Delapan belas

2.2K 209 5
                                    

Biarkan jarak yang membuat apa arti hubungan aku dan kamu yang menjadi kita.

--------------

Suasana hening mencekam begitu terasa di dalam mobil CRV hitam itu. Wanita berambut sebahu yang duduk di kursi penumpang mengedarkan pandangannya keluar jendela.

"Luna." Lelaki yang duduk di balik kemudinya memanggil dirinya dengan nada lembut.

"Ya Mas?"

"Apa ada masalah?"

Luna menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Semua perempuan itu sama saja. Jika ditanya kenapa pasti jawabannya nggakpapa atau menggelengkan kepalanya kemudian mencoba tersenyum.


"Saya tau kamu pasti ada masalah." Cakra berbicara santai sambil masih mefokuskan kemudinya.

"Hidup itu jangan terus-terusan sok tau," cibir Luna membuat Cakra terkekeh.

"Kalau dugaan saya benar, bagaimana?"

Luna diam. Ia melilit memainkan jemarinya. Kebiasaan Luna ketika gugup atau ketakutan ini membuat orang-orang disekitarnya mudah mengetahuinya. Tapi apakah Cakra termasuk di dalamnya?

Cakra melirik wanita disampingnya. Ia enggan berbicara sebelum Luna menjawab perkataannya atau memulai obrolan yang baru. Sebab Cakra merasa raut wajah Luna berubah setelah makan malam dengan maminya.

Lelaki berbola mata abu-abu itu melajukan mobilnya berbelok ke arah kiri, dimana taman berada.

"Lho kita kan seharusnya belok ke kanan, Mas."

Cakra tersenyum kecil. "Sengaja biar kamu ngomong."

"Ya udah. Puter balik sekarang." Cakra menatap Luna sebentar lalu menaikkan satu alisnya. "Nggak bisa gitu aja."

Cakra memberhentikan mobilnya di halte bus, dimana ada penjual minuman jahe hangat. Lelaki itu mematikan mesinnya lalu turun dari mobil di ikuti Luna yang masih bingung. Cakra memesan dua gelas susu jahe hangat kemudian menarik Luna untuk duduk di halte bus.

"Kita ngapain sih, mas?" Tanya Luna ketika mereka sudah duduk.

"Kamu kenapa?"

Luna menautkan alisnya. "Emangnya saya kenapa?"

"Jangan bohongi saya, Lun. Orang lain boleh di bohongi dengan senyum palsu kamu, tapi tidak dengan saya."

Luna mengigit bibirnya dalam. Ruang geraknya benar-benar diperhatikan sedetail itu oleh Cakra. Sedikit-sedikit ia melirik Cakra yang sedang melihat kedepan dengan wajah santai namun tampan.

"Jadi, mau bercerita?"

Luna terkesiap. Mencoba menetralkan detak jantungnya. Ia masih ragu untuk menceritakannya, bahkan amat sangat tidak ingin menceritakan hal tersebut.

"Kalau belum siap, ya nggakpapa." Kata Cakra yang memperhatikan Luna dengan raut gelisahnya. "Tapi, kalau berhubungan dengan saya apalagi kita. Itu wajib di ceritakan."

Penjual jahe hangat membawa pesanan mereka. Cakra menerimanya sembari mengeluarkan uang selembar 20 ribuan. "Terimakasih, Pak."

Penjual itu tersenyum kemudian mengangguk. "Sama-sama, mas. Minum minuman di udara sejuk ini menyegarkan, apalagi kalau saat berbicara serius dapat menenangkan jiwa raga dan hati."

Cakra tertawa. "Bisa aja si bapak."

"Terimakasih ya, mas." Penjual itu berkata setelah terkekeh mendengar penuturan Cakra. Ia pun pergi dari tempat itu.

Cinta Lokasi DinasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang