03:00

1.2K 120 26
                                    

Kusibak selimut dan duduk di tepian ranjang. Diam menatap guratan lantai kayu yang mencerminkan berapa lama rumah ini di bangun. Sebenarnya aku tak tahu pasti deretan angka itu. Aku pun tak peduli seberapa reot rumah ini. Yang ada di pikiranku hanyalah cara untuk bisa kembali ke dunia asalku.

Tak terhitung sudah berapa lama aku mondar-mandir di ruangan ini tanpa arti, kembali duduk dan tidur di atas ranjang, lalu duduk lagi menatap lantai kamar. Sedikit pun tak kusentuh makanan yang dia kirim tadi pagi, begitu juga makan siang yang berupa baguette, dua buah sosis, dan segelas air jeruk. Aku yakin dia menyelipkan racun di antara makanan-makanan yang dia berikan sehingga nantinya bisa leluasa mengontrol pikiranku untuk mengatakan semua hal tentang keluargaku. Memeras adalah tujuannya. Aku tahu semua trik itu.

Helaan napas kasar kubuang melalui bibir. Aku bangkit dan bertolak pinggang menghadap jendela. Kusibak kain putih lusuh itu untuk melihat suasana di luar rumah. Gelap gulita, hanya cahaya dari bulan yang menerangi balkon kamar. Area di bawah hutan pun tak dapat kutangkap dengan jelas.

Sesaat aku melihat ke belakang, memandang lilin kecil yang apinya bergoyang-goyang karena hembusan angin. "Gak mungkin. Bisa-bisa mati dulu sebelum keluar hutan," kembali kupandangi gelapnya hutan pinus di seberang, "ck, gimana ini?"

Duk.

Duk.

Duk.

Sontak aku melompat ke atas ranjang dan menarik selimutku kembali. Kupejam mata erat-erat dengan membelakangi pintu kamar. Tanpa kusadari, aku telah meneguk ludah setelah mengatur napasku.

Kini deritan pintu dibuka terasa sangat jelas. Begitu pula derap boots-nya yang makin mendekatiku. Aku mencoba setenang mungkin seperti tertidur pulas.

"Rupanya kau ingin mati, silakan."

Aku tersentak dalam diamku. Bola mataku sangat gatal ingin melompat keluar melihat apa yang sedang dilakukannya sekarang. Namun, kupilih kata sabar hingga dia hengkang dari ruangan ini.

Segera aku menoleh ke belakang saat pintu kembali ia tutup. Melihat jejak-jejak pria itu beberapa detik yang lalu. Rupanya, nampan berisi makanan dan minuman itu telah ia angkut.

"Aku mati juga bukan urusanmu." Benar-benar pria brengsek. Beraninya dia mengataiku. Awas saja kalau aku sampai di rumah, aku yang akan lebih dahulu mencincangmu.

Selimut segera kusingkirkan dari atas tubuh, lalu berjalan memutari ranjang mengambil sebuah lilin yang menerangi kamar ini. Dengan gerakan lambat kuperiksa handle pintu agar tak menimbukan suara berisik. Aku nyaris melompat kegirangan saat tahu pintu tidak ia kunci.

"Jangan senang dulu, Em," batinku menjerit mengembalikan kesadaranku.

Dari kecil aku telah dilatih untuk tidak mudah percaya, sigap dalam hal apa pun, dan selalu memasang strategi ketika berada di mana pun. Banyaknya orang licik yang melingkupi keluargaku selepas meninggalnya papa dan mama dalam tragedi kecelakaan pesawat—yang kata kakek merupakan konspirasi dari orang dekat dan musuh bisnis—membuat kakek mendidikku selalu memasang sikap waspada. Kasih sayang dan diktator ia limpahkan secara bersamaan sejak usiaku 7 tahun. Aku tak pernah menyesali itu.

Kembali kutumpukan perhatianku pada lorong terbuka yang menunjukkan keberadaanku ternyata berada di lantai dua. Lantai atas yang hanya menutupi sebagian lantai bawah karena dari tempatku berdiri dapat kulihat dengan jelas penampakan ruang keluarga yang berisikan sofa dan tungku perapian menyambung dengan dapur tanpa sebuah sekat. Sepanjang lorong ini hanya terdapat deretan kamar yang ditampilkan melalui tiga pintu yang saling berjajar, termasuk kamarku yang berada di tengah. Aku yakin jika dia mengisi salah satu dari dua kamar yang tersisa.

Sesaat aku melongok ke bawah melalui tepian pagar pembatas, mengamati suasana lantai bawah untuk memastikan keberadaan manusia. Aku tak tahu berapa orang yang menghuni rumah ini. Kuharap hanya ada aku dan dia.

Sangat pelan kulanjutkan langkahku. Jalan setengah berjinjit mirip seperti pencuri. Batinku benar-benar merutuki kesialan yang kualami sekarang. Emily yang tak takut dengan siapa pun, tak gentar melibas siapa saja yang berani menghadangku, dan cukup menjentikkan jari untuk membunuh orang, kini harus mengendap-endap seperti tikus untuk bisa menghirup udara hutan.

Derit kayu anak tangga yang kupijak seketika menghentikan langkahku. Kubuang napas pelan melalui bibir dan mencoba untuk tetap diam hingga kurasa semua kembali terkontrol. Saat keadaan kupikir aman, aku lanjut melangkah menuruni anak tangga. Kedua mataku berkelana mengawasi sekeliling yang temaram. Sesekali menatap pijakan yang akan kuturuni.

Sedikit aku bernapas lega ketika berhasil mencapai lantai bawah. Tanpa alas kaki, aku berjalan sedikit cepat menuju pintu belakang yang lebih dekat dari posisiku. Sesaat kulihat lilin yang kubawa, tingginya makin berkurang dan kini tersisa sepanjang telunjukku. Aku tak peduli jika harus menerjang gelapnya hutan. Aku yakin ada jalan keluar dekat sini.

Kuraih gagang besi yang menjadi handle pintu dapur. Sial! Tidak bisa dibuka.

"Kau menuju pintu yang salah, Nona."

Aku memekik dan nyaris menggulingkan lilin dalam alat yang kugenggam. Segera aku menoleh mencari asal suara itu. Mataku melebar melihatnya tengah duduk santai di belakang pantry dengan segelas berisi cairan pada genggamannya.

Sepertinya tadi dia tidak ada di situ ....

Kini dia mengangkat wajah untuk menatapku. "Itu kandang harimau. Aku tak pernah mengikatnya." Tunjuknya dengan tetap menggenggam gelas.

Kedua mataku melotot ngeri atas penjelasannya.

"Bersikaplah manis maka kau akan selamat."

"Apa maumu?" Kugeletuk gigi menahan marah dalam setiap pengucapannya.

"Nothing."

"APA MAUMU? KATAKAN KEPARAT!"

"Kau tuli?" kedua tangannya bersedekap, "atau bodoh?"

Aku hanya bergeming dengan otak terus berputar memikirkan cara untuk lari dari tempat ini. Tampak sebuah pisau tergeletak di atas meja yang tak jauh dari kami. Pandanganku beralih pada pintu utama yang tertutup rapat. Lilin yang kupegang pun tak luput dari rencanaku untuk melumpuhkannya sebelum mengambil pisau itu.

"Pisau?" dia mengangkat benda yang kuincar dan setengah melemparnya kepadaku, "ambillah."

Aku yakin, sekarang dia juga dapat menangkap ekspresi terkejutku. Mataku kini menatap ragu pada pisau yang berjarak makin dekat denganku. Mungkin dia menyimpan pistol di balik celananya dan bersiap menembakku saat akan meraihnya. Mungkin juga akan menembak kakiku saat berlari menuju pintu.

"Kau tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini sampai waktunya tiba," terangnya tiba-tiba.

"Kau ingin hartaku? Kekayaanku—"

"Jiwamu."

Aku mengernyit tak mengerti. Namun, dia tetap bergeming dengan raut sulit diartikan.

****

H I MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang