Satu
SMA Nusantara pagi ini terlihat gaduh oleh siswi-siswi. Tatkala empat orang cowok berkharismatik, tampan, dan cukup populer melintasi setiap koridor demi koridor ruang kelas. Mereka adalah Althan, Galih, Hikam, dan Vino.
Siswi perempuan ada berbisik-bisik atas kekaguman mereka. Mata para siswi pun berbinar sempurna bak mengharapkan untuk bisa menjangkau sosok keempat pemuda itu. Beberapa pasang mata tak lepas berdecak takjub. Bahkan, ada juga yang menatap tidak suka atau pun iri atas kepopuleran mereka.
"Oh my god ... gue pengen banget bisa jadi pacar di antara salah satu dari mereka!" ucap salah satu siswi berambut ikal, yang tetap fokus pada penglihatan satu objek dari keempat cowok populer tersebut.
"Gue suka Althan ... dia ganteng banget," timpal satu siswi lagi.
"Andai Galih juga jadi pacar gue, hati gue senang banget."
"Yang ganteng itu Hikam kelles!"
"No... no ... no ...Vino yang lebih ganteng!"
"Eh, lihat senyumnya Althan ... manis banget!"
Itulah beberapa komentar para siswi-siswi SMA Nusantara yang melontarkan atas kekagumannya. Dari keempat pemuda itu, ada satu orang yang menanggapi dengan senyum ramah. Lalu ketiganya hanya menatap jengah.
"Hari pertama masuk sekolah masih aja tuh, cewek-cewek genit dan lebay," sungut salah satu dari mereka, Galih namanya. Cowok tinggi dengan rambut tertatan rapi.
"Seharusnya begitu. Mereka, 'kan fans fanatik kita." Hikam menimpali dengan bangga.
"Syukuri aja mereka suka sama kita," kata Vino lebih dulu mengambil bangku paling pojok dekat jendela.
Sementara ketiga temannya yang melihatnya malas. Sekarang mereka sudah berada di dalam kelas, setelah libur kenaikan kelas selama dua minggu, kali pertama masuk adalah pembagian kelas oleh guru pembimbing. Althan cs akhirnya satu kelas juga, kelas 11 IPS2.
"Ada yang mau sebangku sama gue, guys?" tanya Hikam.
"Ogah ... gue mending satu bangku sama Vino atau Althan!" seru Galih dengan mengecak pinggang rampingnya.
"Siapa juga yang mau sebangku sama lo! Lo, 'kan jorok orangnya," oceh Hikam tidak mau kalah berargumen dengan Galih.
"Lo bego."
"Biar gue bego, tapi gue rajin bangun pagi ... enggak kayak lo. Pemalas." Hikam menjawab dengan ketus.
"Udah, ribut aja kalian ini. Biar gue aja duduk sama Hikam," ujar Althan menengahi pertengkaran lima detik antara kedua teman absudnya. Hikam berbahagia ria. Bagaimana tidak ia bahagia, jusru ia akan mendapat keuntungan besar jika sebangku sama Althan. Keuntungan apa? Keuntungan buat menyontek. Secara, Althan adalah anak yang pintar dari semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler. Bahkan, Althan juga sering mendapat predikat juara umum dengan nilai tertinggi pula.
"Gue tahu apa isi otak lo! Duduk sama Althan pasti mau nyontek, 'kan?" Galih berujar, kala melihat Hikam menunjukan senyum ala khasnya.
"Sok tahu lo, dasar kadal!" cibir Hikam menatap Galih sengit, sambil menghempaskan bokongnya di bangku kayu.
"Udah, Hikam ribut mulu. Entar kalian jodoh, loh." Vino menimpali dari bangku belakang.
"Mau muntah gue dengarnya ... gue bukan homo!" seru Hikam mendelik sebal ke arah Vino.
Vino dan Althan terkikik geli, sedangkan Galih mendengus kesal.
"Apalagi gue, jijik banget. Kalo Gue homo... gue enggak bakal milih, lo," jawab Galih asal sambil melangkah menuju bangkunya di samping Vino.
°°°°
Althan memasuki rumahnya lewat pintu samping. Senyumnya terus terukir di bibir tipisnya. Lalu dengan perlahan ia menapakan kakinya untuk naik ke tangga menuju lantai atas. Di mana letak kamar pribadi cowok berambut lurus dengan poni yang menjuntai hingga menyentuh keningnya berada.
Senyum tipis di bibirnya sejak tadi terpatri, sekarang memudar, ketika ia melihat seorang cowok berpostur tubuh tinggi menuruni anak tangga. Cowok itu menatap sinis padanya. Sejenak Althan menundukkan kepala.
Althan memaklumi akan arti tatapan cowok itu untuknya. Namun, Althan mencoba bersikap biasa saja seakan tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi. Cowok itu mendekatkan kepalanya ke telinga Althan dan berkata ....
"Pembawa sial."
Satu kalimat menohok dari mulut cowok itu didengarnya berhasil membuat hati Althan sakit. Bertahun-tahun Althan satu rumah dengan cowok beda usia satu tahun dengannya itu, tidak pernah Althan mendengar kalimat manis meskipun hanya seuntai kata. Namun begitu, Althan sudah terbiasa.
"Kak Zian."
"JANGAN PANGGIL GUE KAKAK! GUE BUKAN KAKAK LO, ANAK SIAL!" bentak cowok itu sambil mendorong tubuh Althan hingga menyentuh dinding.
Althan meringis kesakitan. Merasa tidak bersalah sedikit pun Zian malah melanjutkan langkahnya kembali menuju ke lantai bawah. Sebelum beranjak, sebentar Althan menatap nanar punggung Zian. Liquid bening menetes tidak dihiraukannya lagi, karena perlakuan yang dibuat Zian cukup kenyang, dan rasa sakit itu akan terus tertanam dalam hidupnya. Sampai akhirnya Althan sudah tidak sanggup untuk menahannya lagi.
Kata pembawa sial masih terdengar jelas di otaknya. Althan lantas bersimpuh di lantai kamar, tidak peduli dengan rasa dinginnya lantai menyentuh bokongnya, seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya. Sakit itulah yang Althan rasakan saat ini, kala sosok Zian masih menatapnya sinis dan masih menyimpan rasa benci padanya.
"Ayah, Althan rindu. Sakit rasanya, Yah ... sakit."
Althan menangis dalam diam, menahan rasa luka yang bersarang di hatinya begitu perih. Hening sesaat itulah yang terjadi di dalam kamarnya yang gelap. Hanya cela sinar rembulan yang menembus dari ventilasi jendela. Rasa lelah mendominasi cowok itu, tersungkur di lantai keramik yang dingin siap menyentuh kulit putihnya sembari memejamkan mata.
Mungkin tidur dapat meredakan rasa sakitnya, walau hanya sekejap. Dan entah sampai kapan?
Mungkinkah selamanya ....
°°°°
22.08.17
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTHAN ✅ (Sudah Terbit)
Teen FictionCover by @ramviari ^^ Kisah sederhana seorang pemuda remaja bernama Althan Wardhana Putra. Althan adalah .... Tampan .... Pintar .... Baik .... Althan sosok yang sangat sempurna. Namun, ia buta akan sebuah kehidupan yang membuatnya harus memilih. Ba...