00:00

2.9K 245 4
                                    

Kutapaki anak tangga dengan sedikit berlari, sesekali mengalihkan pandangan pada pergelangan tanganku. Sungguh menyebalkan, meeting sebentar lagi dimulai, tapi harus memutar-mutar tangga untuk membunuhnya. Awas saja kalau sampai berita itu benar adanya.

Sejenak aku menunduk, memegang kedua lutut untuk menetralkan napas yang terengah-engah. Kuusap dahi dengan punggung tangan, menghilangkan bulir-bulir keringat yang merembes secara tak sopan.

"Oh, God ... Light Wonder Foundation-ku!"

Kaki kembali kupaksa bergerak menaiki dua anak tangga yang tersisa. Kutarik handle pintu darurat, lalu melangkah cepat menuju ruangannya. Semilir udara yang berhembus melalui celah-celah kecil di plafon, seketika menyejukkanku seperti angin surga.

Jangan pikir aku buta dengan puluhan pasang mata yang saat ini sedang menatapku penuh tanya. Memang ini bukan kali pertamaku menginjak lantai gedungnya yang berjarak 100 meter dari ruanganku, tapi aku selalu menjadi pusat perhatian setiap kali melewati mereka. Dan aku sungguh benci dengan mata yang begitu lancang mengabaikan peraturan di perusahaan ini.

"Deteksi sensor mata ruangan ini dan beri mereka pelajaran setimpal," perintahku sambil berlalu pada salah seorang pengawal pribadi Aron yang berdiri di ambang lorong ruangan kerja pria itu.

Lima orang telah merasakan kursi pesakitan dan berakhir dengan tragis. Bukan salahku mereka harus menikmati sengatan ribuan volt aliran listrik dan menjadi kelinci percobaan proyek kami. Aku tak segan-segan menjentikkan nyawanya jika aturan mereka langgar.

Kuangkat tangan kanan menempatkannya di depan layar sensor. Seketika panel lock memberiku akses masuk setelah menampilkan nomor identitasku. Pintu besi bergeser pada masing-masing sayap, lantas aku bergegas melangkahkan kaki menuju singgasananya. Namun, saraf-saraf otakku menginstruksikan gerakan melambat ketika melihat kedua pasang mata yang menghuni ruangan itu menatapku. Terlebih seorang wanita berambut pirang dengan sanggul rapi menyerongkan setengah badannya dengan seulas senyum untuk melihat ke belakang, padaku lebih tepatnya.

"Emily." Aron memecah keheningan dengan nada terkontrol, tapi sarat akan ketidaksukaan. Aku tahu penyebabnya.

"Well. Maaf mengganggu diskusi kalian." Aku masih berdiri di tengah-tengah ruangan ini dengan pertahanan yang telah kususun dengan baik. "Hanya mengingatkan Tuan Aron untuk menempati kursinya di ruang rapat ...," kulihat sekilas arlojiku, "satu menit lagi."

"Setidaknya kau masih ingat berapa nomor ponselku, Bee."

Oh, menyebutku di depan wanita itu, huh?

"Absolutely, tapi tidak ada salahnya seorang tunangan mengingatkan dengan cara yang berbeda."

Penekanan pada sebuah kata di pertengahan kalimat kulakukan untuk menunjukkan siapa diriku saat ini di hadapannya. Dan mengingatkan pria di balik meja raksasa itu yang sedang menyatukan kedua telapak tangannya dengan bertopang dagu.

"Kebahagiaan yang luar biasa dapat bekerja sama dengan Tuan Aron dan Nona Emily. Sangatlah bodoh bagiku jika harus menghancurkan hubungan ini dengan masalah pribadi yang selama ini Anda sangka." Wanita itu berdiri, sedikit membenahi bagian bawah dress­ ketatnya yang tersingkap dengan sebelah tangan. Sesaat dia memandang pria di belakangnya. "Saya tunggu kabar selanjutnya, dengan senang hati bila Nona Emily ikut dalam perbincangan kita nanti."

Kita? Sialan.

"Selamat siang," ucapnya kepada Aron, kemudian memandangku sambil berjalan pelan melewatiku.

Denting pintu tertutup mengudara, kembali dagu kuangkat memandangnya lamat-lamat.

"Kau sudah gila?"

H I MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang