Cancer II

2 0 0
                                    

Mulai dari mana?
Mulai dari mana aku ceritakan segala kesakitan di cerita ini?
Mulai dari sakit yang aku rasakan? Sakit karena kemoterapi? Sakit karena penyakit sialan ini? Sakit karena air mata mereka yang tak berhenti menangis?
.
.
.
Semuanya tentang sakit.
Bukan hanya tubuhku yang kini mulai melemah, rambutku yang menipis, berat badanku yang menurun, tubuhku yang memucat. Lebih dari itu.
.
.
.
6 bulan sudah, aku jalani hari hari dengan kemoterapi, rumah sakit dan tatapan tatapan nanar itu. Keluarga. Mereka adalah orang-orang yang sangat "menyesali" hal ini.
.
.
.
Ibu. Ia tak lagi pernah tersenyum. Rindu rasanya melihatnya untuk tertawa pada hal hal konyol yang tak semua orang mengerti. Rindu pada keseriusannya menyiapkan makanan di waktu subuh. Rindu pada seluruh pengetahuan tentang isi rumah. Sejak kata "kanker" terucap oleh dokter itu, semua berubah. Ia tersenyum lebih jarang lagi. Ia tak lagi memasak untuk ayah. Ia tak lagi tau dimana letak gunting kuku berada. Ia menjadi rapuh. Walau aku tahu, Ia mampu lebih kuat dari ini, bahkan dari yang Ia kira.  Ia tak menangis. Bukan didepan kami. Aku dan Ayah. Ia mungkin menangis di depan masakannya yang menjadi gosong di hari pertama.
.
.
.
Ayah. Sejak awal, Ia ayah yang pendiam dan selalu berusaha untuk peduli dengan keluarganya. Waktu itu, Ibu memberi tahu-nya saat makan malam tanpaku. Aku tak ada di situ memang, tapi aku mendengarnya, sambil menangis. Yang aku ingat hanya reaksi ayah yang langsung berdiri dari tempat duduknya lalu meninggalkan ruang makan. Ia lalu keluar rumah sambil menghirup rokoknya. Ibu langsung menyusulnya ke luar. Hampir setengah jam, mereka di luar. Aku benar benar kacau tak mampu bergerak. Hanya berdiam di kamar.  Membayangkan apa yang kira kira mereka bicarakan. Lalu menangis sambil menatap postingan seorang teman di Instagram. Postingan itu hanyalah sebuah gambar berwarna kuning polos. Dan aku menangis karena hal itu. Tentu bukan karena temanku yang mencoba mengatur Instagram nua sedemikian rupa. Tentu tidak.
Lalu terdengar suara motor keluar dari rumahku. Aku tak berani keluar kamar untuk tahu siapa yang meninggalkan rumah. 30 menit setelah dirundung kebingungan, pintu kamarku dibuka.
Ternyata ayahku. Ia menatapku lekat lekat dari celah pintu dengan kusen itu. Lingkar matanya yang khas dengan kacamata kunonya menghiasi tatapan itu. Lalu ia masuk sambil menunjukkan sebuah bungkus plasik berwarna putih. Aku sempat diam sejenak.
"Ini ambil" sambil memajukan tangannya lagi.
Ternyata sekotak susu kesukaanku. Aku hanya menunduk menatap susu itu. Ia lalu duduk di tepi kasurku. Duduk disebelahku yang binging harus berbuat apa.
"Itu diminum, tadi ayah ingat kalo kamu mau minum itu. Harusnya ayah beli waktu pulang kerja sekalian. Jadi irit bensin dan nggak buat polusi bertambah. Ayah memang payah."
..... "Makasih..." Jawabku
Lalu ku tusukkan sedotan ke susu kotak itu. Lalu kuminum secara perlahan dengan sedotan di bagian atas bukan didasar kotak. Tujuannya agar lebih irit. Sudah jadi kebiasaanku. Walau akhirnya akan sama. Susu kotak itu akan habis. Bahkan harus langsung habis setelah dibuka.
"Kamu. Kamu pasti akan sehat kembali." Ucapan lirih dari ayah itu hampir membuatku tersedak, lalu mati lebih cepat.
Aku pun menatapnya. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun aku tak ingin menangis didepan ayahku karena aku sudah bukan lagi anak umur 5 tahun. Hingga akhirnya satu tetes air mata jatuh melewati pipiku ini. Segera kuhapus air mataku. Lalu kusuruh ayahku untuk meninggalkan kamar segera dengan alasan ingin tidur.
Ia beranjak berdiri dan menuju pintu kamar. Lalu ia menatapku sekali lagi sambil berkata,
"Ayah percaya sama Tuhan. Ayah percaya sama kamu."




Ayah. Kau. Mengapa kau mengatakan hal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Life To DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang