Future

14 2 0
                                        

6 tahun kemudian

Seorang gadis cantik berjalan santai memasuki ruangan itu, ruangan yang bertuliskan Direktur Utama menjadi tujuannya pagi ini. Targetnya adalah pria tampan yang sedang sibuk memeriksa setiap laporan yang ada di meja kebesarannya.

Kedatangannya hanya disambut dengan lirikan acuh dan keheningan. Benar-benar tipikal kakak gue, batin gadis itu. Sambil melangkah mendekat dan menutup laporan yang tengah di baca, gadis itu mendengus geli.

"Udah enam tahun aku pergi tapi kakak masih aja nyuekin aku? Kakak macam apa sebenarnya anda ini?"

Pria itu mendongakkan pandangannya dan tersenyum misterius pada gadis dihadapannya. Dia menyandarkan dirinya, sedikit melepaskan penatnya.

"Well, karna adik seperti kamu itu tipe pembangkang, keras kepala dan mengaku sebagai wanita paling broken hearted di dunia ini yang suka gak tau diri, bagaimana seharusnya saya bereaksi? Apa kamu benar-benar butuh respon saya wahai Alina Sahira, si dewi dari segala jomblo di muka bumi yang akan mengabdi menjadi perawan tua?"

"Bang Reynan sialaan! Gue sumpahin jadi bujang lapuk karna terlalu lama engga keluar dari kantor inii- ARGHH DASAR ABANG DURHAKAAA! TURUNIIIN."

Jeritan dari dalam ruang itu bahkan sampai terdengar keluar, padahal ruang Direktur selalu sunyi. Membuat mereka yang sedang melakukan berbagai macam aktivitas berhenti sejenak dan menatap aneh ruang yang sekarang sangat gaduh itu.

Tak lama keluar lah sang direktur utama dengan menggendong seseorang-lebih tepatnya memanggung seseorang-. Bahkan pria yang terkenal pemarah dan sangat kejam itu kini tengah tertawa pelan sambil melirik wanita yang ada di gendongannya, yang sedang berlagak seperti mayat. Semua yang melihat jelas saja menebak-nebak ada apa sebenarnya.

"Kayaknya mulai besok gue harus pasang pengedap suara khusus ruang kantor gue. Hahaha" Perkataan pria itu hanya dibalas dengusan sinis oleh Alina.

Ini saatnya membawa adik kecil kesayangannya pulang kerumah.

☆☆☆☆☆

"MAMAAAH! BANG REYNAN NIIH ISH! MAA~ARGHH TOLONGIN ALINAAA!" Teriakan kembali terdengar setelah Alina belum juga berhasil meloloskan diri dari aksi panggul-memanggul dan dirinya serta abangnya itu baru saja memasuki kediaman mereka. Rumah yang awalnya sepi menjadi sangat ramai dan gaduh.

Dengan langkah terburu-buru, dari arah dapur keluarlah sang mamah. "Ya ampunn, Alina! Kamu gak inget umur ya teriak-teriakan begitu?" Reynan baru bersedia menurunkan adiknya itu dan berlalu ke kamar mandi.

"Mamah punya anak yang satu jarang pulang dan yang satu bahkan pergi entah kemana dan baru kembali setelah enam tahun? Lalu tiba-tiba keduanya muncul secara bersama dan membuat kegaduhan dengan kelakuan tidak ingat umur begini! Benar-benar bikin mamah keriput duluan." Alina menerima pukulan sayang dari ibunya dan menyengir lebar ke mamahnya itu. Mengikuti langkah sang mamah untuk menyiapkan makan siang.

"Maaf maah~ lagian kak Radhit sama papah tau kok aku dimana. Harusnya mamah tanya mereka aja." Alina sudah sibuk mengisi mulutnya dengan cookies buatan ibunya.

"Kok gue gak lo kasih tau?" Reynan cemberut sambil mengambil alih semua cookies yang di pegang oleh Alina, berakhirlah dengan perebutan kue favorit keluarga Arandirga itu dan tentu saja pemenangnya adalah Reynan.

"Maaah! Si abang nih mah! Cookies itukan ucapan selamat datang dari mamah, baang! Balikiiin! Lagian lo si! Mulutnya ember, gak bisa dipercaya dan tidak amanah makanya gue males ngasih tau lo. Yang ada lo malah nyusulin gue dan ninggalin kuliah serta perusahaan. Gue gak mau lah usaha yang udah susah payah papa bangun -dan emang cuma lo sih yang bisa di jadiin tumbalnya justru berantakan." Ucapan Alina hanya dibalas lirikan dan dengusan sinis dari Reynan. Dan tentu saja gadis itu lebih memilih kembali sibuk dengan cookiesnya sambil bertukar cerita dengan sang mamah.

Merekapun menuju tempat makan untuk memulai ritual lampau yang sangat dirindukan Alina. Makan bersama.

Perhatian Alina kembali jatuh pada abangnya, "Eh bang, lo turun berapa kilo sampe bisa jadi kayak sekarang? Pake apaan bang? Kok babonnya ilang sih? Kok bisa? Terus kok tadi kayaknya kotak-kotak gitu bang?"

"Yeeh masih aja mulut lo tuh ya!" Kemudian Reynan menemukan sesuatu yang janggal dan menatap adiknya ngeri. "Dih selain jadi pengacara punya nama, lo juga jadi demen grepe-grepe orang? Wah mah anaknya harus buruan di nikahin ini." Tiba-tiba suara tawa berasal dari berbagai arah. Rumah jadi ramai dengan kedatangan Radhitya dan papah mereka yang ikut bergabung untuk makan siang.

"Ngada-ngada lo! Lagian apaan lagi pengacara punya nama. Bahasa lo jelek banget deh, kok gue jadi ragu ya lo cocok di posisi sekarang di kantornya papah?"Alina sengaja menyindir Reynan yang memang dari awal tidak ada niatan untuk menjadi pengusaha, namun apa daya ayah mereka harus pensiun dan Radhitya lebih memilih jadi guru sementara Alina lebih memilih untuk pergi.

"Salahin noh abang kesayangan lo! Harusnya dia yang jadi bujang lapuk dengan teman kencan bertumpuk-tumpuk map dan laporan bukannya gue. Nah nyatanya malah nikah sama daun muda." Reynan menunjukkan seringaian mengejek pada si sulung yang sedari tadi hanya sibuk menikmati makan siang sekeluarga ini yang akhirnya bersatu lagi.

"Jodoh bukan kakak yang ngatur kali, Rey!" Radhitya melirik tajam Reynan.

Topik perbedaan umur antar murid dan guru yang menjadi sepasang suami istri adalah sesuatu yang sensitif menurut Radhitya. Karna itulah yang terjadi pada dirinya. Jatuh cinta pada gadis yang seumuran adik bungsunya hingga nekad melamar ketika gadis itu yang baru saja lulus Sekolah Menengah Atas.

"Oh ya! Ngomong-ngomong dimana kakak ipar?" Alina melihat sekeliling namun tidak juga menemukannya. "Aku mau say hi dan minta maaf karna gak bisa dateng ke acara nikahan bahkan sampe gak bisa nemenin pas lahiran."

"Dia lagi ketaman sama si Arrel, Le." Jawaban Reynan itu sontak mengejutkan Alina. Bahkan piring yang dia pegang sudah berhambur menjadi kepingan tak berbentuk. Semua orang menatap tajam Reynan dengan tingkah keceplosannya.

"A-Arrel?"

"Dia putra kakak, Le. Arrelion Lyendra." Alina mendadak merasakan pening yang sangat-sangat menyiksa.

"Aku mau ke kamar."

Semua orang hanya diam dan membiarkan Alina mengembalikan mood baiknya. Reynan bahkan tidak dapat berhenti menyalahkan mulutnya yang sering kali tidak dapat di tahan.

Tanpa disadari gadis itu, seseorang menatapnya dengan wajah sendu dan senyuman pilu.

£

££

Saat Alina memasuki kamarnya, semuanya seperti kaset rusak yang terus berputar tanpa henti.

Masa ketika dirinya dan Arrel pertama kali berkenalan adalah di kamar ini. Saat seorang laki-laki dengan lancangnya masuk ke kamar perempuan namun tidak mau disalahkan, bahkan Arrel berkilah kalau dia salah kamar. Kebetulan kakaknya memang selalu main kesini. Yang aneh, Ale tidak langsung menghajar Arrel seperti yang biasa dilakukannya pada orang lain.

Lalu pertama kali mereka bertengkar hebat karna masalah sepele juga terjadi disini. Tempat ini terlalu banyak menyimpan kenangannya dan Arrel. Kenangan yang selalu menyiksanya hampir enam tahun belakangan ini.

TBC

[SONG FICTION] A L I N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang