3.805 Mdpl

40 2 0
                                    


Hei, Sobat!

Saya akan menceritakan sebuah negeri surga!


Di tanah inilah aku dilahirkan. Daratan tinggi dengan kesuburannya. Alam dan keindahannya. Siapa pun yang menginjak bumi ini akan merasa berada di lingkungan surga. Pagi hari, tampak wajah tua berbondong-bondong menuju padang sawah. Menjelang petang, semburat senja menghantarkan langkah mereka kembali ke peraduan, berpeluh-peluh, wajah yang penat pancarkan kebahagiaan.

Langkahku terhenti sejenak, menengadah jauh ke puncak Bukit Barisan. Merenungi liku-liku kehidupan sudah jauh kutempuh. Dari siang hingga malam. Tenggelam bulan sampai berganti pajar. Kini alam terasa begitu sempit. Seakan ditimpa beban amat berat, efek sampingnya bikin kepalaku tak dapat lagi berpikir arti kehidupan ini.

Meskipun berat aku tetap melangkah. Perjalanan membawa harapan yang patah. Mimpi-mimpi indah selayaknya seorang bidadariturun dari langit ketujuh untuk menghanyutkan biduk kertas, lalu setelah kian jauh ia berlayar, biduk itu karam dilamun badai, tak sampai pada peraduannya.

Hari ini aku menelusuri hutan. Terbungkuk-bungkuk mendaki puncak nan tinggi. Memakai pakaian yang hanya melekat di badan: dingin. Dalam pendakian aku terbayang ucapan Nenek sambil berurai air mata. Dia memintaku janganlah cepat berputus asa, janganlah menangis, dan janganlah lemah menjalani kerasnya kehidupan.

Aku sangat tahu kelopak mata yang sudah mendekati kriput itu mengerti sekali penderitaan cucunya. Sejak kecil sudah menanggung derita silih berganti. Bermacam cela, caci, dan hina. Sampai pada detik ini aku seperti berpijak di bumi berduri. Pedih.

"Semuanya pastilah berlalu ... sabarlah," katanya menabahkan.

Aku menyapu air mata.

Kalimat demikian selalu Nenek ucapkan untuk tenangkan hatiku. Ia yakin apa pun kesempitan dan kesusahan hidup ini pasti akan ada lapangnya. Menyakini apa pun impian seseorang lamban laun berjumpa peraduannya. Nenek meyakini kemiskinan adalah sebuahanugrah dari Tuhan, bukan kebencian Tuhan pada maklukNya.

Masih kuingat juga kalimat Kakek, "Kalau kau sedih lihatlah alam, ia bisa buat tenang. Apa tidak malu wajah bersedih dapat tawa dari alam," begitu ucapnya dikala aku merindukan Ayah dan Ibu.

Keadaan serba sulit, ingin kulanjutkan hidup namun aku tak sanggup lagi. Darah semangatku sudah hilang. Hilang entah ke mana, berkali-kali aku bangkit akhirnya terjatuh lagi, terpojok, seolah ragaku sudah tak hinggap lagi bersama badan.

Terkadang, sempat juga terlintas pemberontakan di kepala, jikalau benar petuah alim ulama berkata Tuhan maha mendengar setiap permintaan hambaNya. Jika nyata setiap permintaan dari hambaNya akan terkabulkan. Mengapa hidupku begitu kacau?

Sudah tujuh belas tahun berlalu hidup seperti mati. Tujuh belas tahun menanggung beban berat tidak terkira. Tujuh belas tahun tak pernah mendapat kasih sayang yang sesungguhnya. Sudah tujuh belas tahun kemalangan hadir silih berganti. Apa seperti ini Tuhan maha adil?

Perlahan kulengkungkan kepala mengarah dasar jurang. Bebatuan, batang-batang, lembah, rumpun-rumpun salak yang hidup tanpa ditanam dan tumbuh berkelompok di dasar jurang itu, mungkin, salah satu dari mereka bersedia mencabik ragaku, patahkan kaki, dan menancapkan durinya. Biarlah penghuni rimba menamatkan hidupku. Sekiranya Tuhan bersedia menghapus kepingan-kepingan pilu itu, barangkali hidupku tak berhenti sampai di sini.

Sekarang kudapati nasibku, di sini, di ketinggian 3.805 Mdpl: Puncak Gunung Kerinci. melihat kejauhan sana membentang pemandangan indah Kota Jambi, Padang, dan Bengkulu. Lebih jauh lagi, di sana tampak Samudera Hindia yang luas. Sebelah timur Danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di Sumatera. Di belakangnya Gunung Tujuh dengan perdauanan sangat indah dan tertinggi se-Asia Tenggara, namun hampir tidak tersentuh.

NEGERI 3805Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang