🌸Dua🌸

272 11 3
                                    

‘Tidak sabar menunggu hari bersejarah kita’

Tulisan itu dicoret lagi dengan rasa senang dihatinya.

Sudah beberapa lama ini Ezaf bahkan tidak menghubungi Adya. Untuk sekedar menanyakan kabarpun tidak. Namun Adya tidak mempermasalahkan ini.

Adya pikir itu karena Ehzaf sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Memang, Ehzaf memang selalu sibuk dan Adya tidak pernah mempermasalahkan itu, dia memaklumi kesibukan Ezaf.

Adya tersenyum memikirkan persiapan mereka yang sudah mencapai taraf sempurna. Sejak hari ia menerima lamaran itu, semuanya bagaikan berjalan dnegan lancar baginya. Malah, keluarganya juga bagaikan tak sabar agar acara diadakan secepat mungkin.

Sedang melamun memikirkan itu, ponsel nya berbunyi. Nama Ezaf jelas tertera di layarnya. Adya tersenyum lebih lebar lagi sebelum menjawab panggilan itu.

“Hai, Ezaf.” Sapa Adya seperti biasa.

“Hai Yaya. Sedang apa itu hm?” Agak terdengar girang suara Ezaf di ujung sana.

“Sedang nunggu telpon kamu.” Balas Adya sebelum tertawa kecil.

“Kamu itu ya kalau aku nggak nelpon, seharusnya kamu yang nelpon. Kalau nggak ya akan sepi sunyi sampai kapanpun.” Kata Ezaf.

“Hehe, Sorry. Kamu kan sibuk. Aku juga kan nggak tahu kapan waktu break kamu. Makanya lebih baik kamu yang telpon aku yang selalu free ini.”

“Sok lagi, sok lagi. Bilang aja kamu mau dapat uang belanja.” Gurau Ezaf.

“Boleh juga itu, ide bagus.” Balas Adya yang tergelak sendiri, Ezaf juga kini tergelak seperti Adya.

“Kamu nggak lagi kerja kan sekarang.?” Tanya Ezaf.

“Nggak sekarang lagi Freetime. Cuman nanti mau ke butik, ambil baju. Waktu itu Bunda yang nemenin aku ukur baju. Sudah aku bilang ke Bunda biar suruh kamu tapi Bunda bilang kamu sibuk jadi nggak bisa ikut.” Balas Adya, sengaja bercerita panjang lebar dengan bibir di cebikkan.

“Ahh, ukur baju. Eh baju apa? Emang udah mau lebaran.”

Adya tertawa kecil.

“Baju lebaran apanya? Baju pernikahan kitalah! Baju kamu juga udah siap diukur, cuman kamunya masih sibuk.”

“Eh, cepatnya disiapkan. Rombongan aku juga baru mau datang akhir bulan ini.” Jawab Ezaf, tenang. Tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Mendengar jawaban itu, Adya terdiam, membisu, seketika.

“Keluarga kamu datanggnya akhir bulan?” tanya Adya.

“hmm. Paling cepat itu, soalnya harus nunggu Mama dan Papa pulang dinas dari luar negeri. Kenapa sayang?”

Senyuman Adya tiba-tiba pudar, luntur, dan mati. Lidahnya kelu seketika.

“jadi, bukan kamu yang datang melamar?” tanya nya pelan, berhati-hati.

“Bukan sayangkuu, bukan”

“Beneran?”

“Astaga demi Allah memang bukan aku sayang. Aku juga belum sempat bicara sama Mama dan Papa soal lamar melamar.” Balas Ezaf jujur.

Adya terus terdiam, agak lama. Memikirkan sesuatu yang kini mulai bersarang di otaknya.

“Yaya?” panggil Ezaf.

“Zaf, maaf ya nanti aku telpon lagi. Eh! Nantinya nanti ya, jangan ditunggu. Bye sayang.” Adya mematikan sambungan telponnya sepihak sebelum Ezaf bertanya lebih banyak.

Ia berlari menuju kamar Bundanya, Bunda Salwa. Kosong, tidak ada orang disana. Dibongkarnya laci dan lemari yang ada, ia ingat Bundanya berkata menyimpan undangan pernikahan di kamar ini. Sampai ia temukan dalam sebuah laci.

Undangan itu ia ambil salah satu, ia buka sampulnya perlahan. Mata tajamnya memperhatikan dengan seksama apa yang tertulis diatas kertas itu, sebelum matanya berhasi menangkap nama yang tertera disana.

Matanya membulat begitu membaca nama itu. Bukan nama Ezaf melainkan Imer Faqih.

‘siapa juga Imer Faqih ini!’

Adya berlari menuruni tangga menuju kamarnya bersama undangan di tangannya, lalu mencari ponselnya untuk menghubungi sang Bunda.

Dia melihat layar ponsel, ada pesan dari Bunda, sejam yang lalu.

‘sayang, Bunda mau ambil baju pengantin Adya dulu, menunggu kamu itu terlalu lama, menghabiskan waktu. Bunda juga ada pekerjaan lain setelah ini jadi, see you at home sweety’

Adya mencoba mencari kontak Bundanya lalu dicoba untuk dihubungi namun gagal. Bunda Salwa sudah menonaktifkan ponselnya. Dicobanya sekali lagi, namun tetap sama.

Ia roboh, terduduk di pinggir Rajang. Sambil matanya kembali membaca nama yang tertera dalam undangan itu. Hanya untuk memastikan dia tidak sedang bermimpi kali ini.

‘Imer Faqih dan Adya Merlina’

Itu jelas sekali, tidak ada kekeliruan.
Bahkan siapa itu Imer Faqih pun Adya tidak tahu.

Siapa imer Faqih? Siapa orang asing ini?

Saat Bunda pulang, Adya segera menghampirinya.

“Sayang, ini desain yang kamu maksud, sekarang sudah pas sama badan kamu. Cantik kan?” Bunda memperlihatkan baju cantik itu di hadapan Adya dengan senang.

“Bunda, Imer siapa?” tanya Adya yang dari tadi hanya memandang baju itu sekilas.

Bunda terkejut dengan pertanyaan Adya ini, keningnya mengkerut,

“Imer kan calon suami Adya”

“Kenapa bukan Ezaf?” Mata Adya sudah mulai berkaca-kaca.

“Eh? Mana Bunda tahu. Adya yang setuju sama lamaran ini jadi Bunda juga setuju. Ini kan Adya yang setujuin, bukan Bunda.” Balas Bunda Salwa.

Hati Adya mencelos, kartu undangan itu terlepas begitu saja.

“Kenapa Bunda tidak bilang siapa dia? Adya pikir itu Ezaf, Bunda. Anak siapa laki-laki ini Adya juga tidak tau!” ia bertanya dengan getir.

“Sayang, mana Bunda tahu. Habisnya saat Bunda tanya, Adya langsung setujui. Adya juga tidak bertanya siapa itu siapa ini. Adya langsung setuju dan suruh Bunda yang urus.” Bunda membela diri, tidak mau mengalah.

“Bunda juga tidak pernah tanya Adya kenapa Adya begitu! Kenapa Bunda tidak tanya? Bunda tidak sedih dan sakit melihat Adya harus menikah dengan orang yang bahkan tidak Adya kenal?!”

“Bunda pikir Adya kenal. Karena dulu dia teman satu sekolah kamu waktu SMA.”

Kini, Adya telah meneteskan air matanya. Dia bahkan tidak kenal siapa orang ini!

“Adya tidak mau Bunda! Adya tidak mau menikah dengan dia! Adya bahkan tidak kenal dia!” Lantang, Adya membuka suaranya sebelum kembali kekamarnya dan mengunci pintu.

“Adya! Adya!” Bunda memanggil, lantas mengampiri kamar Adya.

Pintu itu dikunci, meskipun Bunda memutar kenop bekali-kali tetap saja itu dikunci.

Masih dapat ia dengar tangisan Adya dibalik pintu itu.

“Adya jangan begini sayang...” bujuk Bunda.

Berkali-kali ia membjujuk, namun gagal. Hingga Bunda pun lelah dan menghela nafas, memandang baju pengantin di tangannya.

Dia pergi meninggalkan tempatnya tadi. Sudah hafal anaknya sendiri, tahu jika Adya sudah begitu memang sangat sulit dibujuk apalagi di tenangkan. Bukan sembarangan orang bisa mengubah atau mendekati Adya kalau sudah begini.

Bunda menggelengkan kepala, anaknya itu sangat keras kepala entah bagaimana nanti menantunya bisa menghadapinya.

Satu Bulan Untuk Suamiku ; Terjemahan IndonesiaWhere stories live. Discover now