SEMBILAN BELAS

217K 20.2K 1.5K
                                    

"Karena lo spesial."

Tiga kata itu seakan terus dibisikkan ke dekat telinga Sandra, kepalanya masih setia mengingat satu kalimat singkat yang keluar dari mulut Edgar dengan mudah, padahal ia kini sudah berada di kamar dan duduk di atas tempat tidur.

Spesial? Sebenarnya apa yang dimaksud spesial oleh Edgar tentang Sandra?

Dia bukanlah perempuan dengan wajah tercantik hingga layak disebut sebagai most wanted sekolah, bukan pula atlet seperti siswi yang baru dikenalnya tadi yakni Eva, bukan anggota cheers yang menarik hati, juga bukan si jenius yang memiliki nilai tinggi di setiap mata pelajaran.

Dia hanya Sandra, perempuan kikuk yang berwajah biasa saja, memiliki tubuh lemah dan selalu pingsan jika disentuh, juga tidak terlalu pintar dalam pelajaran. Cara sosialisasinya bahkan cenderung terbatas, diajak bicara oleh orang lain pun Sandra masih terbata-bata bila menjawab.

Jadi di mana letak istimewanya Sandra di mata Edgar?

Karena merasa tidak akan mendapatkan jawaban walaupun memikirkannya hingga larut malam atau musim duren hingga musim rambutan, Sandra mengganti seragam yang ia pakai dengan pakaian rumah, berupa kaus dan celana pendek.

Sandra turun ke lantai satu dan membulatkan mata ketika mendapati ayahnya terlihat diam seperti batu padahal adonan kue sudah selesai dibentuk dalam cetakan kue bolu, apa ayah Sandra dikutuk jadi batu?

Sandra menggeleng, ngawur ah.

"Ayah?" panggil Sandra.

"Eh? Iya, San? Kenapa?"

"Ayah kenapa ... ngelamun kayak gitu?"

Ayah Sandra tersenyum, mengangkat cetakan kue dan memasukannya ke dalam oven. "Ayah baru dapet inspirasi buat novel ayah yang baru. Sebenarnya inspirasi awalnya itu dari kisah kalian."

Sandra duduk, melipat tangan di meja makan. "Kalian?"

"Iya kalian, kamu dan Edgar."

Sandra menaikkan salah satu alis. Ia dan Edgar?

"Kok gitu?"

"Kalian ini pasangan remaja yang lucu, San. Edgar yang selalu siap ngelindungin kamu, dan Sandra yang selalu bersikap ragu-ragu sama Edgar. Jarang-jarang loh ada yang kayak gitu. Kebanyakan cewek tengil sama cowok pendiam, tokoh utama di cerita ayah sebelumnya juga begitu."

Sandra hanya mendesah, mengikuti pemikiran ayahnya yang serba rumit itu memang sulit. Ia mengambil beberapa buah anggur dan memasukannya ke dalam mulut, satu-satu, tentu saja.

"Kapan-kapan ajak Edgar ke sini, ayah pengen tau dia cuma main-main atau beneran serius sama kamu. Kalo cuma buat main-main, maaf aja, ayah nggak akan biarin dia nemuin kamu lagi."

Melihat pandangan tidak mengerti Sandra, ayahnya mendesah pelan. "Kalo dia cuma main-main, sama aja dia itu menyepelekan perasaan kamu. Dan ayah nggak mau hal seperti itu terjadi, anak ayah bukan boneka, anak ayah bukan mainan. Kamu pantas untuk dihargai."

"Edgar nggak kayak gitu," balas Sandra tanpa sadar, ucapan itu keluar begitu saja dari mulut Sandra tanpa bisa dicegah.

"Semoga, lagian dari awal ayah sama Edgar ketemu, keliatan dari matanya kalo dia serius sama kamu. Tapi tetep ayah harus liat kesungguhan dia."

"Emang ... matanya gimana?"

"Dia ngeliat kamu itu kayak ngeliat porselen mahal kesayangan. Cantik, disayang, tapi rapuh. Edgar bakal ngelakuin apapun buat ngelindungin kamu Sandra, bahkan tanpa kamu minta dan kamu bilang sama dia. Ayah yakin itu pernah kejadian."

Sandra memiringkan kepala, kembali mengingat saat di mana Edgar mencengkram kerah seragam Sanggi karena cowok itu hendak mengambil foto mereka berdua. Sebelumnya Edgar menoleh ke arah Sandra dan mendapati ekspresi cewek itu terlihat risi dan tidak nyaman.

"Pernah," gumam Sandra tanpa sadar.

"Tuh kan."

Sandra tersenyum, mengumpulkan biji anggur yang tak dimakannya ke dalam wadah kecil. Siapa tahu bisa tumbuh jika ia menanamnya di belakang rumah.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, memperlihatkan pesan yang dikirimkan seseorang.

Jalan?

Benar-benar khas Edgar. Singkat, padat dan jelas. Untuk yang belum terbiasa mungkin tidak akan mengerti dan harus membaca berulang-ulang agar bisa paham maksud cowok itu, tetapi Sandra sudah paham sejak pertama kali membaca.

Edgar mengajaknya jalan-jalan, mengapa baru sekarang? Sandra kan sudah di rumah dan berganti pakaian, jadi tingkat kemalasan untuk bergerak sudah ada di level tertinggi.

Ia kemudian ingat ucapan ayah Sandra tentang mengajak Edgar ke rumah, mengapa tidak sekarang saja?

Ke rumah aja, Ayah pengen ngobrol juga.

Ok.

Sekali lagi, singkat, padat dan jelas.

***

Sandra sedang menggali tanah dengan sekop ketika Edgar menghampirinya setelah mengobrol dengan ayah Sandra, membicarakan berbagai hal walaupun cowok itu hanya menyahut antara ya dan tidak.

Sandra mengubur kembali biji-biji anggur yang telah ia simpan ke tempat yang telah digalinya tadi, tak lupa menepuk-nepuk sebagai tanda bahwa Sandra selesai.

Edgar ikut berjongkok di depan tanah dekat kayu yang disusun dan di atasnya ada payung besar, meja bundar kecil serta bean bag, Sandra menoleh dan mengerjapkan mata berkali-kali ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Edgar yang tajam.

Sandra berdeham gugup, ia menunduk dan memekik ketika mendapati cacing naik ke atas jari kakinya. Sandra memang geli dengan hewan itu, sekarang saja Sandra sudah menendang-nendang, berharap cacing di jari kakinya terlempar.

Edgar tidak lagi berniat membantu karena si cacing sudah jatuh ke tanah, ia tersenyum sebentar saat melirik wajah pucat pasi Sandra. Edgar mengambil sandal cewek itu yang sempat lepas dan menyodorkannya ke arah Sandra.

"Makasih." Sandra mengambil sandal dan memakainya segera. Semburat merah menjalari pipi, ia merasa malu harus memekik dengan suara keras di dekat Edgar. Bahkan Sandra sempat melihat dia tersenyum.

Awas saja kalau senyum mengejek.

Akhirnya mereka berdua duduk di bean bag yang empuk, menikmati semilir angin sore dan cahaya matahari yang kian memucat. Mereka saling diam, belum ada yang berniat membuka mulut. Tak heran jika Mina pernah berceletuk bahwa Edgar dan Sandra adalah pasangan Limbad.

"Edgar," ucap Sandra yang mulai sadar kalau di antara mereka perlu ada komunikasi.

Edgar hanya menoleh sebagai tanggapan.

"Maksudnya ... gue spesial itu ... apa?"

"Spesial aja."

"Kenapa gue bisa spesial? Gu-gue kan nggak cantik, nggak populer, jadi darimana spesialnya?"

Edgar mengembuskan napas pelan, menatap Sandra dengan maniknya yang tajam. "Karena gue sayang sama lo."

Sayang?

Sandra tertegun, apalagi ketika Edgar tiba-tiba menggeser sesuatu di atas meja kecil yang menjadi pembatas di antara mereka, yakni sebuah jepit rambut berwarna putih.

"Nggak usah mempertanyakan lagi."

Sandra mendongak, dengan wajah yang sudah merah padam.

"Gue sayang sama lo."

***

Cold Couple (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang