(XI)

83.6K 11.8K 664
                                    

Rayaa masih mengatur napas ketika Langit melepas pagutannya, tangan Langit masih menjelajah di antara pelipis Rayaa. "Masih mau cerita sama Ajeng bagaimana kita ciuman kali ini?"

"Aku nggak tau kalau kamu ternyata brengsek, seenaknya cium-cium cuman buat memenuhi rasa penasaran kamu." Rayaa mendengus, memutar bola matanya bosan ketika raut wajah Langit masih datar. "Jangan-jangan kamu mencium semua perempuan, biar kamu tahu mereka tertarik sama kamu atau enggak."

Rayaa berdecak pelan ketika Langit menggenggam tangannya.

"Ajeng cerita apa?"

"Kamu yang cerita sama Ajeng, kenapa kamu tanya aku lagi? Lucu yah kamu, harusnya aku yang tanya kamu cerita apa aja sama Ajeng." Rayaa tidak yakin jika suaranya cukup rendah agar tak mengundang perhatian. "Aku nggak yakin bisa meredam emosiku di sini kalau terus meladeni kamu."

Rayaa menghempaskan tangan Langit yang bertengger manis di pergelangan tangannya. Ia pergi dengan sisa-sisa amarah yang masih belum terluapkan seutuhnya.

"Ray..." Langit menahan tangan Rayaa. "Aku enggak pernah cerita sama Ajeng soal ciuman."

"Terus kamu pikir Ajeng cenayang bisa tau kalau kamu itu ciuman pertama aku?"

"Dengerin aku." kedua tangan Langit berada di pundak Rayaa, memaksa Rayaa agar tetap mau berhadapan dengannya. "Kamu yang kirim pesan sama aku ingat? mungkin Ajeng baca SMS kamu, aku nggak pernah cerita soal hal seperti itu."

"Kenapa kamu nggak hapus? Atau kenapa kamu biarin Ajeng pegang ponsel kamu?"

"Jadi semua salah aku? Karena aku nggak hapus pesan kamu dan juga karena aku membiarkan Ajeng buka ponsel aku? yakin kamu nggak pernah biarin Gavin pegang ponsel kamu?"

Rayaa mengangguk, semua salah Langit karena membiarkan Ajeng tahu semuanya. Jika saja Langit menghapus pesan dari Rayaa mungkin ceritanya tidak akan seperti ini.

"Kenapa kamu nggak nyalahin diri kamu sendiri, c'mon. Kamu yang secara frontal kirim pesan itu ke aku, seandainya kamu nggak kirim pesanpun pasti Ajeng nggak akan tau. Ini nggak adil, ketika kamu menyalahkan aku dan marah padahal kamu sendiri yang memulai." Langit menarik napas gusar, tatapannya terfokus pada Rayaa yang menunduk menggigit pipi dalamnya. "Kamu mau nyalahin aku pun nggak masalah, asal jangan seperti ini. Kamu marah, diam dan aku nggak bisa ngasih pembelaan."

"Harusnya aku tampar kamu." suara Rayaa terdengar begitu lirih di telinga Langit.

"Silahkan." Tantang Langit. "Jika dengan menampar aku bisa menyelesaikan masalah, aku akan menerimanya. Tapi nyatanya beribu tamparan tidak akan menyelesaikannya, karena yang kita butuhkan adalah bicara dengan kepala dingin."

Langit melangkah pergi meninggalkan Rayaa, hanya sampai beberapa Langkah ia menoleh ke belakang . "Asal kamu tau, aku nggak pernah cium perempuan sembarangan. Ajeng dan Nimas yang notabenenya adalah mantanku, aku nggak pernah mencium mereka sama sekali."

"Karena kamu melindungi mereka berdua, kamu nggak mau merusak mereka. Perasaan kamu ke mereka tulus, tidak didasari nafsu."tuduh Rayaa, ia tidak tahu jika wajah Langit sudah mengeras. "Dan perasaan kamu terhadapku nggak lebih dari..."

"Jangan lanjutkan." potong Langit, "Aku tau apa yang ada di kepala kamu. Kamu dan isi kepalamu itu hanya sedang berusaha menyangkal dan menyingkirkan aku, Kamu mau aku pergi dan membuat aku terlihat jahat."

Awalnya Langit akan pergi menginggalkan Rayaa, membiarkan perempuan itu mendinginkan kepalanya. "Cukup bilang kamu mau aku pergi, tidak dengan tuduhan kamu yang sama sekali nggak berdasar."

"Dari awal aku sudah bilang. Kamu yang memaksa."

"Aku memperjuangkan, bukan memaksa. Maaf kalo aku buat kamu nggak nyaman."

Hot Tea with SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang