Setelah reuni dadakan di kediaman Haruno kemarin, Tenten memutuskan untuk menemui salah seorang temannya dan juga senseinya yang sering bersama.
Tangannya membawa keranjang berisi makanan yang ia buat sendiri dan ia genggam erat-erat agar tidak jatuh saat menaiki bukit. Kakinya melangkah pelan, berusaha menghemat tenaganya untuk melewati perjalanan yang masih panjang.
Awalnya ia berniat untuk menaiki sepedanya, sebelum ia lupa menaruh di mana sepeda kesayangannya. Gadis itu adalah tipe orang yang selalu berusaha siap dengan segala keadaan, sehingga memiliki banyak benda di rumahnya yang pada akhirnya ia taruh sembarangan. Bahkan pernah ia menemukan pisau lipat yang biasa ia bawa untuk berjaga-jaga berada di dalam kulkasnya.
Bahkan saat ini, ia sebenarnya menyelipkan banyak benda tajam di sekujur tubuhnya yang ia rekatkan dengan perban seperti kebiasaannya sejak kecil.
Bukan tanpa alasan ia memiliki kebiasaannya yang berbeda dari gadis lain. Gadis itu sendiri tau bahwa senjata yang ia bawa juga membuatnya merasa agak kaku saat bergerak, dan membuat bagian yang ia lilit perban tampak lebih cerah dibanding yang lainnya.
Semua berawal dari sekitar empatbelas tahun yang lalu, saat di mana ia masih seorang gadis kecil dengan rambut kucir dua.
Flashback on
Malam ini orangtuanya akan terlambat lagi. Gadis itu menatap rintikan air di jendela yang turun perlahan dan menulis sesuatu di kaca jendela yang dingin karena pemanas ruangan belum dinyalakan.
Gadis itu duduk di pinggiran jendela, berusaha menatap keluar menembus kabut dan mencari keberadaan kedua orang tuanya. Bibir mungilnya terus memanjatkan doa agar orang tuanya cepat kembali dengan selamat.
Jari-jari mungilnya mengenggam erat bantal putih kecil miliknya, sebagai pengganti boneka beruang yang ia inginkan namun tak kunjung ia dapati. Rambut kucir duanya bergoyang kala kepalanya terantuk-antuk ke jendela, dengan mata yang ia usahakan tetap terbuka.
Melodi rintikan hujan seolah-olah mencoba membuat gadis itu terbawa ke alam mimpi, dan berkonspirasi dengan hawa dingin yang membuat gadis itu merapatkan selimut di tubuh mungilnya.
Manik cokelat gadis itu kembali terlihat kala telinganya menangkap suara lain yang teredam dengan suara air hujan. Suara tersebut semakin kencang, dan sosok yang mengeluarkan suara tersebut mulai terlihat di kejauhan.
Tidak, gadis itu yakin betul bahwa suara yang ia dengar bukan berasal dari gesekan sepatu tua ayahnya ataupun dari sandal kayu ibunya yang sering berbunyi nyaring. Suaranya lebih kencang, dan lebih kuat. Ia yakin sekali bahwa suara tersebut mendekat ke arah rumahnya, satu-satunya rumah di tempat yang cukup terpencil ini.
Giginya bergemeletuk, menahan rasa takutnya yang semakin membuncah. Kain selimutnya telah naik hingga menutupi sebagian kepalanya, menyisakan wajahnya yang mengintip takut-takut ke luar jendela.
Bayangan hitam yang tadinya memburam di balik kabut mulai memperlihatkan dirinya. Tak hanya satu. Mereka ada banyak. Sekiranya itu yang bisa disimpulkan saat ini bagi gadis itu.
“Tenten, awas!” Nani?, pikir Tenten. Butuh waktu bagi otaknya untuk mencerna suara yang baru saja mengusik kegiatannya.
Ia terpaksa menghentikan imajinasinya karena kini ia sudah terduduk setelah menabrak salah satu pohon. Tangan putihnya mengelus keningnya yang memerah.
“Ittai,” gumamnya. Gadis itu kemudian tersadar akan sesuatu, dan seketika matanya langsung mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang.
“Apa kau baik-baik saja, Tenten?” matanya menangkap sosok seseorang yang baru saja akan ia kunjungi.
“Ah, iya. Aku baik-baik saja Lee. Dimana Guy-Sensei?” Tenten mencari keberadaan guru dengan rambut mangkok yang begitu khas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara Memory
FanfictionMereka berkata bahwa aku harus melupakanmu karena kamu sudah pergi. Tapi, bagaimana aku bisa melupakanmu dengan semua kenangan yang terus berputar di kepalaku? Bagaimana aku bisa menghapus namamu dari memoriku jika aku terus melihat ilusi dirimu? Ba...