "Ada yang mau gue tanya."

Bagas ingin menjawab tidak.

"Ada," jawabnya akhirnya, sambil memaksa dirinya tersenyum. 


.


"Jadi? Ada apa nih?" tanya Bagas, berpura-pura santai sambil bersandar pada mobilnya. Mereka berdiri berhadapan di parkiran, Bagas sambil bersadar pada mobilnya dan Nunu berdiri agak jauh darinya, menjaga jarak. Mirip suasana duel di novel-novel klasik, tepat sebelum pertengkaran. Bagas memaksakan sebuah senyum. Nunu balas tersenyum, salah satu senyum otomatisnya yang ia pakai untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia sedang memutar otak.

Kalau tidak bertanya sekarang, selamanya tidak akan tahu, pikir Nunu. 

Kalau tidak bertanya sekarang, selamanya tidak akan tahu.

Maka Nunu, yang pemalu dan nyaris seumur hidup tidak pernah mengambil langkah nekat, membuka mulutnya.

"Lo pacar Dania ya?"

Bagas benar-benar tidak tahu cara menjawabnya. 

Bukan. Dia bukan pacar Dania. Secara teknis dia bukan siapa-siapa selain teman; teman yang kelewat pengecut untuk bilang sayang. Sebagian dirinya ingin jujur dan berkata bukan, gue cuma teman, sambil tertawa palsu dan segera pulang sambil memaki dirinya sendiri karena sudah begitu pengecut selama setahun belakangan. Lebih cepat dia menderita, lebih cepat penderitaannya selesai. 

Sebagian lagi dari dirinya ingat cara Tasya dan Denisa saling menyikut ketika Nunu menelepon, dan bagaimana punggung Dania mendadak terlihat jauh. Bagaimana Dania terlihat senang ketika Nunu menelepon. 

Sebelum Bagas sempat berpikir, dia sudah menjawab. "Iya."

Dia akan jadi orang jahat. Sekali ini. 

Nunu berdiri mematung dengan mulut setengah terbuka. Dia sudah bersumpah untuk berusaha tidak terlihat terkejut, apapun jawabannya, tapi tidak bisa. Wajahnya tidak bisa diajak bekerjasama. 

"Oh," ucap Nunu, setengah tergagap. "Oh--oke."

"Lo tahu dari mana?"

Nunu mengangkat bahu, seolah-olah sepele. Bahunya terasa berat. "Adek gue, Hanif. Satu kosan sama lo katanya, mungkin lo kenal."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

kalau besok belum jodohWhere stories live. Discover now