Chapter Three

1K 155 43
                                    



Jihoon tertidur pulas. Kegelapan menyanderanya lama di alam mimpi. Bulan yang telah menggantikan matahari buktinya. Kegelapan tak merelakan Jihoon pergi dari sisinya sampai seseorang memanggil Jihoon di sana dan kegelapan itu sendiri melepaskannya.

Jihoon menggeliat resah saat tangan dingin seseorang menyentuh wajahnya, bermain dengan rambutnya dan membelai bibirnya. Selain tangan dingin yang menyentuhnya, Jihoon juga merasakan hembusan nafas hangat di cuping telinganya. Seseorang itu membisiknya mesra dengan kata-kata yang dia tak bisa dia dengar sepenuhnya, hanya nafasnya yang hangat yang kemudian membuat basah telinganya karena seseorang itu kini mulai menggigit dan menjilat telinganya.

"Jihoon," orang itu, Soonyoung, terus mengumamkan nama Jihoon bagaikan mantra. Bibirnya mengecupi seluruh permukaan wajah Jihoon sampai melumat dalam bibirnya. Belum lagi tangannya yang bergerilya di bawah selimut dan menyentuh Jihoon di mana saja.

Jihoon melenguh. Refleks manusiawi yang biasa terjadi, yang ternyata tambah membuat sang raja bersemangat menggerayanginya.

"tak pernah cukup, dari dulu hingga sekarang, aku tak pernah merasa cukup atas dirimu, Jihoonie."

Hanya Tuhan dan Soonyoung yang tau, berapa ronde yang telah dia lakukan pada Jihoon-nya yang terlelap ini. Merasakan tubuh hangat seorang manusia yang bergesek dan bersentuhan dengan kulit pucat sedingin es miliknya. Tubuh hangat Jihoon menyelimutinya, melengkapi dinginnya dengan hangat. Sebagaimana seharusnya.

Kelopak mata Jihoon perlahan-lahan mulai terbuka. Risih terhadap sentuhan membuatnya mengerjap dan membuka mata. Soonyoung masih melakukan pekerjaannya, menyentuh dan kini mengecup leher Jihoon dengan laparnya. Menahan diri agar tak menggigit leher Jihoon saat itu juga. Mungkin benar-benar akan digigitnya jika saja Jihoon tak menyentak dan mendorongnya kuat.

Jihoon menggeser tubuhnya kepayahan menjauhi Soonyoung. Matanya membulat shock saat menemukan wajah Soonyoung tepat berada dekat dengannya. Alis Soonyoung terangkat sebelah, bibirnya menekuk ke bawah tanda tak suka. Jihoon mendorongnya. Jihoon-nya menjauhinya.

"Jihoon?"

Jihoon berbalik dan turun dari kasur seketika saat itu juga. Tak peduli bahwa faktanya tubuhnya sama sekali tak berbalut apa-apa selain selimut merah yang tadi menyelimutinya bersama Soonyoung. Langkah pertama kaki Jihoon merasakan dinginnya marmer merupakan langkah terakhirnya juga. Jihoon jatuh karena kakinya sendiri tak mampu menopang berat tubuhnya.

Dia meringis ketika lututnya membentur lantai. Belum lagi tubuhnya yang terasa remuk serta ngilu yang menyakitkan pada bagian bawah tubuhnya. Jihoon sempat membeku saat merasakan ada yang mengalir keluar dari lubangnya. Jihoon menyentuhnya, memastikan. Cairan putih lengket yang kemudian dia sadar juga ada di sekujur tubuhnya dalam keadaan kering lengkap dengan bercak kemerahan.

"Jihoon," panggil Soonyoung lagi. Dia ikut turun melalui sisi seberang kasur, mengenakan jubahnya dan menghampiri Jihoon. Berlutut di sebelahnya dan menarik wajah Jihoon untuk menghadapnya kasar. Dia tak kan pernah memaafkan jika Jihoon menolaknya lagi.

Mata bertemu mata. Jihoon menatap Soonyoung dengan benci yang teramat sangat. Matanya kelewat merah karena menahan tangis dan sakit hati secara bersamaan. Sementara Soonyoung yang benci tatapan Jihoon seperti itu melepas dagu Jihoon dengan kasar pula. Mata seperti itu tak seharusnya diperlihatkan padanya. Dia tak mau Jihoon menatapnya dengan mata seperti itu.

Soonyoung melingkarkan tangannya di pinggang Jihoon. Berniat mengangkatnya berdiri saat Jihoon memasang kedua tangannya sebagai tameng dan menahan dada Soonyoung agar tak menempel padanya.

"jangan—sentuh," desisnya geram.

Batas kesabaran Soonyoung habis sampai di sini. Cukup sekali dia di tolak. Cukup sekali untuk hari ini Jihoon menolaknya. Tak dia biarkan akan terjadi yang kedua dan seterusnya. Soonyoung mengangkat Jihoon dan menghempasnya kembali ke atas kasur. Naik ke atasnya, menaungi tubuh polos Jihoon dan mencengkram kedua pergelangan tangannya.

"ingat tempatmu, Jihoon. Kau adalah milikku. Tidak menolakku adalah cara hidupmu yang seharusnya."

"aku bukan milik siapa-siapa, terlebih milikmu!" Jihoon menantang Soonyoung lewat tatapannya. Tidak terima diklaim terlebih diperlakukan semena-mena. "Aku adalah milikku sendiri!"

Memberontak lemah Jihoon lakukan sebisanya. Tubuhnya kekurangan darah dan jelas sekali itulah yang membuat pemberontakan Jihoon sama sekali tak berarti bagi Soonyoung. Terlebih untuk ukuran seorang mayat berumur ratusan tahun yang kemudian hidup kembali secara ajaib.

Soonyoung menghela nafasnya. Jihoon di masa sekarang tak ada bedanya dengan Jihoon di masa lalu. Sama-sama seorang pembangkang. Bukan seorang penurut. Dan memanglah seorang pemberontak. Tapi tak kan dia biarkan kesalahan masa lalu kembali terulang. Tidak akan ada yang kedua kalinya. Jihoon-nya, miliknya, melakukan usaha tindak pembunuhan terhadap dirinya.

"Soonyoung," pintu terketuk dan seseorang masuk ke dalam ruangan yang kini menjadi kamarnya. Jeonghan datang dan berdiri di sana. "kita siap pergi kapanpun kau siap." Masih pada posisinya, Soonyoung menoleh pada Jeonghan dan bergumam paham. "dan mengenai darah yang kau minta, manusia di aula museum bisa kau pilih sesukamu."

Seketika itu juga mata Jihoon membulat sempurna. Semua teman-teman sekolahnya, para Seonsaengnim, Wonwoo, pengunjung museum lain. Mereka semua dalam bahaya.

Selepas melaporkan, Jeonghan pergi. Soonyoung kembali menatap Jihoon sebentar sebelum akhirnya bangkit.

"tunggu!" Jihoon menahan tangan Soonyoung dan menatapnya memelas. "jangan sakiti teman-temanku," katanya bergetar. Tangannya kuat memegangi lengan Soonyoung.

Soonyoung mencondongkan sedikit tubuhnya pada Jihoon. Mengecup pipinya sebelum menggigit pelan cuping telinganya. "lagi-lagi kau memikirkan orang lain selain aku, Jihoonie." bisiknya lirih.

Jihoon mendesah tertahan saat hawa hangat itu menerpa wajahnya. "kumohon," pegangannya pada Soonyoung tambah menguat. Sekarang lebih kepada sebuah cengkraman. "jika kau butuh darah, hisap saja darahku. Kumohon, biarkan teman-temanku pergi."

"maaf, Jihoon." Soonyoung menarik tangan Jihoon yang memeganginya dan mengecup mesra tiap jarinya. "demi kebaikan kita berdua. Aku harus membunuh mereka semua." Soonyoung benar-benar bangkit sekarang. Pergi meninggalkan Jihoon yang perlahan namun pasti mulai menutup matanya.

.

.

.

[Chapter Three] Done!

.

.

.

SC (Saya Curhat) again:

Hobinya Jihoon itu tidur Titik

Ini proyek yang paling saya kurang pede tapi tetep saya post and Walla!

Saya ngga pedenya karena itu, anu, anu itu, itu, you know-laaah. Ini ratingnya up jadi rating tingkat dewa. Bayangin aja Jihoon Wonwoo dkk di sini kayak anak kuliahan semester akhir gitu dah. Soonyoung dkk di atas mereka dikit. Udah? Ok sip.

Saya pribadi sih nganggapnya ini udah tingkat dewa. Soalnya nulis yang anu-anu secara spesifik gitu saya gabisa tpi saya coba. Alhasil gitu. Kayak Chap 3 ini. Gmana? Rating dewasa bukan?

Bakal saya privat-unprivat bolak balik. Karena itu tadi ngga pedeh. Ngga pede gegara rating-nya aja kok. Anndd kalo ada yang perhatiin End of the Past per chapter-nya agak lebih pendek dripada fict yang lain. Saya sengaja. Biar enak di saya. Sip!

Btw ini fict udah ada Summary! Cek atuh. Bkinnya barusan lol

Udah baca wajib komen. Ok? Makasii

Love Yuh, LloydK

End of the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang