02:00

911 115 7
                                    

Semestinya udara pagi pada Musim Semi di Belarus sangat menyejukkan dan menentramkan. Berdiri menyibak kelambu jendela kamar dan menggeser pintu kaca ke samping untuk menikmatinya lebih jauh. Dengan mengangkat kedua tangan memeluk tubuh sembari mengusap lengan dengan pelan agar tercipta sedikit kehangatan ketika menanti terbitnya cahaya di ufuk timur.

Akan tetapi, hal itu tidak berlaku untuk saat ini. Sedari tadi, bola mataku bergerak ke kanan dan ke kiri menelisik lebih jauh lingkungan tempatku berada. Mencoba mengenali tempat ini, tapi selalu gagal kucerna. Mencoba memahami kenapa aku bisa merasakan berdirinya bulu romaku saat hawa dingin pagi melewatiku. Dan mencoba mengingat ajaran guruku tentang deskripsi surga.

Konyol.

Mana mungkin surga memiliki ranjang reyot dari kayu tua seperti ini. Mana mungkin juga surga mengandalkan lilin untuk memberikan cahaya, bahkan tampak temaram seperti di dalam gua. Aku pun tak yakin jika Tuhan memasangkan kelambu lusuh pada jendela di surganya.

Dalam keyakinanku, jelas surga lebih indah dan lebih canggih ketimbang di dunia. Minimal ruangan kamar ini didekorasi bak kamar ratu di kastil kerajaan era Victoria. Dan terdapat sekumpulan peri yang akan mengantarku untuk berendam air hangat ataupun membantuku mematut diri secantik bidadari.

Seperti dihantam gelombang Tsunami, otakku mendadak kacau dalam beberapa detik setelah mata terbuka dari tidur yang entah sudah berapa lama aku menikmatinya. Ya, menikmatiknya secara tak sadar hingga terbangun di tempat antah berantah. Duduk di atas ranjang king size dengan empat pilar yang berdiri tegak pada setiap sudutnya. Menatap bingung ruangan yang tampak kontras dengan antiknya ranjang yang kutempati. Potongan rapi kayu-kayu yang mengkilap seperti dipernis, menjadi dinding seluruh ruangan ini . Hanya sebuah meja dan kursi yang diletakkan di seberang ranjang, mengisi kamar yang luasnya hanya separuh dari kamarku.

Sejurus kemudian aku bangkit. Berjalan cepat tanpa alas kaki menginjak lantai kayu yang terasa membekukanku untuk membuka kelambu putih lusuh yang kuyakini tengah menutupi jendela kaca di ruangan ini. Seketika aku tercekat menyaksikan pemandangan di luar yang begitu memukau sekaligus mengejutkanku. Melemahkan gerakan tanganku dalam sekejap saat hendak menggeser pintu kaca itu ke samping.

Deretan pegunungan hijau berada jauh di seberang, tampak mempesona dengan kabut putih yang menyelimutinya. Jajaran hutan pinus pun turut memenuhi bagian bawahnya, mengisi tiap ruang hingga tak ada celah kosong yang menciptakan cela dari mahakarya sang Pencipta. Danau besar berwarna biru jernih yang terbentang luas di bawahnya, makin membungkamku dan menimbulkan tanda tanya besar di mana aku sekarang.

Apa aku masih stuck di kayangan?

Atau aku belum mati?

Apa yang terjadi?

"Sudah bangun?"

Sontak aku menoleh, memandang pemilik suara berat seorang pria dengan tatapan terkejut sekaligus was-was.

Dia bergerak, melangkah memasuki kamar secara perlahan selaras derap boots-nya yang mantap. Kedua tangannya membawa nampan berisikan segelas susu dan sepiring kecil roti panggang. Benda persegi panjang itu ia bawa ke sebuah meja kecil di samping satu-satunya ranjang di ruangan ini.

Kini aku yakin sepenuhnya kalau aku belum mati.

"Siapa kau?"

Gerakannya terhenti sesaat, tapi kembali ia meletakkan nampan tanpa menggubrisku. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu berjalan memunggungiku ke arah pintu. Aku pun dibuat meradang oleh sikapnya yang tak mengacuhkanku dan mengingat pakaian yang kupakai bukanlah kemeja yang terakhir kugunakan.

"Aku tahu kau tidak tuli, Tuan!"

Lengkinganku berhasil menghambat langkahnya. Namun, punggung lebar berbalut kemeja flanel hitam bermotif kotak itu tetap memenuhi pandanganku. Tak bergerak sedikit pun untuk menampakkan wajahnya kepadaku.

"Beraninya kau mengganti pakaianku, brengsek!"

Dia pada akhirnya memutar tubuh. Menatapku tanpa ekspresi; dingin dan tak bisa kutebak.

Jantungku mengalun keras, lebih cepat dari derap langkahnya yang lambat ke arahku bak pembunuh. Kedua kakiku pun mundur selangkah demi selangkah, selaras pergerakannya. Kedua tangan meraba ke sisi tubuhku, mencari benda apa saja yang bisa kupakai sebagai pertahanan diri.

Mataku menangkap gerakan tangannya saat mengambil sesuatu dari pocket kecil yang menggantung di ikat pinggangnya. Sebilah pisau dia genggam dan dia bawa di sisi kanan tubuh, mampu menyesakkanku dalam sekejap. Memburu layaknya telah berlari berpuluh-puluh kilometer.

Sial.

Dinding kayu di belakangku seperti penghalang sempurna yang menghadangku berlari dan memintaku secara paksa untuk tetap beradu nyali dengannya.

Napas tak lagi bisa kukontrol. Terengah-engah di antara kegilaan tanpa kutahu apa yang sedang terjadi.

Degup jantungku pun serasa ingin menyerah terhadap ketakutan yang benar-benar menghujamku.

Sontak mata kupejam erat-erat ketika pisau tersebut ia arahkan kepadaku. Pasrah jika aku harus mati. Pasrah jika malaikat benar-benar menyabut nyawaku saat ini.

DUK!

Tubuhku menggigil seketika. Bergetar merasakan hantaman kuat di samping telinga kiriku. Lebih-lebih susulan desiran gelombang suaranya.

"Perhatikan mulutmu atau kucabik-cabik hingga tahu rasanya tersiksa."

****

H I MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang