2. Hello or Goodbye(a)

121 3 0
                                    

Setelah aku sadari ternyata udah lama aku gak update ya? maaf kadang aku lupa sama hari.. padahal dulu janji mau update tiap minggu. dan misalnya kalo aku lupa update lagi.. kalian bilang aja ke aku. karena sebenarnya cerita ini udah siap sampai beberapa bab di laptoku.. so tell me if i am forget..

VOTE DAN KOMENT YA?

*****

2. Hello or Goodbye?

"Masa lalu bukan untuk di lupakan, namun sebagai pengingat."

-Writer-

Desember di New York

"Kau yakin tidak akan apa-apa, Sayang?" Drew kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya. Rasanya aku ingin memutar mataku untuk menjawab pertanyaanya. Namun aku menahannya.

"Aku akan baik-baik saja, Drew. Jangan bertanya hal itu lagi." Aku memutar tubuhku untuk menatap jalan kota New York yang padat. Di bawah apartemenku yang biasa. Tetapi entah mengapa aku lebih menyukai apartemenku yang biasa ini daripada rumahku yang besar di London sana.

"Kau tahu bahwa kau dapat memiliki apartemen yang lebih bagus dari ini." Drew kembali mengajak untuk beradu argumen. Tetapi aku terlalu malas untuk menanggapinya. Jadi aku mengambil segelas wine yang telah aku siapkan.

"Aku tahu itu. Hanya saja apartemen ini yang paling aku sukai." Aku bergumam malas setelah menyesap Wineku.

"Sayang.. jangan berbicara seperti itu." Oh sial.. aku tidak menyukai jika suara Drew mulai merengek. Meskipun wajah Inggrisnya sangat tampan namun aku tidak suka melihat ekspresinya yang sedang merengek. Pria tampan sambil merengek itu tidaklah lucu. Dan terkadang mata abu-abu yang Drew miliki juga membuat aku tidak suka.

Aku mendengar pintu terbuka. Dan dalam hati aku tersenyum. Aku tahu itu adalah Damy. Aku mengucapkan terima kasih kepada Damy lewat tatapanku dan Damy hanya mengangguk singkat untuk menjawabnya.

"Penerbangan kita sebentar lagi, Drew. Jadi bisakah kita bersiap-siap sekarang?" Damy bersandar di pintu kamarku. Senyum bahagia tidak lepas dari bibirnya dan hal itu membuat Drew sedikit kesal. Sedangkan aku hanya terkekeh melihatnya.

"Jangan menertawakan itu, Jenn." Drew menggumam kesal, aku hanya mengangkat bahu tidak peduli. Dia berjalan untuk mendekatiku.

Aku tahu apa yang akan Drew lakukan.

"Bisa berikan kami privasi, Damian?" Drew berhenti tepat di depanku. Dia berbicara sambil menatap Damian yang sedang terkekeh juga.

"As your wish, My Lord." Dan blam. Pintu itu tertutup dengan cepat.

Damian sialan..

Dia tidak pernah seratus persen membantuku. Seharusnya Damian tahu bahwa aku masih menjaga jarak dengan Drew. Tetapi aku tahu jika Damian memang brengsek yang tidak mempunyai otak.

"Kau tahu apa yang ingin aku lakukan?" Drew menghembuskan napasnya tepat di wajahku. Dan entah sejak kapan wajahnya sudah berada di depanku. Aku mengangguk menjawab pertanyaanya. Tentu saja aku tahu apa yang ingin dia lakukan kepadaku. Bahkan orang buta pun tahu itu.

Tangan kananya menarik pinggangku dan tangan kirinya berjalan menyentuh pipiku. Aku menahan napasku. Ini sudah bukan jenis gairah yang pernah aku rasakan seperti dulu. Namun hanya perasaan was-was yang aku rasakan.

Bibirnya berada di bibirku. Drew menciumku dengan intensitas cepat dan tepat. Bibirnya membuka bibir bawahku untuk terbuka. Dan saat aku membuka bibirku, lidahnya langsung menyeruak untuk masuk. Lidah panas yang biasanya membelaiku dengan hasrat kini terasa hampa bagiku. Aku mati rasa dari gairahnya. Bahkan ketika tangan kanannya membelai punggungku dengan lambat. Aku tidak merasakan getaran itu.

Aku memejamkan mataku. Mencoba fokus pada ciuman kami. Meskipun hasrat itu datang namun aku tahu bahwa hasrat itu tidak sebesar kemarin. Aku berusaha untuk membuat Drew terlena dalam ciuman kami. Toh ini juga ciuman terakhir sebelum Drew pergi. Sambil memejamkan mata. Aku meletakkan tanganku di kedua lehernya. Menjambak rambutnya begitu aku merasakan lidah Drew menjelajahi mulutku. Drew menggeram. Badannya mendorongku ke sisi meja dekat jendela kaca.

Begitu bokongku menyentuh meja tersebut. Drew menurunkan ciumannya di leherku. Dia menghisap leherku dengan kuat. Meninggalkan tanda merah disana. Aku mendesis. Ketika Drew semakin berani menjelajahi leherku. Aku merasakan Drew mengangkat bokongku keatas meja. Tangannya semakin berani menjelajahi tubuhku. Bergerak dengan gelisah. Aku mendengar pintu di gedor dengan kuat. Dan sialnya... Drew tidak mendengar suara tersebut karena begitu aku melihat mata abu-abunya menyiratkan badai gairah yang seperti malam terakhir itu. Aku sadar bahwa hal ini sangat berbahaya. Namun aku tidak tahu bagaiman menyelesaikannya.

"Sialan kau, Andrew. Kita akan terlambat." Terima kasih untuk teriakan Damian yang begitu kuat hingga membuat Drew berhenti mencium leherku.

"Berhentilah berteriak, Anderson." Drew juga ikut berteriak setelah menjauh dariku. Aku sedikit tersengal setelah ciuman gila yang entah kenapa aku sukai. Well.. ternyata ketika kau sadar dalam berciuman rasanya akan berbeda. Ahh dasar pemikiran gila. Aku tersenyum bodoh dari isi otakku.

"Bersiap-siaplah, Sayang." Drew memegang handle pintu namun dia masih berbalik menatapku. Senyuman merekah tak hilang dari bibirnya. Mata abu-abu yang berkabut sedikit membuat aku terlena.

"Bukankah kau yang harus bersiap-siap, Drew?" Aku turun dari meja. Berjalan pelan kearahnya. Aku bingung dengan perkataan konyolnya. Apa maksudnya?

"Kau harus menemaniku, Tunangan." Drew manarik handle pintu. Dia tersenyum semakin lebar ketika melihat aku merona.

Setiap Drew mengatakan "Tunangan" membuat aku merona. Aku malu namun aku juga bahagia karena mimpi yang dulu aku inginkan terwujud. Dan perasaan itu selalu membuat aku menghangat.

Aku memegang bibirku yang masih terasa panas sambil tersenyum. Terkadang aku menyukai Drew sebagai tunanganku. Namun ada saat-saat dimana pikiran gilaku mulai bekerja dimana aku menganggap Drew sebagai wabah yang harus aku hindari.

Jenn, apakah yang aku lakukan ini benar?

Aku menatap diriku di cermin. Melihat perempuan berusia dua puluh dua tahun dengan rambut coklat dan mata biru yang terlihat berantakan setelah menerima ciuman panas dari kekasihnya.

Aku kembali menyentuh bibirku. Dan aku langsung merona begitu melihat tanda merah di leherku. Drew menandaiku.

Dan hal itu membuktikan bahwa sebenarnya Drew adalah milikku. Aku bukan penggantinya. Aku tahu itu. Karena yang sebenarnya dia tidak pernah ada.

Aku semakin tersenyum. Sebab aku tahu bahwa hanya aku yang dapat memiliki Drew.

"Sayang, cepatlah." Drew kembali berteriak dari luar pintu kamarku.

"Iya, Drew." Merapikan bajuku. Aku mengambil tas selempang bewarna coklat di nakas. Setelah menyisir rambutku dengan cepat. Aku kembali melihat cermin besar tersebut.

Dan aku menyeringai.

*****


Jenna or JenniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang