CERITA INI AKAN BERKEMBANG!
****
"Kemarahan datang saat kau tidak tahu bagaiman cara menyelesaikan masalah."
-Writer-
November, empat belas tahun kemudian
Aku menghancurkan vas bunga terakhir yang bisa aku jangkau dengan tanganku. Menjerit gila dengan suara yang tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan air mataku tak pernah berhenti mengalir. Saat aku sadar tidak ada lagi yang bisa aku hancurkan maka aku menarik rambutku seperti orang gila.
Atau mungkin aku memang sudah gila.
Pintu kamarku terdobrak dengan kerasnya namun siapa sangka bahkan jika pintu tersebut hancur pun aku sudah tidak peduli lagi. Yang aku inginkan hanya menghancurkan seluruh barang yang dapat aku jangkau.
Menangis di sudut kamar adalah hal yang terbaik. Namun Damian tetap bisa menemukanku dengan mudahnya. Dia berlari menghampiriki. Memeluk tubuhku dengan eratnya meskipun aku memberontak dan mencakar tubuhnya habis-habisan. Namun Damian tidak pernah berhenti untuk mencoba menenangkanku. Saat aku temukan diriku tidak dapat memberontak lagi aku menangis dalam pelukan hangatnya. Memeluk bahunya dengan erat dan membiarkan air mataku mengalir terus.
"Menangislah jika memang itu dapat membantumu, Baby girl." Dia mengusap punggungku dengan tenang. Suara hangatnya mencoba untuk menyentuh hatiku yang paling dalam.
Aku menangis. Menangisi kebodohan dalam hidupku. Yang ada dalam pikiranku hanya kata "hancur" tidak ada yang lain selain kata tersebut. Begitu aku merasa napasku mulai tenang dan air mataku tidak mengalir lagi aku mendengar derap langkah kaki memasuki kamarku. Aku mendongak.
"Apa yang kau lakukan?" Dad berkacak pinggang di depan pintu kamarku. Pakaian kerjanya di pagi hari menegaskan bahawa Dad siap untuk berangkat kerja.
Aku melepaskan pelukkan Damian. Dan damian menatapku dengan sendu. Hanya Damian lah penyelamatku.
Sambil merapikan rambutku Damian membantuku untuk berdiri. Mom masuk dan melihat keseliling ruangan yang telah hancur.
"Dia sedang dalam masa rentan, Dad." Damian menatap Dad dengan wajah santainya. Bahkan dia membantuku untuk duduk di sofa yang telah aku sobek dengan pisau di berbagai sisi nya.
"Lalu kau berpikir hal ini wajar? Setiap dia dalam masalah dia selalu menghancurkan semuanya, kau pikir ini normal untuknya?" Suara Dad meninggi sedangkan aku semakin menunduk, tidak berani mengangkat wajahku barang dalam sedetik pun.
"Hentikan, Anderson. Kau juga harus memahami posisinya." Mom mencoba melerai perdebatan tersebut.
Posisi?
Jadi aku hanya dianggap sebagai pion disini?
"Tidak, Stella. Kita juga harus tegas kali ini." Dad menjawab Mom dengan suara yang bahkan aku yakini sebagai amukkan massa.
"Aku kat-"
"Lalu Dad pikir aku akan diam saja?" Damian memotong perkataan Mom dengan pertanyaan lainnya.
Aku langsung teringat dengan masalahku. Dan semuanya membuat aku menangis kembali. Kilasan malam itu kembali berputar dalam otakku. Berputar dengan durasi yang lambat dan terlihat jelas.
"Tidak. Aku katakan tidak" Aku menjerit kuat begitu memori malam itu seolah ada didepan mataku. Menenggelamkan wajahku kedalam lutuku dan selalu mengatakan "tidak" sedikit membantuku untuk menghalang memori itu melintas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenna or Jenni
Romance(BEBERAPA PART AKAN DI PRIVATE SECARA ACAK) SEBELUM MEMBACA ALANGKAH BAIKNYA DI FOLLOW DULU AKUNNYA. THANKS! Jenita Anderson.... Tidak pernah merasakan kebahagian.. selalu dianggap sebagai boneka pengganti saudarinya.. Suatu hari kakaknya memberikan...