- PART 8 -

78 3 0
                                    

(Beberapa saat sebelumnya)

Mia melangkah memasuki ruangan kosong yang cukup luas. Ruang tamu tanpa perabotan, dan hanya meninggalkan debu-debu dan sarang laba-laba ditiap sudut-sudut ruangan.

"tempat apa ini" gumam Mia sambil menyorotkan senternya ke penjuru ruangan, mencari sesuatu yang berhubungan dengan Roy.

"Roy...." teriak Mia. Tak ada sahutan, hanya ada suara gema teriakan Mia diseluruh ruangan.

Mia terus berjalan, masuk ke sebuah koridor dengan kamar-kamar disampingnya. Kamar pertama hanya berisi sebuah ranjang kayu yang lapuk dan gelap. Sementara kamar kedua adalah ruang dengan tali-tali yang tergantung diatapnya, dengan sebuah laci berdiri diujung tengah ruangan. Perhatian Mia tertuju pada dua buah objek diatas laci, dua boneka kecil, saling menunduk satu sama lain dengan posisi seolah-olah mereka saling berpelukan satu sama lain. Kedua wajahnya tertutup rambut-rambutnya yang berwarna kelabu mirip sumbu kompor yang kotor dan berdebu.

Mia tersenyum kecil melihat boneka-boneka lucu yang seolah ketakutan darinya.

"apa yang kau takutkan dariku" ucap Mia lirih.

Dia menghampiri boneka-boneka itu, dan memungutnya. Tangannya melepas tangan-tangan kotor boneka yang saling berpagutan dan menyibakkan rambut keduanya. Mengamatinya sesaat dan kemudian boneka-boneka itu terlepas dari tangan Mia. Kedua boneka itu terjatuh diatas lantai, membuat debu-debu dibawahnya beterbangan.

Mia mundur sejenak, bergidik ngeri menyaksikan wajah-wajah boneka dibawahnya. Boneka-boneka bermata biru muda, sementara bekas menghitam dibawah kepalanya menggambarkan gurat tali yang pernah mengekang erat dilehernya. Mulutnya sobek, tapi didalamnya terdapat gigi-gigi kecil yang seperti menempel terjahit didalamnya. Gigi-gigi keras kecoklatan, dan mirip dengan gigi-gigi taring dan geraham yang dimiliki anak-anak.

"boneka apa ini" Mia ketakutan, dia berjalan keluar dari pintu sampai sebuah suara lirih terdengar dari dalam ruangan boneka tadi. Suara halus memanggil namanya.

"Roy" Mia yang berdiri tepat didepan pintu langsung berbalik arah. Matanya berbinar cerah, melihat sosok yang tersorot senter diujung ruangan.

"Roy... kaukah itu?"

Mia mendekati sosok yang berdiri lemas, kedua tangannya mendekap didadanya. Kepalanya menunduk ketakutan, memperlihatkan debu dirambut-rambutnya. Kulitnya pucat, sepucat kulit mati yang terlalu lama berada dalam air. Badannya hanya terbungkus kaos coklat yang terlihat kusam dan berdebu.
"Roy... ayo kita pulang" kini Mia berdiri didepan Roy, mengamatinya dengan iba, "kau kedinginan?" sambungnya sambil sambil melepas jaket dari tubuhnya dan langsung dipasangkannya diatas punggung Roy.

"Roy... ayo kita pulang, semua mengkhawatirkanmu"

Tak ada sahutan, Roy hanya menunduk. Tak ada suara yang terdengar, kecuali suara angin yang berhembus cukup kencang yang menerpa dedaunan diluar rumah.

"Roy..." Mia sedikit menyentak, tangannya memegang dagu Roy dan langsung mendongakkan kepalanya ke atas.

"Astaga... Roy" Mia terkejut, menjatuhkan senternya keatas lantai.

Wajahnya terpaku menyaksikan apa yang ada dihadapannya. Wajah Roy tampak sangat pucat, raut wajahnya ketakutan, membuat guratan kantung dibawah matanya. Bibirnya berwarna putih setengah abu-abu dan sangat kering. Sementara matanyalah yang membuat Mia ketakutan. Kepucatan wajahnya tergambar lengkap dengan mata yang juga hanya berwarna putih, mirip mata orang tua yang menderita katarak, tapi ini bukan katarak, karena tak ada satupun kehidupan terpancar dimatanya.

"Roy....apa yang terjadi?" Mia mulai ketakutan, matanya berkaca-kaca.

"cepat pergi" tiba-tiba terdengar suara lirih dari Roy, suara samar yang muncul dari mulutnya yang terkunci rapat. Mia diam ketakutan.

"apa maksudmu? Kalau aku pergi kamu juga harus pergi denganku" gertak Mia

"pergilah" suara itu terdengar lagi, tapi kini lebih keras, membuat Mia terkejut.

"Roy... maafkan aku, aku hanya..."

"PERGILAH..." suara sentakan keras membuat Mia ketakutan, diambilnya senter yang berada dikakinya. Dan saat itulah Mia baru menyadari sosok didepannya.

"Roy..." Mia menunduk lemas, memegang senter dilantai. Tapi matanya tertuju pada kaki Roy, yang tidak menapak dilantai. Roy melayang.

Mia langsung berdiri dan mundur perlahan, menyaksikan sosok Roy didepannya, tubuhnya masih lemas dengan jaket yang masih tersampir dipunggungnya.

"PERGI..." suara semakin keras

Mia berbalik. Telihat air mata mengalir dipipinya. Dia berhenti sejenak tepat didepan pintu, dan kepalanya reflek menoleh sekali lagi kearah Roy didalam ruangan. Tapi kini bukan Roy yang dilihatnya. Sosok itu tinggi dan berwarna hitam. Matanya merah menyala, dengan darah yang menetes dikelopak matanya. Lidah panjangnya menampakkan gigi-gigi taring menyeringai dimulutnya.

Mia berteriak kencang, menjatuhkan senter didepan pintu. Mia langsung berlari ke ruang tamu dan berteriak meminta pertolongan. Baru menginjakkan kaki di ruang tamu, Mia terdiam, matanya yang awas menangkap sebuah siluet yang berdiri didepan pintu ruang tamu. Siluet gelap dengan mata merah menyala, lengkap dengan geramannya yang menakutkan. Mia kembali berteriak dan berbalik arah. Dia terus berlari menuju ruangan dengan segudang barang rongsokan didalamnya. Pintu diujungnya terbuka, memperlihatkan halaman rumput temaram dengan cahaya senter kecil yang tergeletak diatas tanah. Sementara Mia samar-samar menyadari diriku yang berdiri diluar sedang menutup telinga didepan pepohonan, tak jauh dari cahaya senter.

Mia berteriak memanggil-manggil namaku, sementara dia berlari sesekali menengok ke belakang, berharap sosok hitam itu tak mengejarnya. Walaupun dia melihat tak ada apapun dibelakangnya kecuali ruangan-ruangan yang gelap tanpa cahaya. Dia terus berlari mendekati pintu, tak menyadari sesuatu yang berada disekitar ruangan.

Pelariannya terhenti ketika sebuah paku payung yang cukup besar menembus sepatu tipisnya yang membuatnya melompat kesakitan. Tapi belum sempat menyadari apa yang diinjaknya, kaki lainnya menjejak diatas luberan oli dan membuat badannya oleng kebelakang.

Tubuhnya jatuh tepat diatas luberan oli dan paku-paku payung yang berserakan dibawahnya. Belasan paku berhasil menembus tangan, kaki dan punggungnya. Beberapa diantaranya bahkan berhasil menancap dileher dan tengkorak kepalanya. Sementara beberapa lagi paku yang sedikit berkarat yang tak berhasil menembus terlihat bengkok tertindih dibawah kulit-kulitnya yang kehitaman karena oli yang bercampur dengan darah.

Mia mengerang, tak kuat menahan rasa nyeri hebat disekujur tubuhnya. Kepalanya hanya bisa memandang keatas langit-langit yang gelap. Kedua tangannya mencoba memegang kepalanya, tapi yang dia rasakan justru rasa nyeri yang semakin bertambah menjalar disekujur lengan dan perutnya. Pandangan matanya mulai kabur, tak ada yang bisa dilakukan. Mulut dan hidungnya mulai mengeluarkan darah, disertai dengan erangan lirih yang semakin lama semakin tak terdengar. Sementara sepasang mata berwarna biru hanya melihatnya kesakitan dari atas tumpukan koran bekas yang tak jauh darinya. Mulutnya yang merah menampakkan senyuman, seakan puas dengan kejadian malam ini.

***

Rumah GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang