Rindu

25 1 0
                                    

"Ayah kau sudah dua minggu tak balik dari hutan. Tanpa sepengetahuan, ibu kau masuk hutan keluar hutan demi cari ayah kau, Cung. Beruntunglah dapat temukan, lutut ayah kau kena golok saat ia tebang bambu, tampak tulangnya!"

"Lalu macam mana, Nek?"

"Jelas ibu kau panik, lalu dia ikat pahanya pakai jilbab, menggedongnya balik menempuh jalan sejauh tiga puluh lima kilo. Ketika lah sampai di rumah langsung diobatinya, dua minggu kemudian ayah kau sehat dan bisa jalan lagi, sedikit pincang."

Aku tercekat mendengar cerita Nenek. Kejadian menghilangnya ayahku ini saat aku masih berada dalam kandungan. Betapa aku rindu pada perempuan murah hati itu. Seorang perempuan biasa sanggup menggedong lelaki sejauh tiga puluh lima kilometer? Tak dapat kubayangkan berapa peluh yang sudah ia keluarkan demi suaminya.

Tidak banyak ingatanku bicara perkara Ayah dan Ibu, bahkan bisa dikatakan aku tak mengenal wajah mereka. Jangankan mengenal rupa, keberadaan mereka pun aku tidak tahu. Hanya puing-puing kisah tiap hari mengahantui, tiap hari dihadiri kehadiran Ayah dan Ibu, siang dan juga malam-malamku.

"Ayah kau pejantan gigih. Di kampung kito dialah satu-satunya orang yang sanggup bertahun-tahun mengadu nasib dengan rimba dan tiap minggunya bawa rakit menelusuri aliran Sungai Batang Merao."Aku mendekap di pangkuan Nenek.

"Biasanya kalau ayah kaulah balik dari cari rakit, ibu kau nyiapkan makanan. Ia senduk nasi ayah kau sambil tersenyum, memberikannya juga pakai senyum. Waktu itu, kehidupan kito lagi susah-susahnya, seringkali porsi makan ibu kau itu ia beri pada suaminya. Ibu kau sering nian bilang dia tak lapar supaya nasi cukup untuk makan ayah kau, Cung"

Nenek mulai buat air mataku bergenangan.

"Kalau kito lagi makan gulai ikan baung, ibu kau kerap beri jatah ikannya pada ayah kau. Katanya, ia tidak suka makan ikan, padahal ibu kau paling suka ikan baung. Kalau dia jumpa sisa daging menempel di tulang baung, diam-diam dia memakannya di dapur. Tidak mau sampai suaminya tahu." Nenek menoleh padaku dengan paras bergeming.

"Malam hari, bila besoknya ayah kau nak pergi cari rakit. Ibu kau jarang tidur cepat. Dia lebih dulu mengemas peralatan. Kadang bila musim penghujan ia tak tidur. Dia menyelimuti suaminya, tak peduli badannya sendiri kedinginan. Karena dia hafal esoknya ayah kau pergi berminggu-minggu, dia rela lakukan apa pun asalkan suaminya tak kedinginan."

Aku memandang Nenek lamat-lamat. Menumpukan tangan di bawah dagu.

"Dulu, di bulan ramadhan penyakit darah tinggi ibu kau pernah kambuh. Sekujur badannya berpeluh, kejang-kejang juga, muka pucat, tapi ia tak mau dilarang kerja. Ibu kau masih sanggup pegang cangkul. Ketika ayah kau balik tengok wajah istrinya pucat, sambil tersenyum ibu kau cepat-cepat berdiri bilang dia tak sakit. Dia juga minta nenek merahasiakan penyakitnya."

"Di mana Ayah dan Ibu, Nek?"

Nenek menghelus kepalaku pelan-pelan.

"Begitu kalau kau mau tahu tentang ayah dan ibu kau ... ehm, sebentar lagi kau mengaji, kan? Pergilah siap-siap dulu ...."

Nenek berlalu ke dapur bikin kopi untuk Kakek. Tidak dapat dipahami maksud Nenek tiap-tiap keadaan seperti ini. Aku terpesona tabiat mulia Ibu yang rela melakukan apa pun demi suami. Aku merindu peluk mereka yang entah di mana keberadaannya. Tidak satu pun orang mau mengerti. Tak satu pun orang mau beritahu keberadaan Ayah dan Ibu yang sesungguhnya. 

Awal-awal sekolah aku selalu cemburu melihat kawan-kawanku diantar ibunya. Cemburu bila menyaksikan kawan-kawan ditunggu ibu sampai jam pulang sekolah. Iri melihat kawan-kawan lain berbimbing tangan dengan ibunya dalam perjalanan pulang. Iri jika menyaksikan kawanku pergi ke pasar Sabtu bersama ibunya, dan di sana mereka dibelikan mobil-mobilan, buku baru, tas, dan tebu tusuk. Sementara aku hanya menjadi saksi. Tak tahu harus meminta pada siapa mainan baru dan perlengkapan sekolah yang serba baru.

NEGERI 3805Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang