****
Angin malam mulai datang menghampiri sosok seorang wanita yang baru saja selesai menyantap makanan seorang diri, terdengar pula suara tegukan air dari rongga tenggorokannya, setelah selesai membereskan makan malamnya wanita itu bergegas ke ruangan atas.
Ceklek...
Bunyi suara pintu kamar Arin dan Rayaan, Jiya masuk menghampiri Rayaan setelah singgah dari kamar Fathima untuk memastikan bahwa buah hatinya telah terlelap, tidak lupa wanita itu selalu mencium kening putra putrinya namun kali ini berbeda ketika Jiya hendak meraih selimut di ranjang Arin ternyata putranya ini tidak ada di kamar.
Irisan cokelat wanita itu terus saja mengelilingi kamar hingga tertuju pada sosok yang ia cari, Arin terlihat sedang merenung di balkon kamarnya menghayati setiap cahaya bintang-bintang yang bertaburan malam itu."sayang?" sapa suara yang lembut terucap dari bibir Jiya yang mampu meneduhkan perasaan arin kala itu
"ahh ibu.."
"kau disini rupanya, kenapa belum tidur sayang? apa yang sedang kamu pikirkan?"
"aku tidak memikirkan apa-apa bu" jawab Arin dengan nada yang datar
"wajahmu tidak bisa berbohong padaku Arin.." keningnya mengerut seraya berdiri disamping putranya
"hmm baiklah, jika aku berkata jujur ibu tak akan marah bukan?"
"tidak nak, mengapa ibumu ini harus marah padamu? Kau sudah beranjak dewasa tidak pantas bila ibu marah kepadamu"
"ibu aku memikirkan tentang kebahagiaanmu, entah mengapa aku selalu berpikir bagaimana bisa aku membiarkan ibuku seorang diri berjuang untuk menghidupi kami, tanpa ayah? Mengapa dia begitu cepat meninggalkan kita? Apa salahku dan adik-adikku sehingga Tuhan memisahkan kita?" ujar Arin yang mengusap ujung matanya yang mulai penuh dengan buliran hangat.
Seketika Jiya merasa sedih dengan ucapan putranya yang sudah mengerti dan beranjak dewasa itu.
"apa yang kau katakan Arin? Semua ini telah menjadi takdir kita, ibu tidak pernah mengeluh dengan apa yang ibu jalani saat ini, kita tidak pernah tahu kapan bertemu dan kapan akan dipisahkan, sejauh ini ibu sangat bahagia meski tanpa ayahmu disisi kita, ibu sangat bahagia menikmati hidup bersama kalian" tak terasa air hangat yang keluar dari irisan cokelat mata Jiya,
Dengan cepat arin menyekanya."apa ini ibu, kau berjanji tak akan menangis dihadapkanku bukan? Kau orang yang kuat, aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku seperti yang ibu minta, hanya itu."
Seketika Jiya memeluk putranya dan menangis.
"i'm sorry mom, i'm sorry" seraya menyeka kembali air mata sang ibu
"it's ok" Jiya merangkul putra sulungnya dan mulai tersenyum
~FLASHBACK~
Bilal Mubarok adalah seorang pria keturunan India-Afghanistan yang menetap di Hyderabad – India. Bilal menjadi pengusaha muda yang sukses dalam bidangnya pada masa itu, dia menikah dengan seorang wanita cantik bermata cokelat dan berambut pirang yang indah dari Mumbai, 18 tahun yang lalu. Pernikahannya dikaruniai tiga orang anak, Arin, Rayaan dan Fathima Mubarok. Kedua orang tua Bilal maupun Rajiya Begum adalah petinggi-petinggi termasyhur disana juga kala itu. Pertemuan mereka sangat sederhana mereka bertemu disebuah perayaan islam tepatnya eid mubarak party yang di gelar di mumbai 18 tahun silam.
"Bilal bagaimana menurutmu perayaan eid di negara kita ini?" pertanyaan sang ayah membuat pria itu menunjukkan lesung pipit yang terpampang jelas diwajah rupawannya
"syahbass ,aku menyukainya Yah, semua terlihat indah dan banyak para anak-anak petinggi disini yang bisa kujadikan teman"
"tentu saja india tidak kalah menarik dari Lahore" seketika keduanya terkekeh
"dari dulu kau tidak pernah mau pulang ke negaramu ada apa sebenarnya dengan Pakistan sampai kau tak ingin melanjutkan kuliah mu di india dan memilih lahore? Apa ada wanita yang memikatmu disana padahal aku ingin sekali melihatmu kuliah di amerika?" lanjut sang ayah seraya menepuk bahu Bilal
KAMU SEDANG MEMBACA
If Thi Haar (jika itu sesuatu yang hilang)
RomanceMengapa aku harus hanyut dalam duka, sementara cinta yang baru siap membawaku pada kebahagiaan