Empat

3.5K 324 17
                                    


Empat

Althan berdiri mematung, kala memandangi punggung seorang pria paruh baya mengenakan pakaian khas rumah sakit. Pria itu duduk di kursi roda. Namun pandangan matanya mengarah ke jendela kamar inap. Tatapanya kosong, tubuhnya yang ringkih seakan tidak bergerak sama sekali, meski raganya masih hidup. Rambut pria itu juga terlihat sedikit memutih dan berantakan, apalagi mulutnya yang semakin kering tampak pucat. Sungguh keadaan pria itu begitu memprihatinkan.

Pandangan mengharukan itulah yang Althan lihat saat ini. Matanya memerah menahan air mata agar tak jatuh. Althan harus tegar, serta kuat untuk bisa menjadi penyanggah dalam setiap kepahitan atas rasa luka yang terjadi pada orang-orang terdekatnya. Walaupun dirinya harus merasakan sakit paling dalam, Althan selalu rela.

Seorang pria tiga puluh lima tahun dengan memakai pakaian dokter menepuk pundak Althan. tatapannya juga ikut menyapu ke arah pria yang duduk di kursi roda itu. Walaupun pria itu sudah menunjukan usia kepala tiga, tapi pria itu tampak masih muda. Dokter Haykal, nama pria itu yang berdiri di samping Althan.

"Sudah satu setengah tahun ayah seperti itu, aku semakin enggak tega ayah merasakan sakit. Dan ...." Althan menghela napasnya dalam-dalam, ia seakan tak sanggup lagi untuk melanjutkan kata-katanya. Althan merasakan lidahnya begitu keluh dan terasa beku, seolah-olah mengalami mati rasa. Cowok itu sejenak memejamkan matanya agar dapat mendramasir setiap kata demi kata untu ia utarakan.

"Sejak ayah dinyatakan jiwanya terguncang, saat itulah aku mulai merasa semua ini terlalu berat, Dok. Aku enggak tahu lagi harus bagaimana untuk bisa membuat ayah seperti dulu lagi," ucap Althan begitu lirih.

"Kamu perlu bersabar, semua ini sudah digariskan yang maha kuasa. Dibalik semua cobaan ini, ada rencana Tuhan paling indah nantinya. Kamu cukup untuk selalu ikhlas dalam menjalaninya, tetap berikhtiar dan berdoa. Percayalah, satu yang harus kamu lakukan ... tetaplah menjadi Althan yang tangguh dan kuat. Demi ayah kamu," jelas Dokter Haykal.

Althan menoleh ke samping Dokter Haykal, dengan senyum tapi samar. Apa yang dikatakan oleh dokter itu benar, ia harus mampu bertahan, tidak boleh terlalu terpuruk. Meski sejujurnya, Althan masih terluka. Althan sadar hanya dia satu-satunya orang yang bisa memahami setiap kondisi serta situasi yang dialami oleh keluarganya.

Ayahnya dan Zian adalah kunci semangat bagi Althan untuk bisa tetap berdiri dalam menghadapi semua rasa kepahitan hidup. Walaupun ia tidak tahu sampai berapa lama lagi harus melewati semua ini.

Althan akan tetap teguh, menetapkan hatinya untuk menerima dengan lapang dada.

"Dokter benar. Tapi cuma satu yang masih mengganjal dipikiranku, Dok."

"Apa itu?"

"Kak Zian."

°°°°

"Tante Flora jadi jual rumah yang di Bogor itu?"

Althan menghampiri kamar wanita setengah baya sembari menyandarkan tubuhnya ke daun pintu kamar bercat putih polos.

Wanita setengah baya yang sudah menginjak usia tiga puluh lima menoleh sejenak ke arah keponakannya. Ia mengembangkan senyum, tapi tangannya terus bergerak melipat pakaian di atas tempat tidur.

"Ya Althan. Ini Tante lakukan buat ngelunasi utang-utang ayah kamu pada rentenir itu."

Althan mendesah, kemudian melangkahkan kakinya mendekati Flora. Tubuhnya mendarat di atas kasur, berhadapan tepat di depan wanita itu. Althan mengambil dua amplop cokelat di dalam tas sekolahnya. Senyum tipis tercetak di bibirnya, tanpa ragu ia langsung menyodorkan dua amplop cokelat tersebut pada Flora.

ALTHAN ✅ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang