Prolog.

307 28 8
                                    

   Suasana malam ini begitu mengharukan bagi santri-santri Pondok Pesantren Tua di Kota Suci. Aku sedikit merinding saat acara demi acara terlaksana, sekarang mikrofon berwarna putih sudah ada ditanganku.
   Entah mengapa tanganku gemetar dan mengeluarkan keringat dingin, nafasku terenggah-enggah. Aku grogi. Ayya mencubit lenganku memberi tahu bahwa banyak orang yang menungguku. Astagfirullah!
   Aku melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan mata tertutup, entah berapa menit aku membacanya. lailahailallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar.

"Alhamdulillah." Kataku lirih, dan mendapat senyuman lega dari Ayya dan Mbak Tsani. Mereka berdua adalah sahabatku hanya saja, Mbak Tsani ini umurnya dua tahun lebih tua dari kami.

"Alahmdulillah, atas izin Allah Azza Wajalla acara khotmil Qur'an berjalan dengan baik. Kepada Abah Yai dimohon untuk memberikan penghargaan pada Santri wati." Ucap Pembawa acara, Pak Hamid namanya. Beliau salah satu pengurus Pondok.

  Aku sedikit segsegan, Saat melihat Abah mengalungkan mendali hijau berlambang Qur'an dimainanya. Saat Abah berjalan menuju bari kedua, Yaitu barisanku Aku mulai kehabisan tenaga untuk menahan air mata ini tetap tinggal dikelopaknya.
  
"Wa, jangan nangis, nanti didukani Abah lho!" Ingat Mbak Tsani padaku, Ah benar juga katanya Abah paling tidak suka pada santri yang suka menangis.

   Aku tersenyum bahagia, dan menujukan wajah cerahku pada Abah Yai. Ku cium tangan punggungnya dengan persaan haru. Beliau mengalungkan mendali pada leherku lalu memberikan ijazah hafidzoh padaku. Allahu Akbar!

  "Jangan nangis nduk, Abah bangga padamu." Ucap Abah Yai seraya tersenyum tulus padaku.

  "Suwun nggeh Bah." Balasku.

   Rasanya Aku ingin teriak sekencang-kencangnya, hari ini Aku telah menjadi seorang penghafal Qur'an, jubah hitam ini begitu indah, ditambah mendali dan topi wisuda Tahfidz. Aku membiarkan air mataku berseluncur dipipiku, lagi pula ini Air mata tanda syukur pada Allah yang telah meridhoi seorang Hamba untuk menjaga Kitab-Nya.

   Selesai pemberia Mendali dan ijazah pada Santri Putri. Kami dipersilahkan untuk turun dan menemui Wali atau Orangtua di Ruangan yang berlapis hijau.
  
   Aku melihat ke sekitarku, dimana keberadaan Ummi dan adik-adik ku? Aku masih berusaha mencari diantara kerumuan santri dan keluargnya. Alhamdulillah, Aku melihat bidadari tak bersayap mengulas senyum tulusnya dikursi belakang.

   Ummi memeluku dan mengecup ujung jilbab juga kedua pipiku. Beliau menangis padaku, Kedua adikku pun seperti paham apa yang sedang terjadi.

  "Sudah Ummi jangan mengangis." Ucapku mengusap air mata suci Ummi.

  Beliau menggeleng. "Ummi bangga padamu Nak. Sungguh bangga." Ucap Ummi kembali memelukku.

  Aku tersenyum lalu mencium adik-adikku dengan gemas. Sudah empat tahun aku tidak berjumpa mereka.

"Mba, adek dah bisa panggil Ummi." Kata Shinta dengan menujukan gigi ompongnya. Ah, adikku ini pasti diam-diam memakan manisan.

"Oya? Wah, Alhmdulillah." Kataku mencuil pipi Adil gemas.

"Nduk, Ayo ke ndalem sek." Seru Ummi padaku.

***

   "Suwun nggeh Kyai." Ucap Ayah Ratna pamit pulang.

"Ayo mriki nduk." Seru Abah padaku dan Ummi.

  Ummiku mencium tangan punggung Abah dengan sopan, lalu disusul oleh ku dan adik-adikku.
   Ummi tersenyum pada Ibu Nyai yang baru datang dari balik pintu. Kami mencium tangan punggung beliau.

  "Wah niki badhe diboyong nggeh? Santrine kula." Canda Ibu pada Ummi.

  "Ndak boleh lho, kudu dijadike Pengurus Santri wati." Abah ikut mencandai Ummi, Ah. Wajah Ummiku sudah bingung mau menjawab apa.

  "Hehe, teseh wonten Mba mba ndalem to Bah." Aku membantu Ummi menjawab pertanyaan Orang alim didepanku.

  "Kamu iki Santrine Abah sing istimewa kok." Duh, Abah inu kalau bercanda bikin santri-santrinya terbang ke langit.

  "Ndak boleh, Mba halus pulang." Ucap Shinta tiba-tiba. Ummi menggelengkan kepalanya pada Shinta agar diam.

  "Mbak Marwa pulang, Adek disini nggeh?" Ucap Ummi mencuil pipi bakpau milik Shinta.

  "Ndak mau ah, Shinta mau jagain dedek." Ucap Shinta memeluk Adil, dan Adil malah mencakar wajah Shinta.

  "Adek ndak boleh." Aku segera melepaskan cakaran Adil sebelum Shinta menjerit mengacaukan suasana ndalem.

   Aku menjadi tak fokus saat ada seorang bersarung hitam dengan baju koko lengkap peci berjalan membungkuk dari belakang Kyai. Subhanallah, cipataanMu begitu indah Ya Rabb.
   Pria itu mencium tangan punggung Abah Yai, dan Ibu Nyai dengan memberikan unjukan pada kami.

  "Eh nang, sekalian bawa iki." Ucap Ibu pada Pria itu.

  "Nggeh, Buk." Balasnya.

   Pria itu melihat ke araku dengan tatapan datarnya, Dia selalu begitu. Tak pernah membalas senyumku, bukan berniat genit pada lawan jenis namun entah mengapa aku ingin berteman dengannya.

  "Saya pamit, Assalamualaikum." Pamitnya.

 

Di Bawah Langit Menara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang